Minggu, 25 Desember 2011

Aku, Langit, dan Awan


Duhai cahaya yang membiru diterpa lautan
Kan ku katakan suatu hal kepada mu
Aku telah mengejar langit
Tapi tangan ku tak mampu meraihnya
Aku ingin gapai awan
Namun,
Rintik hujan tak biarkan ku sentuhnya
Lalu,
Aku harus bagaimana ?
Apa yang bisa ku lakukan?
Aku merana
Keduanya tiada dalam genggaman ku
Padahal kehadirannya teramat ku rindui
Sungguh, tapak kaki ku mulai goyah
Dirajam emosi yang membara
Juga nafsu yang hilang kendali
Bahkan pena terkuat sekali pun tak mampu menembusnya
Memecah riak-riakan yang teramat menyiksa

Duhai sinar yang mendamai
Ingin rasanya aku menangis
Bersimpuh tergugu, menyatu dengan pijakan alam
Membayang pada sesuatu yang tak terungkap
Diam dengan seribu rahasianya
Mampukah?
Sedang aku tak hadir kenali diri
Juga mereka yang hidup di kisah pelangi ku


Kisah Sang Daun


Laksana daun yang tipis
Helai demi helai terlepas dari ganggang kayunya
Urat-uratnya pun terlihat lunglai, lemah, tak berdaya
Terombang-ambing dipermainkan angin
Tak tahu
Ke mana kan hinggap
Atau bagaimana rupa yang terkoyak ?
Inikah wajah hidup yang semestinya ?
Tak bisakah
Hanya bergantung aman pada pohon yang kokoh
Duh...perjalanan masih sangat panjang
Ujian yang dijalani belum seberapa
Marabahaya bersama angin selalu kan mengintai
Namun
Itulah kuasa-Nya
Membiarkan sang daun tersesat
Mengikuti alur angin yang menghembusnya
Agar daun pun tahu
Tempat ia kembali yang abadi
Allah Azza Wa Jalla, kehidupan sejati bagi diri sang daun

Begitulah diri kita, kita sama seperti daun. Angin lah sebagai jalanan takdir bagi hidup kita. Sungguh, hidup kita teramat singkat. Jika Ia berkenan, angin dapat menghempas kita kepada tapak yang baik juga buruk. Maka, teruslah berikhtiar memperbaiki diri. Selama hayat masih dikandung badan. Jangan pernah berhenti untuk suatu kebaikan. Agar pada saat diri kita tiada, Allah lah tempat kita mengadu cinta dan kehidupan yang baik lagi membahagiakan....Amin ya robbal alamin

Rabu, 21 Desember 2011

LOMBA ESSAI ANNIDA-ONLINE “IMPIANKU DI TAHUN 2012-Pelangi Ku di Tahun 2012


Eva Apriliyana Rizki

Bismillah dan Alhamdulillah, mungkin dua kata itulah yang mampu menafsirkan apa yang ada dalam realita hidup ku. Mustahil, seluruh makhluk di bumi tidak akan tersentuh dengan dua kata ini. Kata “alhamdulillah” sebagai tanda syukur kita atas karunia-Nya. Sebab bila tidak ada nikmat dari-Nya, tiada mungkin kita bisa menghadirkan berjuta impian di dalam hidup kita. Ya, layaknya sebuah dongeng, kita adalah putri atau pangeran yang memimpikan kisah yang berakhir bahagia. Sedangkan bismillah adalah kalimat Allah yang kerap terucap saat kita hendak menetas impian menjadi kenyataan.
Di usia 19 tahun, aku semakin menyadari telah banyak warna-warna pelangi yang tergores di masa yang silam. Meski mayoritas, warna yang hadir adalah hitam atau kelabu. Bila mengingatnya, hati ku ingin menangis. Bagaimana tidak, bayangkan saja semasa kecil seharusnya aku menjadi permata yang indah bagi kedua orang tua dan adik ku. Nyatanya, aku malah kerap memberi luka bagi ketiga hati yang ku sayangi. Itulah sebabnya aku menjadi pendiam sekaligus pemberontak. Maaf…ayah, ibu, dan adik.
Namun, Allah dengan “Rahman dan Rahim-Nya”, mengubah ku menjadi pribadi yang lebih baik dengan berjalannya waktu. Impian-impian masa kecil sebelum kelam ku pun mulai beranjak bangkit. Aku benar-benar bersyukur menemukan sahabat-sahabat yang baik juga shaleh dan shalehah seiring perkembangan masa pubertas ku. Karena mereka lah, pada akhirnya aku mulai memperdalam agama. Dimulai dari shalat Duha, shalat malam, berbagi tentang dunia Islam, hingga satu kebiasaan yang selalu ku lakukan sampai saat ini yaitu berwudhu sebelum memulai aktivitas.
Sungguh, jika Allah berkenan mengabulkan impian ku. Aku akan memohon pada Allah agar berkenan memberikan ku waktu yang lebih banyak untuk mendampingi mereka sampai tiba masanya mereka bertemu kebahagiaan yang suci walau aku hanya mampu mengawasi mereka dalam rentang yang jauh.
Lalu, aku juga terus berharap dalam doa dan ikhtiar ku agar aku bisa mengubah keluarga kecil ku menjadi keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang. Mengenai hal ini, aku pernah mendengar pepatah yang mengatakan “keajaiban hanya akan terjadi pada orang yang berusaha”. Ya, seandainya aku bisa mendapatkan keajaiban itu dari Allah, keinginan terbesar ku hanya satu, menghadirkan keajaiban di tengah-tengah keluarga yang ku cintai. Meski aku sendiri tak tahu kapan dan bagaimana caranya tapi aku yakin mimpi itu akan benar-benar terjadi. Semoga…amin.
Selanjutnya, berbicara tentang impian lainnya yang ingin ku wujudkan di tahun 2012 adalah aku bisa memberikan nilai IPK yang kian memuaskan dari tahun ke tahun selama studi ku di Akademi Farmasi Samarinda. Oleh karena itu, aku berusaha giat untuk selalu mengevaluasi materi-materi dengan baik. Tentunya, aku butuh semangat dan doa. Tak lupa, aku juga berusaha membantu sebaik mungkin bagi teman-teman sejawat ku yang kurang mengerti perihal ilmu yang kami pelajari. Saling berbagi dan bertukar pikiran menjadi kunci untuk kita meraih apa yang diinginkan. Pada akhirnya nanti, aku berharap bisa menyelesaikan studi ku dengan baik.
Satu lagi, aku ingin bisa menjadi penulis yang hebat. Untuk mimpi ku yang satu ini, aku punya kalimat penyemangat yang selalu ku rekam di otak ku. Beberapa untaian kata yang menyiratkan sebuah keyakinan seseorang yang istimewa bahwa aku bisa menggapai cita sebagai penulis.  Meski impian tersebut tak bisa terjadi hanya dengan mengejapkan mata sejenak saja.
Nah, impian-impian di atas hanyalah beberapa saja yang ingin ku wujudkan dalam luasnya nikmat Allah SWT. Aku tahu, jalan ku tidak akan mudah untuk bisa menjadikan sejuta impian itu menjadi kenyataan. Aku harus melalui jalan yang berliku, perlu jatuh, menangis, terluka dahulu lalu aku kembali bangkit menyusun kepingan-kepingan impian supaya saat impian telah terjadi, aku menjadi pribadi yang terus ingat untuk bersyukur kepada Allah SWT. Sebab, menurut ku percuma bila kita miliki berjuta impian tapi kita lupa pada Dia yang memberikan impian. Jadi, setiap impian mestilah harus disertai dengan keridhoan Allah SWT. Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Sepenggal kalimat inilah yang ku  temukan dalam novel Negeri 5 Menara sebagai bentuk motivasi lainnya dalam diri ku.
Oleh karena itu, aku terus mencoba hadirkan semangat untuk impian-impian yang mulai berkembang saat ini. Aku tak kan pernah menyesal untuk selalu gagal. Kegagalan-kegagalan yang ada di hidup ku merupakan pijakan yang akan membawa ku kepada keberhasilan di saat yang tepat. Aku ingin melahirkan lebih banyak pelangi di hidup ku. Semangat…
(LOMBA ANNIDA-ONLINE “Saya Punya MIMPI SEJUTA DOLAR”)

Jumat, 16 Desember 2011

Aku Cemburu


Aku cemburu
Pada rentetan kata yang meluncur santun di ujung jemari
Membuncahkan sukma yang tulus tiap semburatnya

Aku sungguh cemburu
Pada cerminan hati yang berkesan lembut di tiap lakunya
Memberi kasih yang seolah tanpa batas disemai dalam perjalanan

Aku benar-benar cemburu
Pada jajakan langkah yang kokoh membangun mimpinya
Tak gusar memangku jiwa-jiwa yang sekarat dimakan problema

Cukup!
Aku memang pantas cemburu
Pada sesuatu yang tak aku punyai

Ya, aku lah si pencemburu
Namun aku tak kan terburu
Menjemput hal yang aku tuju
Suatu saat nanti

Sabtu, 03 Desember 2011

Engkau dan Buku


Buku memang gudang ilmu
Buku juga jembatan untuk melihat dunia
Buku ibarat jendela masa depan yang cerah

Namun
Ada pula saat-saat di mana buku juga mendamaikan
Tenggelam bersamanya betapa amat menyenangkan
Bahkan ketika hujan mu menderas
Buku pun rela menutupinya
Penat dan jemu kan terusir oleh kata-kata hiburnya
Sejenak....
Kala engkau di tengah lautan keramaian

Sama halnya, saat engkau memilih langkah mu tuk berjalan dalam sepi
Hening, kelam, gelap, dan juga dingin membalut tiap-tiap dilema yang terajut di dasar hati
Tapi
Tak kau gubris,
Justru kau menjadi kuat karenanya
Meski hanya sebentar, resah terobati saat kesendirian engkau jalani

Selanjutnya,
Mau kah engkau berbagi ?
Dengan bintang-bintang yang terbuang
Merenda kisah-kisah baik bersama mereka

Seperti lembaran kosong di buku yang baru
Juga pena yang setia menemani sang buku
Sungguh pesona mereka akan sirna bila tak kau ungkap lagi
Karena itu,
JADILAH ENGKAU LAYAKNYA BUKU
Maka,
Pesona yang engkau rindukan kan kerap hadir di ingatan mu

Sungguh, kehidupan manusia seperti buku
Apa yang tertulis di dalamnya adalah episode-episode yang tak berbatas
Bila engkau bisa saja merasa tenang pada buku

Kau jua kan merasa mampu untuk menghadapi adegan dalam hidup mu

NB : kisahgalauditengahhujan......^_^

Jiwa yang Rindu


Ketika hati ku merasa sesak
Di sana, di elemen waktu yang tak tersadar
Ada jiwa yang rela menopang goyah ku
Tanpa ku pinta
Menyediakan sedikit ruang dunianya hanya untuk ku
Senyumnya yang ramah seakan berkata," Ke sini lah. Aku ada untuk mu"
Itu lah dirinya
Yang tiada bosan menjamu ku dengan ranah tawanya
Yang tiada gerah meramu kasihnya lewat bening matanya
Yang kian hari kian menjerat hati yang merindu akan dirinya
Sadar kah kau ?
Hati ini tertaut akan citra mu
Hingga diri ini pun tak segan setia menunggu
Menunggu....terus menunggu...
Tuk jalan kembali pulang berjumpa dengan mu


Rabu, 30 November 2011

Fase Dunia Tulis Ku

Huuuufh....pengalaman menulis ku bermula sewaktu sekolah dasar dulu, dan terus berkembang hingga sekarang. Semoga saja, bisa lebih baik lagi. Soalnya menulis bukan lah ajang untuk menjadi terkenal, membuat kata-kata sepanjang mungkin, juga bukan untuk mendapat pujian. Akan tetapi, sebagai ladang untuk pengembangan kreativitas, bakat, olah kata buat diri kita dalam hal memotivasi, menyebarkan kebaikan di sekitar kita, dan lain-lain yang tidak membawa pengaruh buruk

Kelas VI SD Muhammadiyah 2 Samarinda
Di kalangan teman-teman ku, ku termasuk orang yang pendiam, lumayan pintar (memuji sedikit tak apa ya ^_^). Sewaktu itu, ada perlombaan mengarang tingkat SD-se Kalimantan Timur. Nah, oleh guru ku, aku disuruh membuat karangan. Yo wes, ku kerjakan karangan tersebut dibantu dengan ayah ku. Syukurlah karangan ku selesai dan ku kumpulkan ke guru ku. Hahahahaha....sayangnya, aku tak jadi diikutkan lomba. Tahu mengapa bisa terjadi ? Ya, karena aku pendiam :D. Memang aku bisa mengarang tapi kemampuan bicara juga saat itu merupakan penilaian yang penting. So, akhirnya teman ku lah yang dinobatkan jadi peserta lomba

Yup, itu pengalaman ku saat mau mengikuti lomba mengarang meski tidak kejadian. Sejujurnya, semasa SD dulu, aku juga senang menulis apa pun di buku diary, atau di mana saja asal ketemu kertas dah. Sayangnya, aku kepergok sama ibu nulis sesuatu...jadinya malas buat nulis-nulis lagi....hahahaha.

Hal yang memotivasi ku sering menulis ya dari aku membaca majalah BOBO. Tiap pekan pasti selalu beli atau kalau tak bisa, biasanya minjam ke sepupu. Gara-gara itu, aku dijuluki sama julak ku kutu buku. Yach, tak apalah, bukan kah awal mula menulis dari minat membaca ? Asiiiik.....

Semasa SMP Negeri 1 Samarinda
Masuk ke SMP, aku agak lama tak kontak dengan dunia menulis. Sibuk dengan berbagai tugas. Maklum, kan masih awal-awal jadi anak ABG (alias Anak Baru Gede). Tapi tetap, kalau pas lagi disuruh mengarang waktu pelajaran Bahasa Indonesia, paling mahir buat kata-kata sampai berlembar-lembar padahal disuruhnya cuman 2-3 lembar saja. Rakus amat yak kalau dipikir-pikir.

Nah, menjelang UAN, mulai lagi aku ingat-ingat sama dunia menulis. Ceritanya, saat itu aku lagi les Bahasa Indonesia di Airlangga. Sembari menunggu teman-teman datang, sharing lah diri ku dengan pak guru yang aku lupa namanya. Insya allah, kalau masih ingat, beliau berkata pada ku," Kembangkan terus minat menulis mu. Jangan pantang menyerah. Kalau butuh bantuan, hubungi bapak saja,". Nah, dari situlah, aku mulai menulis lagi

Semasa SMA (MAN 2 Samarinda)
Karir ku menulis saat SMA sewaktu ikut lomba esai ilmiah soalnya aku merupakan anggota KIR (Kelompok Ilmiah Remaja). Tak menang sie tapi lumayan dapat sertifikat. Selanjutnya, ikut LPIR tak menang juga, tapi alhamdulillah dari sekolah ada yang mewakilkan. Mereka itu para lelaki semua, terdiri dari ka Rudi, Ghazali, sama Imam Rosyadi. Mereka benar-benar hebat, aku salut sama mereka.

Sewaktu kelas 2 SMA, tertarik dengan ide temanku, Setyawati, aku berniat buat cerita pendek tentang seorang anak perempuan yang bersikap seperti lelaki. Cerpen pertama ku ku beri judul "Pilihan Hidup Ara". Saat cerpen ku kelar, ku minta pendapat teman-teman ku. Kebetulan, teman ku yang bernama Linda ini memberikan cerpen ku kepada kakaknya. Pendapat kakaknya itu begini ," Cerpennya udah bagus tapi lebih bagus lagi kalau ga plagiat". Aku senyam-senyum saja, memang benar aku memplagiat dari novel terjemahan judulnya Samira dan Samir, hanya saja memang aku ubah ke nuansa Islam. Meski mendapatkan kritik yang agak kurang menyenangkan, hal itu tak mempengaruhi niat ku untuk tetap menulis.

Menjelang ujian SMA, kelas 3, aku dihadapkan dengan begitu banyak problema. Namun, di sela-sela kesedihan yang mendera ku, aku masih bisa menulis cerpen tentang persahabatan. Salah satu judulnya yaitu Cinta Sang Sahabat dan Dua Hati Untuk Rindu (tapi belum kelar), menulis puisi buat kawan lelaki ku Yusuf, juga mulai gemar mengirim sms ke teman-teman terdekat ku berupa kata-kata mutiara atau menyangkut hal seperti itu.

Ada cerita menarik lainnya yang memotivasi ku untuk terus menulis. Sore itu, ketika suasana sekolah lenggang. Aku berbicara dengan seseorang yang istimewa, namanya Imam Rosyadi. Padahal, bukanlah hal yang mudah untuk bisa berbicara dengannya terkait isu "ada deh". Tapi, jujur, dia termasuk "muse" ku saat menulis. Terima kasih ya atas perkataan mu saat itu. Aku berharap bisa selalu memberi mu kebaikan sampai ajal menjelang (sok mendramatisir tapi kata-kata ini sungguh tulus kok terucap).
Semasa kuliah hingga sekarang
Nah, sewaktu kuliah ini lah ku bertemu dengan calon-calon penulis di lingkup teman-teman kuliah. Ada beberapa yang paling sering sharing seperti Andri Maulida, Elsa Yuliana, Ita Zakiyah, sampai para penulis terkenal seperti Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa (hanya lewat fb kalau sama penulis terkenal hahaha).

Nah, hal yang menarik lagi. Aku dapatkan dari kata-kata Imam lewat fb. Soalnya saat ini, dia tengah kuliah di Universitas Al-Azhar, jadinya kami hanya bisa berkomunikasi lewat fb atau selular. Berikut cuplikan kalimatnya, "
biarkanlaahh....
kamu yang saat ini akan lebih kuat, menuntun u untuk berkreasi n berimajinasi dg menuangkan kebentuk tulisan yg lebih menyentuh perasaan, karna itu pengalamn hdup u yg sebnarx.
ketika cita2 u sbg penulis tlah tercapai, u baru akan sadar,
Allah tlah memberikan yg terbaik, n u akan mngerti maksud knpa semua ap yg kau inginkan di SMA atau seluruhnya gak tercapai.
cause derita saat in...i, membuat inspirasi untuk kdepannya u..
:)

Nb : sorry, i can't tell the truth if one of my note to you."
kalimatnya itulah yang sampai sekarang jadi penyemangat ku....hehehe....thank u so much...
Selanjutnya, aku mulai nulis-nulis lagi di blog, kadang di catatan fb plus masih tetap kirim sms ke teman-teman baik puisi atau motivasi. Nah, serunya, lewat fb aku kenal dengan situs Dumanalizers. Aku mulai ikutan lomba cerpen meski lagi-lagi tak menang. Hahahahah...ketawa dah kalau ingat itu. Terakhir, aku ikutan lomba cerpen di UNMUL dalam rangka Muharram 1433 H. Semoga saja bisa menang....amin....^-^

Oke teman-teman, inilah seputar kisah ku tentang fase dunia tulis ku. Maaf rada berantakan, soalnya yang kebanyakan mikir itu jari-jemari ku saja hehehe....
Kesan terakhir ku adalah "Menulis lah untuk kebaikan mu, orang-orang di sekitar mu, juga untuk cinta mu pada Allah SWT"....Sekian.....

Senin, 28 November 2011

Pena Cinta di Muharram Ifa



09 Dzulhijjah 1432 H
Allahu Akbar….Allahu Akbar…..
Terdengar suara adzan ashar berkumandang menyisipi sela-sela kesibukan seorang gadis mungil di tengah perjuangannya merapikan slide-slide mata kuliah yang berantakan. ”Ifaaaaaaaaaaaaaaa…….cepetan, keburu shalat ashar. Nanti kita ketinggalan shalat jamaah nie,” teriak gadis sebayanya.
“ Iya, sedikit lagi. Nanda duluan saja ke sana. Ifa akan menyusul,” jawab Ifa, si gadis mungil tadi.
“Yo wes, assalamualaikum,” balas Nanda sambil berlalu.
“ Waalaikumsalam,” kata Ifa singkat.
Kini ia berusaha mempercepat pekerjaannya. Ia tak mau ketinggalan shalat berjamaah. “Bukankah pahala berjamaah 27 x dari shalat munfarid ?”, gumamnya dalam hati.
Beberapa menit kemudian, Ifa pun menyusul rekannya di mushola. Untunglah, ia masih bisa mengikuti shalat ashar berjamaah. Suasana seketika berubah menjadi tenang dan syahdu kala imam memulai shalat. Sang imam nampak begitu menghayati lakonnya dalam membimbing para ma’mum shalat berjamaah sore itu. Tak mau kalah, para ma’mum pun berusaha khusyuk saat menjalankannya. Dua kombinasi yang saling berkesinambungan demi satu tujuan yakni bertemu Allah SWT, cinta abadi mereka.
Saat itu, senja mulai memancarkan sinar mega jingganya di ufuk barat. Mempermainkan jemarinya pada awan-awan yang bergerak tak menentu, menggoreskan pesona indahnya sebagai lambang kebesaran Sang Khalik pada bumi, ciptaan-Nya. Bagi Ifa, Nanda, dan lainnya, shalat ashar menjadi penutup hari yang luar biasa nikmat setelah penat saat beraktivitas.

11 Dzulhijjah 1432 H   
“Nah, kawan-kawan. Apakah ada ide untuk mengisi acara berkenaan dengan Tahun Baru Islam ? Silahkan acungkan tangan dan kemukakan ide kalian secara singkat dan jelas,” kata Ifa, sang moderator.
“Assalamualaikum….”, kata seseorang memotong pembicaraan.
“Waalaikumsalam” sahut peserta rapat yang hadir di sana.
“Saya Riechan, saya punya usul, bagaimana kalau kita mengadakan estafet Muharram. Dalam estafet ini, kita buat beberapa kegiatan dengan menggunakan sistem pos. Pos 1 misalnya saja mendengarkan sejarah Muharram, lalu secara singkat menulis ulasan dari apa yang didengarkan, begitu seterusnya,” lanjut peserta tersebut.
Dalam ruangan yang kecil itu, gema suara riuh rapat mengusik ketenangan di sekitarnya. Namun, tak mereka gubris. Sepertinya rapat yang tengah berlangsung begitu penting dan memerlukan perhatian yang sangat intensif, terlihat dari raut wajah mereka yang serius.
“Alhamdulillah, terima kasih buat kawan-kawan semua. Keputusan sudah bulat, panitia Muharram 1433 H akan mengadakan estafet Muharram, di mana isi dari estafet tersebut antara lain membuat ulasan sejarah Muharram sekitar 5 menit, bercerita tentang pengalaman saat tahun baru Islam sekitar 2 menit, puitisasi sekitar 3 menit, nasyid sekitar 3 menit, terakhir menulis quote tentang Muharram sekitar 2 menit. Selain itu, akan diadakan talk show, bazaar, donor darah, jalan santai, dan beberapa jenis kegiatan olahraga lainnya. Sekian. Assalamualaikum,” Ifa mengakhiri rapat dengan lega.
Peserta rapat pun langsung membubarkan diri, melanjutkan aktivitas mereka yang tertunda. Beberapa di antaranya masih terlibat diskusi kecil, sedang yang lainnya membereskan kekacauan yang ditimbulkan saat rapat tadi. Ini hanya permulaan, selanjutnya Ifa dan kawan-kawan akan menghadapi tantangan dalam perjalanan mereka nanti.

13 Dzulhijjah 1432 H
Teriknya panas di siang hari sangat menyengat. Setidaknya, itu yang dipikirkan Ifa. Belum lagi, otaknya yang kian memanas sebab sedari tadi ia terus memikirkan skema acara perayaan Muharram nanti, membuat dirinya gerah tak karuan. “Huffh…mungkin segelas es teh bisa menyegarkan,” pikirnya dalam hati.
“Nanda, temanin Ifa ke kantin yok. Ifa mau minum es teh,” kata Ifa pada Nanda yang duduk tak jauh dari posisinya.
“Oke, Nanda juga haus. Ifa yang traktir ya,” sahut Nanda sambil cengar-cengir.
Walhasil, mereka berdua pun segera melesat pergi menuju kantin. Namun, di tengah perjalanan, tak sengaja, Ifa menubruk seseorang akibat dirinya tak konsen saat berjalan.
Braaak…braak…bruuk..buku-buku berjatuhan di lantai seusai insiden tubrukan tadi. Ifa kaget bukan main. Refleks, Ifa berusaha menyusun buku-buku tersebut dalam genggaman tangan mungilnya, beradu cepat dengan orang yang ditubruknya. Nanda terbengong-bengong melihat tingkah kedua orang tersebut. Keduanya sama sekali tak melihat satu sama lain, hanya fokus mengumpulkan serakan buku-buku itu. Barulah saat Ifa hendak mengembalikan buku tersebut kepada si empunya, keduanya berdiri dan menatap satu sama lain. Entahlah, tiba-tiba Ifa merasa ada yang berdesir di hati. Cepat-cepat, Ifa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ifa tak ingin ada yang salah pengertian karena kejadian itu.
“Maafkan saya, ini buku-bukunya,” kata Ifa sambil menatap sebentar lalu menunduk lagi.
“ Oh ya, terima kasih. Saya permisi. Assalamualaikum” kata si empunya.
“Waalaikumsalam,” sahut Ifa dan Nanda.
Bila Ifa tak berani menatap wajah orang yang ditubruknya, Nanda masih sempat saja melirik orang tersebut tersenyum hingga sosoknya lenyap disembunyikan tembok-tembok besar kampus. Nanda pun kembali terbengong-bengong.
“Nanda….Nanda…ayo…..jangan bengong. Orangnya sudah tak ada. Ingat, mata juga sumber zina,” teriak Ifa yang tak henti menggoyangkan badan Nanda supaya cepat sadar.
Samar-samar mendengar kata zina, Nanda segera berucap istighfar sembari menoleh pada kawannya. “Maaf Ifa, kelepasan. Ternyata orang yang Ifa tabrak itu tampan juga,” balas Nanda centil.
Mendengar hal itu, Ifa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja. Tak ia perdulikan lagi perkataan Nanda, lebih baik ia segera pergi ke kantin. Akibat insiden tadi, rasa hausnya makin bertambah.
Namun, biar rasa haus itu telah terganti dengan segelas es teh. Ada rasa lain yang baru muncul dalam buku-buku hatinya. Mungkin, saat ini tak ia sadari. Akan tetapi, rasa yang tak disadarinya itu akan bergejolak pada suatu hari nanti.

15 Dzulhijjah 1432 H
Mendekati perayaan Tahun Baru Islam 1433 H, Ifa, Nanda, dan panitia lainnya tengah sibuk mengurusi keperluan nanti. Kesekretariatan LDK, tempat bernaungnya mereka dalam pengembangan keagamaan menjadi ramai dikunjungi. Kebetulan, mereka sengaja berkolaborasi dengan rekan-rekan di luar keanggotaan LDK sehingga kemungkinan besar, mereka akan bertemu orang-orang baru yang berkompeten sesuai keahlian yang dibutuhkan oleh panitia itu sendiri.
Siang ini, mereka akan mengadakan rapat besar. Rasa deg-degan sempat menyelimuti Ifa, ia khawatir dirinya belum siap sehingga tak bisa tampil dengan baik dalam mempresentasikan rencana kegiatan tersebut karena tiba-tiba saja ia ditunjuk oleh ketua LDK tanpa persiapan sama sekali.
“Assalamualaikum, para peserta rapat Muharram 1433 H. Alhamdulillah, pada hari ini, kita masih diberikan kesempatan bertemu untuk membahas persiapan peringatan Muharram 1433 H mendatang. Langsung saja, untuk mengefisiensikan waktu, Ifa selaku sekretaris akan mempresentasikan rencana kegiatan ini pada teman-teman semua. Harap didengarkan. Wassalamualaikum,” kata ketua LDK, Irwan Sahriri.
“Assalamualaikum. Alhamdulillah, penyelenggaraan perayaan Muharram tahun ini dapat kita laksanakan kembali. Dalam kesempatan ini, saya akan mempresentasikan rencana kegiatan kepada kawan-kawan semua. Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih pula kepada rekan dari luar keanggotaan LDK bisa meluangkan waktu untuk hadir dalam rapat besar kali ini. Selanjutnya……bla…bla…bla….,” kata Ifa menjelaskan dengan panjang lebar.
Terkadang saat berbicara, Ifa berhenti sebentar,  berusaha melihat mimik para peserta rapat, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru untuk mengetahui apakah mereka mengerti maksud dari penjelasannya. Tak khayal, saat memandang itu, matanya sempat menangkap sosok yang tak asing di benaknya. Lagi-lagi, ketika menatap sosok tersebut, dadanya berdesir kian menguat. Tak mau hal tersebut menganggu konsentrasinya, Ifa segera melanjutkan perkataannya tadi.
 Rapat besar pun akhirnya selesai. Semua pihak baik panitia maupun di luar keanggotaan panitia setuju mengenai rencana kegiatan tersebut. Kini, mereka harus bekerja lebih keras bila ingin kegiatan tersebut tercapai dengan hasil yang luar biasa.

20 Dzulhijjah 1432 H
Ifa tak menyangka bila ia mesti bertemu kembali dengan sosok yang pernah ia tubruk beberapa pekan lalu. Jika ia saat itu menolak untuk menatap, hal itu tak bisa ia lakukan lagi karena sosok tersebut benar-benar tepat di hadapannya. Dalam keadaan mendesak seperti ini, mau tidak mau, intensitas pertemuan di antara keduanya akan sering terjadi. Memang tak hanya dirinya saja, ada Nanda dan dua orang lagi dalam timnya. Namun, entah mengapa, Ifa merasa gugup bila berhadapan dengan orang tersebut.
Namanya Imam Dwi Rizky, pencinta saintis, kritis, inovatif, mudah bergaul dan hobi meneliti apa saja. Postur tubuh yang jangkung, berkacamata, dan nampak religius juga pendiam. Itulah yang dikatakan Nanda padanya. Ifa hanya manggut-manggut, tak berkomentar. Nanda yang menyadari reaksi yang tak sesuai harapan, merasa gemas lalu mencubit temannya.
“Aww…sakit mba. Kenapa Ifa dicubit toh?,” erang Ifa menahan sakit.
“Habis, reaksi Ifa tak seru banget. Standar,” sungut Nanda.
“Aduh, teman Ifa yang cantik. Biar dikata seribu pesona tentang dirinya tak ada pengaruhnya sama sekali buat Ifa saat ini. Ifa mau fokus ke kegiatan Muharram dulu. Ka Irwan benar-benar membuat Ifa sibuk. Ifa kan tak hanya satu tim dengan Nanda melainkan Ifa juga panitia inti,” bela Ifa sambil menatap temannya itu.
Nanda yang semula gemas jadi tersenyum sendiri lalu tertawa. “Baiklah, Nanda minta maaf. Ifa lanjutin saja kerjaannya. Nanda mau cari angin segar,” pamit Nanda pada Ifa.
Tak lama kemudian, setelah Nanda pergi, datang sosok yang dibicarakan mereka berdua. “Assalamualaikum Ifa,” kata sosok tersebut yang tak lain adalah Imam Dwi Rizky.
“Waalaikumsalam,” ucap Ifa terkaget-kaget.
“Kaget ya. Maaf. Ini ada beberapa file penting terkait acara nanti. Kuisioner, daftar peserta lomba, dan lainnya sudah ada dalam rekapan file ini,” kata Imam padanya.
“Oh iya, terima kasih. Maaf ngerepotin ya akhi Imam,” balas Ifa.
“Tak usah formal gitu. Panggil saja Imam. Ada yang bisa saya bantu? Sepertinya Ifa lagi kesulitan,” tawar Imam pada Ifa.
“Ada beberapa yang agak membingungkan tapi Ifa lagi berusaha menyelesaikannya,” kata Ifa.
“Coba saya lihat apa permasalahannya. Oh begini toh. Bagaimana kalau….bla…bla…bla…,” kata Imam menjelaskan pada Ifa.
Hari itu, gejolak rasa dalam hati Ifa makin menguat. Obrolan yang cukup lama di antara keduanya begitu membekas. Tak ada yang menarik sebenarnya dari pembicaraan mereka, hanya sebatas pemecahan masalah. Lagipula, ia bukanlah orang yang mudah bersosialisasi. Namun, pada Imam, Ifa merasakan keramahan saat berinteraksi. Mungkinkah rasa suka itu hadir…..entahlah, hanya Ifa yang mampu menerkanya.

22 Dzulhijjah 1432 H
Semakin sering bertemu, semakin besar tunas bunga bersemi di hati Ifa. Berawal dari insiden tubrukan itu, perasaan Ifa campur aduk bila berhadapan dengan Imam. Ingin rasanya, Ifa mengendalikan sensasi yang indah itu dalam dirinya. Namun, sayang, Ifa merasa tak kuasa untuk menetralisir gejolak tersebut, justru ia merasa terbuai dengan hadirnya rasa itu dalam kehidupannya. Belum lagi, hari-harinya terus-menerus dijemukan dengan berbagai urusan yang menjadi tanggung jawabnya. Hari-hari Ifa benar-benar bergemuruh di saat persiapan perayaan Muharram tengah terlaksana.
Namun, di lain hal, Ifa dan Imam nampaknya mulai akrab. Terlihat dari seringnya mereka berdiskusi ataupun mengobrol baik mengenai rencana kegiatan Muharram ataupun hal yang sepele. Jikalau seperti itu, mustahil tunas-tunas cinta tiada tumbuh di antara mereka berdua. Bukankah kebersamaan yang terjalin membuahkan sebuah kasih sayang yang menyelimuti lingkaran hidup mereka ? Tapi, mestikah sekarang ?

23 Dzulhijjah 1432 H
“Gawat Ifa, ada problem di kesekretariatan. Ayo kita ke sana,” seru Riechan yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
          Hati Ifa merasa was-was. Ia segera berlari menuju kesekretariatan. Aaaakh…mengapa harus sekarang masalah ini terjadi. Padahal, acara Muharram tinggal menunggu hari. Tiba di kesekretariatan, nampak orang-orang bergerombol menutupi pintu ruangan. Mau tak mau, Ifa harus menerjang arus tersebut agar bisa masuk.
          Saat berada di ruangan, Ifa tercengang bukan main. Keadaan ruangan begitu berantakan seperti habis diobrak-abrik. Ifa syok. Matanya kini mencari-cari sumber info yang terdekat. Saat Ifa baru melangkah, Irwan menegurnya.
          “Oh, Ifa sudah tiba ya. Sepertinya kita dapat masalah. Terkait dengan insiden ini, pengurus inti hendak mengadakan rapat dadakan. Informasikan ke teman-teman lainnya. Bada zuhur, kita sudah berkumpul ya”.
          Selidik punya selidik, insiden yang terjadi di kesekretariatan itu ternyata ulah sekelompok minoritas yang tak setuju dengan salah satu kegiatan mereka. Kemungkinan besar, mereka dikonfrontasi oleh orang lain. Belum selesai permasalahan tersebut mereda, isu lainnya merebak. Kini, pihak talkshow ingin memisahkan diri dari lingkup kepanitiaan Muharram. Ifa merasa remuk redam menghadapi dilema tersebut. Ia tak tahu harus berbuat apa.

25 Dzulhijjah 1432 H
          Akhir-akhir ini, Ifa mulai jarang berkomunikasi dengan Imam maupun Nanda. Pikirannya kini tengah konsen pada pemecahan masalah yang belum mencapai titik temu. Masalah yang timbul mendekati acara membuat dirinya tiada terlalu memperhatikan lagi kedua orang tersebut. Terakhir, Ifa melihat mereka berdua hanya saat insiden itu menggelegar. Itu pun keduanya hanya nampak dalam rentang jarak yang jauh, tak mendekat ke tempat kejadian. Hal ini membuat Ifa menjadi uring-uringan.
          “Ada apa ?” tanya seseorang padanya.
          “Oh, mba Lala. Kapan tiba di sini ? Tak apa kok mba. Ifa cuma lagi suntuk saja,” balas Ifa saat mengetahui kedatangan Lala, mantan aktivis LDK di kampusnya.
          “Baru saja. Mba mau ngurus administrasi supaya bisa lanjut ke universitas lain. Suntuk kenapa toh, Fa ?” tanyanya pada Ifa, adik tingkat semasa ia kuliah dulu.
          “Iya mba. Kami tak mengira masalah bakal datang di saat acara kegiatan tinggal beberapa hari lagi. Perkaranya belum mencapai titik temu. Ka Irwan juga sepertinya berusaha berbicara baik-baik dengan pihak yang kontra tapi juga tak ada hasil. Kami mesti bagaimana ya mba ?” curhat Ifa pada Lala.
          Lala hanya tersenyum, lalu dengan lembut ia berkata,” Ifa, sudah minta petunjuk sama Allah SWT ? Sudah berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Mendekatlah lalu pahamilah mereka dengan kasih sayang. Ifa, sesungguhnya di balik kesulitan pasti ada kemudahan….,” jelas Lala.
          Ifa mendesah lalu berkata,” Insyaallah mba”.
          “Ya sudah. Mba pulang dulu ya. Assalamualaikum,” pamit Lala pada Ifa.
          Sepeninggal Lala, Ifa memutuskan untuk mengikuti sarannya. Namun, langkahnya terhenti di kala Ifa memergoki Nanda dan Imam sedang asyik mengobrol di pelataran taman kampus. Tubuhnya menegang, ia segera berbalik menuju tempat asalnya tadi. Ia bimbang.

27 Dzulhijjah 1432 H
          Pikiran Ifa benar-benar kacau. Ifa butuh ketenangan namun deadline acara tak membiarkan dirinya untuk berhenti sejenak. Ifa merasa jengah namun ia juga tak mampu terlepas dari belenggu itu.
          Meski begitu, Ifa tetap berusaha melakukan saran dari Lala. Oleh karenanya, ia mencoba utarakan hal ini pada Irwan dan beberapa rekan yang dapat ia percaya. Selanjutnya, ia pasrahkan keputusan di tangan kawan-kawannya apakah menerima saran itu atau tidak.
          Semestinya, hatinya merasakan kelegaan namun sedikitpun tiada tertoreh dalam batinnya. Di saat tertekan seperti itu, Ifa biasanya memainkan jari jemari mungilnya dengan lembut di selembar kertas putih. Ya, Ifa suka menulis. Menulis membuatnya mampu menguraikan apa yang tak mampu ia kemukakan. Menulis ialah surat hatinya yang terpendam.
          Cukup lama, Ifa berada sendirian di ruang kesekretariatan. Ia memang sengaja meminta izin pada Irwan untuk tetap berada di sana sebelum ia melakukan pendekatan terhadap pihak yang kontra dengan panitia penyelenggara kegiatan. Semoga saja, ia berhasil meluluhkan hati mereka semua, harap Ifa.
          Akibat terlalu lama di ruangan, rasa lapar menyergap dirinya. Ia putuskan untuk mencari sedikit makanan sebagai penyangga perutnya yang kosong. Maka, ia tinggalkan ruangan tersebut lalu beralih ke koperasi dekat ruangan yang ia tempati. Ifa hanya menutup pintu ruangan sedikit. Pikirnya, ia hanya pergi sebentar. Tak kan ada yang berani macam-macam di sana. Toh, ia sudah menuliskan kata-kata “JANGAN MASUK. PENGURUS SEDANG REHAT”.
          Sesampainya Ifa di ruangan, ia malah menemukan tulisan tangannya hilang seketika. Ifa meradang lalu menangis. Nisa yang saat itu hendak masuk ke ruangan kaget melihat kawannya terisak-isak.

28 Dzulhijjah 1432 H
          “Tak salah lagi pasti Nanda,” simpulnya dalam hati. Sebab yang masuk ke ruangan saat ia keluar adalah Nanda. Ia tahu itu dari Nisa. Ifa nampak kesal pada sahabatnya. Di lain hal, Nanda yang mengetahui kejadian itu segera menyusul menemui Ifa. Sayang beribu sayang, Ifa tak juga mau berbicara dengannya.
          Di saat-saat seperti ini, Ifa teringat perkataan Lala. Sekuat tenaga, Ifa berusaha menjernihkan pikirannya. Ia berjalan sendirian mengitari tempat-tempat di sepanjang area kampus hingga akhirnya terhenti di koperasi. Tak sengaja, matanya menangkap seberkas lembaran kertas putih. Ia mendekat dan ia temukan kertas yang hilang itu. Spontan, ia menangis lalu berlari menuju musholla.
          Di dalam musholla, Ifa tumpahkan semua kegundahan hatinya dalam sholat. “Astaghfirullah, ya Allah. Ampuni hamba-Mu ini yang telah mendzalimi saudaranya sendiri. Bagaimana mungkin hamba bisa menyalahkan Nanda padahal kesalahan itu akibat diri ku,” isak Ifa pada Allah saat berdoa.
          Sesuai sholat, Ifa dihadang oleh Imam di beranda musholla. Imam mengajaknya berbicara tentang permasalahan yang sedang terjadi antara dirinya dan Nanda. Imam berusaha menjelaskan duduk perkaranya. Ifa mendengarkan dan menerima pendapat Imam. “Jangan biarkan diri mu ditutupi dengan keegoisan hati bila kamu tak ingin kehilangan orang yang kamu sayangi,” kata Imam menutup pembicaraan tersebut.
          Setelah itu, Ifa berencana ingin menemui Nanda. Baru beberapa langkah berjalan, Nanda tiba-tiba berlari memeluknya sambil berurai air mata. “Maafkan Nanda, Ifa,” kata Nanda sesegukan. Imam yang berada di sana, perlahan-lahan menjauhkan dirinya dari kedua sahabat tersebut, membiarkan mereka berdua saling berbicara.

01 Muharram 1433 H
          Alhamdulillah, acara menyambut Tahun Baru Islam dapat terlaksana dengan baik. Pendekatan yang ia lakukan pekan lalu mampu meluluhkan hati pihak yang bermasalah dan berhasil memboyong mereka kembali untuk bekerja sama. Tak hanya itu, permasalahan dengan Nanda juga telah selesai. Ifa merasa bersyukur akan hal itu.
          Saat Ifa sedang asyik menikmati kegiatan Muharram yang tengah berlangsung di halaman kampus, Nanda menghampirinya lalu tersenyum sembari menyematkan sepucuk surat di tangannya. “ Dibaca ya,” kata Nanda sambil berlalu.
          Assalamualaikum. Aku bukanlah si pandai yang bisa membuat kata-kata yang santun juga baik. Namun, biarkan ku utarakan sesuatu hal kepada mu. Sesungguhnya, aku tertarik kepada mu, pada kepribadian mu, pada tingkah polah mu, sikap mu dan lainnya. Memang, akhir-akhir ini, aku begitu dekat dengan sahabat mu. Sungguh, tak ada sesuatu hal yang terjadi di antara kami. Kami hanya berdiskusi mengenai tugas kami. Selebihnya, ia terus membicarakanmu. Maaf, aku telah lancang menuliskan ini kepada mu. Tapi dari sahabat mu, aku tahu bahwa dirimu juga menyukai ku. Ifa, aku tak ingin merusak citra mu yang suci itu. Cukuplah Allah saja yang menghembuskan nikmat-Nya untuk menyatukan kita bila kita berjodoh. Kita sama-sama belajar menjaga diri saja untuk saat ini. Terima kasih untuk kerelaan hati mu untuk mengenal ku. Wassalam.
Salam hangat, Imam
          Air mata menetes sedikit demi sedikit saat Ifa membaca surat tersebut. Saat itulah, ia menyadari penyebab kegelisahan hatinya yang tak kunjung menghilang. Inilah jawabannya. “Ya Allah, syukur ku pada-Mu, hingga sampai saat ini masih Kau gulirkan beribu-ribu cinta dari ciptaan-Mu hingga aku mampu temukan jalan terangnya,” isaknya terharu.
          Hatinya kini terasa damai, diselimuti gelombang cinta yang begitu indah. Di Muharram ini, ia semakin memahami keberadaan cinta yang ada di sekitarnya. Cintanya pada saudaranya, pada tugasnya, dan pada yang lainnya membuat dirinya menjelma menjadi pribadi yang lebih tangguh lagi. Lalu, bagaimana dengan perasaannya pada Imam ? Dalam hal itu, Ifa memutuskan untuk membiarkan waktu saja yang menjawabnya. Di masa penantian itu, ia terus mencoba merayu Allah agar berkenan menyatukan dirinya dengan Imam. Semoga saja impiannya terwujud. Amin.
“Wahai Allah, izinkan aku kembali bertemu dengan Muharram-Mu lagi di tahun-tahun selanjutnya agar aku bisa menyemaikan benih-benih cinta-Mu seperti saat ini,” urainya dalam hati.

---------------Tamat---------------

Ku lukiskan pena ku dengan gelombang cintanya yang tak menentu
Membuai sang rindu lewat warna pelanginya
Bila masa terjatuh lekaslah bangkit
Sebab kisah cinta tiada kan terhenti sampai di sini

Ku lukiskan pena ku dalam diamnya yang syahdu
Menumbuhkan keramahan hati bertaut cinta dalam goresnya
Kan banyak bunga yang kan bersemi dalam langkah
Maka biarkan jiwa bermain-main di dalamnya


Sabtu, 08 Oktober 2011

Lautan Jilbab

Masterpiece : Emha Ainun Nadjib

Lautan Jilbab
Para malaikat Allah tak bertelinga,
tapi mereka mendengar suara nyanyian beribu-ribu jilbab
Para malaikat Allah tak memiliki mata,
tapi mereka menyaksikan derap langkah beribu jilbab
Para malaikat Allah tak punya jantung,
tapi sanggup mereka rasakan degub kebangkitan
jilbab yang seolah berasal dari dasar bumi
Para malaikat Allah tak memiliki bahasa dan budaya,
tapi dari galaksi mereka seakan-akan terdengar suara:
ini tidak main-main! ini lebih dari sekedar kebangkitan sepotong kain!
Para malaikat Allah seolah sedang bercakap-cakap di antara mereka
kebudayaan jilbab itu, bersungguh-sungguhkah mereka?
O, amatilah dengan teliti: ada yang bersungguh-sungguh,
ada yang akan bersungguh-sungguh,
ada yang tidak bisa tidak bersungguh-sungguh
Sedemikian pentingkah gerakan jilbab di negeri itu?
O, sama pentingnya dengan kekecutan hati semua kaum yang tersingkir,
sama pentingnya dengan keputusasaan kaum gelandangan,
sama pentingnya dengan kematian jiwa orang-orang malang
yang dijadikan alas kaki sejarah
Bagaimana mungkin ada kelahiran di bawah injakan kaki Dajjal?
bagaimana mungkin muncul kebangkitan dari rantai belenggu kejahiliyahan?
O, kelahiran sejati justru dari rahim kebobrokan,
kebangkitan yang murni justru dari himpitan-himpitan
alamkah yang melahirkan gerakan itu atau manusia?
O, alam dalam diri manusia.
Alam tak boleh benar-benar takluk oleh setajam apapun
pedang peradaban manusia,
alam tak diperkenankan sungguh-sungguh
tunduk di bawah kelicikan tuan-tuannya
Apakah burung-burung ababil akan menabur dari langit
untuk menyerbu para gajah yang durjana?
O, burung-burung ababil melesat keluar dari kesadaran pikiran,
dari dzikir jiwa dan kepalan tangan
Para malaikat Allah yang jumlahnya tak terhitung,
berseliweran melintas-lintas ke berjuta arah di seputar bumi
Para malaikat Allah yang amat lembut sehingga seperjuta atom
tak sanggup menggambarkannya
Para malaikat Allah yang besarnya tak terkirakan oleh matematika ilmu manusia sehingga seluruh jagat raya ini disangga di telapak tangannya
Tergetar, tergetar sesaat, oleh raungan sukma dari bumi
Para malaikat Allah seolah bergemeremang bersahut-sahutan di antara mereka
apa yang istimewa dari kain yang dibungkuskan di kepala?
O, hanya ketololan yang menemukan jilbab sekedar sebagai pakaian badan
lihatlah perlahan-lahan makin banyak manusia yang memakai jilbab, lihatlah kaum lelaki
berjilbab, lihatlah rakyat manusia berjilbab, lihatlah ummat-ummat berjilbab, lihatlah Siapapun saja yang memerlukan perlindungan, yang memerlukan genggaman keyakinan, yang memerlukan cahaya pedoman, lihatlah mereka semua berjilbab
Adakah jilbab itu semacam tindakan politik, semacam perwujudan agama,
atau pola perubahan kebudayaan?
Para malaikat Allah yang bening bagai cermin segala cermin,
seolah memantulkan suara-suara:
Jilbab ini lagu sikap kami, tinta keputusan kami,
langkah-langkah dini perjuangan kami
jilbab ini surat keyakinan kami, jalan panjang belajar kami,
proses pencarian kami
jilbab ini percobaan keberanian di tengah pendidikan ketakutan
yang tertata dengan rapi
jilbab ini percikan cahaya dari tengah kegelapan,
alotnya kejujuran di tengah hari-hari dusta
jilbab ini eksperimen kelembutan untuk meladeni jam-jam brutal dari kehidupan
jilbab ini usaha perlindungan dari sergapan-sergapan
Dunia entah macam apa, menyergap kami
sejarah entah ditangan siapa, menjaring kami
kekuasaan entah dari napsu apa, menyerimpung kami
kerakusan dengan ludah berbusa-busa, mengotori wajah kami
langkah kami terhadang, kaki kami terperosok di
pagar-pagar jalan protokol peradaban ini
buku-buku pelajaran memakan kami
tontonan dan siaran melahap kami
iklan dan barang jualan menggiring kami
panggung dan meja-meja birokrasi mengelabui kami
mesin pembodoh kami sangka bangku sekolah
ladang-ladang peternakan kami sangka rumah ibadah
mulut kami terbungkam, mata kami nangis darah
Hidup adalah mendaki pundak orang-orang lain
hari depan ialah menyuap, disuap, menyuap, disuap
kalau matahari terbit kami sarapan janji
kalau matahari mengufuk, kami dikeloni janji
kalau pagi bangkit, kami ditidurkan
ketika hari bertiup, kami dininabobokan
kaum cerdik pandai suntuk mencari permaafan atas segala kebobrokan
kaum ulama sibuk merakit ayat-ayat keamanan
para penyair pahlawan berkembang menjadi pengemis
tidak ada perlindungan bagi kepala kami yang ditaburi virus-virus
tak ada perlindungan bagi akal pikiran kami yang dibonsai
tak ada perlindungan bagi hati nurani kami yang
dipanggang diatas tungku api congkak kekuasaan
tungku api kekuasaan yang halus, lembut dan kejam
Tak ada perlindungan bagi iman kami yang dicabik-cabik dengan pisau-pisau beracun
tak ada perlindungan bagi kuda-kuda kami yang digoyahkan
oleh keputusan sepihak yang dipaksakan
tak ada perlindungan bagi akidah kami yang ditempeli topeng-topeng, yang dirajam, dimanipulir oleh rumusan-rumusan palsu yang memabukkan
tak ada perlindungan bagi padamnya matahari hak kehendak kami yang diranjau
maka inilah jilbab. inilah jilbab!
Ini furqan, pembeda antara haq dan bathil
jarak antara keindahan dengan kebusukan
batas antara baik dan buruk, benar dan salah
kami menyarungkan keyakinan dikepala kami
menyarungkan pilihan, keputusan, keberanian dan istiqamah, dinurani dan jiwaraga kami
Ini jilbab ilahi rabbi, jilbab yang mengajarkan ilmu menapak dalam irama
ilmu untuk tidak tergesa, ilmu tak melompati waktu dan batas realitas
ilmu bernapas setarikan demi setarikan, selangkah demi selangkah, hikmah demi hikmah
rahasia demi rahasia, kemenangan demi kemenangan
Para malaikat Allah yang lembut melebihi kristal, para malaikat allah yang suaranya tak bisa didengarkan oleh segala macam telinga, berbisik-bisik di antara mereka
Wahai! anak-anak tiri peradaban! anak-anak jadah kemajuan dan perkembangan!
anak-anak yatim sejarah, sedang menghimpun akal sehat
menabung hati bening, menerobos ke masa depan yang kasat mata
lautan jilbab! lautan jilbab! gelombang perjuangan, luka pengembaraan, tak mungkin bisa dihentikan wahai! sunyi telah memulai bicara!

Biografi Emha Ainun Najib

Emha Ainun Nadjib yang akrab dipanggil Cak Nun adalah seorang seniman, budayawan, intelektual muslim, dan juga penulis asal Jombang, Jawa timur. Ia merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Cak Nun lahir di Djombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.

Biografi Emha Ainun Nadjib Cak Nun dari Google Biografi

Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang mBulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Selain itu ia juga menyelenggarakan acara Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender. Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil kiai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu.  Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuatrumah kontrakannya, di Bugisan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu dua kali pertunjukan. Selain manggung, ia juga menjasjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. "Itu hanya be baik sudah berdakwah," katanya.

Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik Kiai Kanjeng di taman budaya, maya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti -- yang berpangkalan di ntuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal," ujarnya.

Dia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat.

Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.

Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.

Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Karya Seni Teater

Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).

Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan.

Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994)

Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997);

Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).

Pluralisme


Cak Nun bersama Grup Musik Kiai Kanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat (bernyanyi) dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih terdiam, lalu sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, "Sholatullah salamullah/ ’Ala thoha Rasulillah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah salamullah/ ’Ala yaasin Habibillah/ ’Ala yaasin Habibillah..."

Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan. "Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat," ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid.

Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu (14/10/2006) malam, itu ia melakukan hal-hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran.

Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. "Ada apa dengan pluralisme?" katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme.

"Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar," ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua," tutur budayawan intelektual itu.

Sabtu, 10 September 2011

Biografi Buya Hamka


Buya Hamka lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA.

Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga Darjah Dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.