Rabu, 30 November 2011

Fase Dunia Tulis Ku

Huuuufh....pengalaman menulis ku bermula sewaktu sekolah dasar dulu, dan terus berkembang hingga sekarang. Semoga saja, bisa lebih baik lagi. Soalnya menulis bukan lah ajang untuk menjadi terkenal, membuat kata-kata sepanjang mungkin, juga bukan untuk mendapat pujian. Akan tetapi, sebagai ladang untuk pengembangan kreativitas, bakat, olah kata buat diri kita dalam hal memotivasi, menyebarkan kebaikan di sekitar kita, dan lain-lain yang tidak membawa pengaruh buruk

Kelas VI SD Muhammadiyah 2 Samarinda
Di kalangan teman-teman ku, ku termasuk orang yang pendiam, lumayan pintar (memuji sedikit tak apa ya ^_^). Sewaktu itu, ada perlombaan mengarang tingkat SD-se Kalimantan Timur. Nah, oleh guru ku, aku disuruh membuat karangan. Yo wes, ku kerjakan karangan tersebut dibantu dengan ayah ku. Syukurlah karangan ku selesai dan ku kumpulkan ke guru ku. Hahahahaha....sayangnya, aku tak jadi diikutkan lomba. Tahu mengapa bisa terjadi ? Ya, karena aku pendiam :D. Memang aku bisa mengarang tapi kemampuan bicara juga saat itu merupakan penilaian yang penting. So, akhirnya teman ku lah yang dinobatkan jadi peserta lomba

Yup, itu pengalaman ku saat mau mengikuti lomba mengarang meski tidak kejadian. Sejujurnya, semasa SD dulu, aku juga senang menulis apa pun di buku diary, atau di mana saja asal ketemu kertas dah. Sayangnya, aku kepergok sama ibu nulis sesuatu...jadinya malas buat nulis-nulis lagi....hahahaha.

Hal yang memotivasi ku sering menulis ya dari aku membaca majalah BOBO. Tiap pekan pasti selalu beli atau kalau tak bisa, biasanya minjam ke sepupu. Gara-gara itu, aku dijuluki sama julak ku kutu buku. Yach, tak apalah, bukan kah awal mula menulis dari minat membaca ? Asiiiik.....

Semasa SMP Negeri 1 Samarinda
Masuk ke SMP, aku agak lama tak kontak dengan dunia menulis. Sibuk dengan berbagai tugas. Maklum, kan masih awal-awal jadi anak ABG (alias Anak Baru Gede). Tapi tetap, kalau pas lagi disuruh mengarang waktu pelajaran Bahasa Indonesia, paling mahir buat kata-kata sampai berlembar-lembar padahal disuruhnya cuman 2-3 lembar saja. Rakus amat yak kalau dipikir-pikir.

Nah, menjelang UAN, mulai lagi aku ingat-ingat sama dunia menulis. Ceritanya, saat itu aku lagi les Bahasa Indonesia di Airlangga. Sembari menunggu teman-teman datang, sharing lah diri ku dengan pak guru yang aku lupa namanya. Insya allah, kalau masih ingat, beliau berkata pada ku," Kembangkan terus minat menulis mu. Jangan pantang menyerah. Kalau butuh bantuan, hubungi bapak saja,". Nah, dari situlah, aku mulai menulis lagi

Semasa SMA (MAN 2 Samarinda)
Karir ku menulis saat SMA sewaktu ikut lomba esai ilmiah soalnya aku merupakan anggota KIR (Kelompok Ilmiah Remaja). Tak menang sie tapi lumayan dapat sertifikat. Selanjutnya, ikut LPIR tak menang juga, tapi alhamdulillah dari sekolah ada yang mewakilkan. Mereka itu para lelaki semua, terdiri dari ka Rudi, Ghazali, sama Imam Rosyadi. Mereka benar-benar hebat, aku salut sama mereka.

Sewaktu kelas 2 SMA, tertarik dengan ide temanku, Setyawati, aku berniat buat cerita pendek tentang seorang anak perempuan yang bersikap seperti lelaki. Cerpen pertama ku ku beri judul "Pilihan Hidup Ara". Saat cerpen ku kelar, ku minta pendapat teman-teman ku. Kebetulan, teman ku yang bernama Linda ini memberikan cerpen ku kepada kakaknya. Pendapat kakaknya itu begini ," Cerpennya udah bagus tapi lebih bagus lagi kalau ga plagiat". Aku senyam-senyum saja, memang benar aku memplagiat dari novel terjemahan judulnya Samira dan Samir, hanya saja memang aku ubah ke nuansa Islam. Meski mendapatkan kritik yang agak kurang menyenangkan, hal itu tak mempengaruhi niat ku untuk tetap menulis.

Menjelang ujian SMA, kelas 3, aku dihadapkan dengan begitu banyak problema. Namun, di sela-sela kesedihan yang mendera ku, aku masih bisa menulis cerpen tentang persahabatan. Salah satu judulnya yaitu Cinta Sang Sahabat dan Dua Hati Untuk Rindu (tapi belum kelar), menulis puisi buat kawan lelaki ku Yusuf, juga mulai gemar mengirim sms ke teman-teman terdekat ku berupa kata-kata mutiara atau menyangkut hal seperti itu.

Ada cerita menarik lainnya yang memotivasi ku untuk terus menulis. Sore itu, ketika suasana sekolah lenggang. Aku berbicara dengan seseorang yang istimewa, namanya Imam Rosyadi. Padahal, bukanlah hal yang mudah untuk bisa berbicara dengannya terkait isu "ada deh". Tapi, jujur, dia termasuk "muse" ku saat menulis. Terima kasih ya atas perkataan mu saat itu. Aku berharap bisa selalu memberi mu kebaikan sampai ajal menjelang (sok mendramatisir tapi kata-kata ini sungguh tulus kok terucap).
Semasa kuliah hingga sekarang
Nah, sewaktu kuliah ini lah ku bertemu dengan calon-calon penulis di lingkup teman-teman kuliah. Ada beberapa yang paling sering sharing seperti Andri Maulida, Elsa Yuliana, Ita Zakiyah, sampai para penulis terkenal seperti Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa (hanya lewat fb kalau sama penulis terkenal hahaha).

Nah, hal yang menarik lagi. Aku dapatkan dari kata-kata Imam lewat fb. Soalnya saat ini, dia tengah kuliah di Universitas Al-Azhar, jadinya kami hanya bisa berkomunikasi lewat fb atau selular. Berikut cuplikan kalimatnya, "
biarkanlaahh....
kamu yang saat ini akan lebih kuat, menuntun u untuk berkreasi n berimajinasi dg menuangkan kebentuk tulisan yg lebih menyentuh perasaan, karna itu pengalamn hdup u yg sebnarx.
ketika cita2 u sbg penulis tlah tercapai, u baru akan sadar,
Allah tlah memberikan yg terbaik, n u akan mngerti maksud knpa semua ap yg kau inginkan di SMA atau seluruhnya gak tercapai.
cause derita saat in...i, membuat inspirasi untuk kdepannya u..
:)

Nb : sorry, i can't tell the truth if one of my note to you."
kalimatnya itulah yang sampai sekarang jadi penyemangat ku....hehehe....thank u so much...
Selanjutnya, aku mulai nulis-nulis lagi di blog, kadang di catatan fb plus masih tetap kirim sms ke teman-teman baik puisi atau motivasi. Nah, serunya, lewat fb aku kenal dengan situs Dumanalizers. Aku mulai ikutan lomba cerpen meski lagi-lagi tak menang. Hahahahah...ketawa dah kalau ingat itu. Terakhir, aku ikutan lomba cerpen di UNMUL dalam rangka Muharram 1433 H. Semoga saja bisa menang....amin....^-^

Oke teman-teman, inilah seputar kisah ku tentang fase dunia tulis ku. Maaf rada berantakan, soalnya yang kebanyakan mikir itu jari-jemari ku saja hehehe....
Kesan terakhir ku adalah "Menulis lah untuk kebaikan mu, orang-orang di sekitar mu, juga untuk cinta mu pada Allah SWT"....Sekian.....

Senin, 28 November 2011

Pena Cinta di Muharram Ifa



09 Dzulhijjah 1432 H
Allahu Akbar….Allahu Akbar…..
Terdengar suara adzan ashar berkumandang menyisipi sela-sela kesibukan seorang gadis mungil di tengah perjuangannya merapikan slide-slide mata kuliah yang berantakan. ”Ifaaaaaaaaaaaaaaa…….cepetan, keburu shalat ashar. Nanti kita ketinggalan shalat jamaah nie,” teriak gadis sebayanya.
“ Iya, sedikit lagi. Nanda duluan saja ke sana. Ifa akan menyusul,” jawab Ifa, si gadis mungil tadi.
“Yo wes, assalamualaikum,” balas Nanda sambil berlalu.
“ Waalaikumsalam,” kata Ifa singkat.
Kini ia berusaha mempercepat pekerjaannya. Ia tak mau ketinggalan shalat berjamaah. “Bukankah pahala berjamaah 27 x dari shalat munfarid ?”, gumamnya dalam hati.
Beberapa menit kemudian, Ifa pun menyusul rekannya di mushola. Untunglah, ia masih bisa mengikuti shalat ashar berjamaah. Suasana seketika berubah menjadi tenang dan syahdu kala imam memulai shalat. Sang imam nampak begitu menghayati lakonnya dalam membimbing para ma’mum shalat berjamaah sore itu. Tak mau kalah, para ma’mum pun berusaha khusyuk saat menjalankannya. Dua kombinasi yang saling berkesinambungan demi satu tujuan yakni bertemu Allah SWT, cinta abadi mereka.
Saat itu, senja mulai memancarkan sinar mega jingganya di ufuk barat. Mempermainkan jemarinya pada awan-awan yang bergerak tak menentu, menggoreskan pesona indahnya sebagai lambang kebesaran Sang Khalik pada bumi, ciptaan-Nya. Bagi Ifa, Nanda, dan lainnya, shalat ashar menjadi penutup hari yang luar biasa nikmat setelah penat saat beraktivitas.

11 Dzulhijjah 1432 H   
“Nah, kawan-kawan. Apakah ada ide untuk mengisi acara berkenaan dengan Tahun Baru Islam ? Silahkan acungkan tangan dan kemukakan ide kalian secara singkat dan jelas,” kata Ifa, sang moderator.
“Assalamualaikum….”, kata seseorang memotong pembicaraan.
“Waalaikumsalam” sahut peserta rapat yang hadir di sana.
“Saya Riechan, saya punya usul, bagaimana kalau kita mengadakan estafet Muharram. Dalam estafet ini, kita buat beberapa kegiatan dengan menggunakan sistem pos. Pos 1 misalnya saja mendengarkan sejarah Muharram, lalu secara singkat menulis ulasan dari apa yang didengarkan, begitu seterusnya,” lanjut peserta tersebut.
Dalam ruangan yang kecil itu, gema suara riuh rapat mengusik ketenangan di sekitarnya. Namun, tak mereka gubris. Sepertinya rapat yang tengah berlangsung begitu penting dan memerlukan perhatian yang sangat intensif, terlihat dari raut wajah mereka yang serius.
“Alhamdulillah, terima kasih buat kawan-kawan semua. Keputusan sudah bulat, panitia Muharram 1433 H akan mengadakan estafet Muharram, di mana isi dari estafet tersebut antara lain membuat ulasan sejarah Muharram sekitar 5 menit, bercerita tentang pengalaman saat tahun baru Islam sekitar 2 menit, puitisasi sekitar 3 menit, nasyid sekitar 3 menit, terakhir menulis quote tentang Muharram sekitar 2 menit. Selain itu, akan diadakan talk show, bazaar, donor darah, jalan santai, dan beberapa jenis kegiatan olahraga lainnya. Sekian. Assalamualaikum,” Ifa mengakhiri rapat dengan lega.
Peserta rapat pun langsung membubarkan diri, melanjutkan aktivitas mereka yang tertunda. Beberapa di antaranya masih terlibat diskusi kecil, sedang yang lainnya membereskan kekacauan yang ditimbulkan saat rapat tadi. Ini hanya permulaan, selanjutnya Ifa dan kawan-kawan akan menghadapi tantangan dalam perjalanan mereka nanti.

13 Dzulhijjah 1432 H
Teriknya panas di siang hari sangat menyengat. Setidaknya, itu yang dipikirkan Ifa. Belum lagi, otaknya yang kian memanas sebab sedari tadi ia terus memikirkan skema acara perayaan Muharram nanti, membuat dirinya gerah tak karuan. “Huffh…mungkin segelas es teh bisa menyegarkan,” pikirnya dalam hati.
“Nanda, temanin Ifa ke kantin yok. Ifa mau minum es teh,” kata Ifa pada Nanda yang duduk tak jauh dari posisinya.
“Oke, Nanda juga haus. Ifa yang traktir ya,” sahut Nanda sambil cengar-cengir.
Walhasil, mereka berdua pun segera melesat pergi menuju kantin. Namun, di tengah perjalanan, tak sengaja, Ifa menubruk seseorang akibat dirinya tak konsen saat berjalan.
Braaak…braak…bruuk..buku-buku berjatuhan di lantai seusai insiden tubrukan tadi. Ifa kaget bukan main. Refleks, Ifa berusaha menyusun buku-buku tersebut dalam genggaman tangan mungilnya, beradu cepat dengan orang yang ditubruknya. Nanda terbengong-bengong melihat tingkah kedua orang tersebut. Keduanya sama sekali tak melihat satu sama lain, hanya fokus mengumpulkan serakan buku-buku itu. Barulah saat Ifa hendak mengembalikan buku tersebut kepada si empunya, keduanya berdiri dan menatap satu sama lain. Entahlah, tiba-tiba Ifa merasa ada yang berdesir di hati. Cepat-cepat, Ifa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ifa tak ingin ada yang salah pengertian karena kejadian itu.
“Maafkan saya, ini buku-bukunya,” kata Ifa sambil menatap sebentar lalu menunduk lagi.
“ Oh ya, terima kasih. Saya permisi. Assalamualaikum” kata si empunya.
“Waalaikumsalam,” sahut Ifa dan Nanda.
Bila Ifa tak berani menatap wajah orang yang ditubruknya, Nanda masih sempat saja melirik orang tersebut tersenyum hingga sosoknya lenyap disembunyikan tembok-tembok besar kampus. Nanda pun kembali terbengong-bengong.
“Nanda….Nanda…ayo…..jangan bengong. Orangnya sudah tak ada. Ingat, mata juga sumber zina,” teriak Ifa yang tak henti menggoyangkan badan Nanda supaya cepat sadar.
Samar-samar mendengar kata zina, Nanda segera berucap istighfar sembari menoleh pada kawannya. “Maaf Ifa, kelepasan. Ternyata orang yang Ifa tabrak itu tampan juga,” balas Nanda centil.
Mendengar hal itu, Ifa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja. Tak ia perdulikan lagi perkataan Nanda, lebih baik ia segera pergi ke kantin. Akibat insiden tadi, rasa hausnya makin bertambah.
Namun, biar rasa haus itu telah terganti dengan segelas es teh. Ada rasa lain yang baru muncul dalam buku-buku hatinya. Mungkin, saat ini tak ia sadari. Akan tetapi, rasa yang tak disadarinya itu akan bergejolak pada suatu hari nanti.

15 Dzulhijjah 1432 H
Mendekati perayaan Tahun Baru Islam 1433 H, Ifa, Nanda, dan panitia lainnya tengah sibuk mengurusi keperluan nanti. Kesekretariatan LDK, tempat bernaungnya mereka dalam pengembangan keagamaan menjadi ramai dikunjungi. Kebetulan, mereka sengaja berkolaborasi dengan rekan-rekan di luar keanggotaan LDK sehingga kemungkinan besar, mereka akan bertemu orang-orang baru yang berkompeten sesuai keahlian yang dibutuhkan oleh panitia itu sendiri.
Siang ini, mereka akan mengadakan rapat besar. Rasa deg-degan sempat menyelimuti Ifa, ia khawatir dirinya belum siap sehingga tak bisa tampil dengan baik dalam mempresentasikan rencana kegiatan tersebut karena tiba-tiba saja ia ditunjuk oleh ketua LDK tanpa persiapan sama sekali.
“Assalamualaikum, para peserta rapat Muharram 1433 H. Alhamdulillah, pada hari ini, kita masih diberikan kesempatan bertemu untuk membahas persiapan peringatan Muharram 1433 H mendatang. Langsung saja, untuk mengefisiensikan waktu, Ifa selaku sekretaris akan mempresentasikan rencana kegiatan ini pada teman-teman semua. Harap didengarkan. Wassalamualaikum,” kata ketua LDK, Irwan Sahriri.
“Assalamualaikum. Alhamdulillah, penyelenggaraan perayaan Muharram tahun ini dapat kita laksanakan kembali. Dalam kesempatan ini, saya akan mempresentasikan rencana kegiatan kepada kawan-kawan semua. Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih pula kepada rekan dari luar keanggotaan LDK bisa meluangkan waktu untuk hadir dalam rapat besar kali ini. Selanjutnya……bla…bla…bla….,” kata Ifa menjelaskan dengan panjang lebar.
Terkadang saat berbicara, Ifa berhenti sebentar,  berusaha melihat mimik para peserta rapat, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru untuk mengetahui apakah mereka mengerti maksud dari penjelasannya. Tak khayal, saat memandang itu, matanya sempat menangkap sosok yang tak asing di benaknya. Lagi-lagi, ketika menatap sosok tersebut, dadanya berdesir kian menguat. Tak mau hal tersebut menganggu konsentrasinya, Ifa segera melanjutkan perkataannya tadi.
 Rapat besar pun akhirnya selesai. Semua pihak baik panitia maupun di luar keanggotaan panitia setuju mengenai rencana kegiatan tersebut. Kini, mereka harus bekerja lebih keras bila ingin kegiatan tersebut tercapai dengan hasil yang luar biasa.

20 Dzulhijjah 1432 H
Ifa tak menyangka bila ia mesti bertemu kembali dengan sosok yang pernah ia tubruk beberapa pekan lalu. Jika ia saat itu menolak untuk menatap, hal itu tak bisa ia lakukan lagi karena sosok tersebut benar-benar tepat di hadapannya. Dalam keadaan mendesak seperti ini, mau tidak mau, intensitas pertemuan di antara keduanya akan sering terjadi. Memang tak hanya dirinya saja, ada Nanda dan dua orang lagi dalam timnya. Namun, entah mengapa, Ifa merasa gugup bila berhadapan dengan orang tersebut.
Namanya Imam Dwi Rizky, pencinta saintis, kritis, inovatif, mudah bergaul dan hobi meneliti apa saja. Postur tubuh yang jangkung, berkacamata, dan nampak religius juga pendiam. Itulah yang dikatakan Nanda padanya. Ifa hanya manggut-manggut, tak berkomentar. Nanda yang menyadari reaksi yang tak sesuai harapan, merasa gemas lalu mencubit temannya.
“Aww…sakit mba. Kenapa Ifa dicubit toh?,” erang Ifa menahan sakit.
“Habis, reaksi Ifa tak seru banget. Standar,” sungut Nanda.
“Aduh, teman Ifa yang cantik. Biar dikata seribu pesona tentang dirinya tak ada pengaruhnya sama sekali buat Ifa saat ini. Ifa mau fokus ke kegiatan Muharram dulu. Ka Irwan benar-benar membuat Ifa sibuk. Ifa kan tak hanya satu tim dengan Nanda melainkan Ifa juga panitia inti,” bela Ifa sambil menatap temannya itu.
Nanda yang semula gemas jadi tersenyum sendiri lalu tertawa. “Baiklah, Nanda minta maaf. Ifa lanjutin saja kerjaannya. Nanda mau cari angin segar,” pamit Nanda pada Ifa.
Tak lama kemudian, setelah Nanda pergi, datang sosok yang dibicarakan mereka berdua. “Assalamualaikum Ifa,” kata sosok tersebut yang tak lain adalah Imam Dwi Rizky.
“Waalaikumsalam,” ucap Ifa terkaget-kaget.
“Kaget ya. Maaf. Ini ada beberapa file penting terkait acara nanti. Kuisioner, daftar peserta lomba, dan lainnya sudah ada dalam rekapan file ini,” kata Imam padanya.
“Oh iya, terima kasih. Maaf ngerepotin ya akhi Imam,” balas Ifa.
“Tak usah formal gitu. Panggil saja Imam. Ada yang bisa saya bantu? Sepertinya Ifa lagi kesulitan,” tawar Imam pada Ifa.
“Ada beberapa yang agak membingungkan tapi Ifa lagi berusaha menyelesaikannya,” kata Ifa.
“Coba saya lihat apa permasalahannya. Oh begini toh. Bagaimana kalau….bla…bla…bla…,” kata Imam menjelaskan pada Ifa.
Hari itu, gejolak rasa dalam hati Ifa makin menguat. Obrolan yang cukup lama di antara keduanya begitu membekas. Tak ada yang menarik sebenarnya dari pembicaraan mereka, hanya sebatas pemecahan masalah. Lagipula, ia bukanlah orang yang mudah bersosialisasi. Namun, pada Imam, Ifa merasakan keramahan saat berinteraksi. Mungkinkah rasa suka itu hadir…..entahlah, hanya Ifa yang mampu menerkanya.

22 Dzulhijjah 1432 H
Semakin sering bertemu, semakin besar tunas bunga bersemi di hati Ifa. Berawal dari insiden tubrukan itu, perasaan Ifa campur aduk bila berhadapan dengan Imam. Ingin rasanya, Ifa mengendalikan sensasi yang indah itu dalam dirinya. Namun, sayang, Ifa merasa tak kuasa untuk menetralisir gejolak tersebut, justru ia merasa terbuai dengan hadirnya rasa itu dalam kehidupannya. Belum lagi, hari-harinya terus-menerus dijemukan dengan berbagai urusan yang menjadi tanggung jawabnya. Hari-hari Ifa benar-benar bergemuruh di saat persiapan perayaan Muharram tengah terlaksana.
Namun, di lain hal, Ifa dan Imam nampaknya mulai akrab. Terlihat dari seringnya mereka berdiskusi ataupun mengobrol baik mengenai rencana kegiatan Muharram ataupun hal yang sepele. Jikalau seperti itu, mustahil tunas-tunas cinta tiada tumbuh di antara mereka berdua. Bukankah kebersamaan yang terjalin membuahkan sebuah kasih sayang yang menyelimuti lingkaran hidup mereka ? Tapi, mestikah sekarang ?

23 Dzulhijjah 1432 H
“Gawat Ifa, ada problem di kesekretariatan. Ayo kita ke sana,” seru Riechan yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
          Hati Ifa merasa was-was. Ia segera berlari menuju kesekretariatan. Aaaakh…mengapa harus sekarang masalah ini terjadi. Padahal, acara Muharram tinggal menunggu hari. Tiba di kesekretariatan, nampak orang-orang bergerombol menutupi pintu ruangan. Mau tak mau, Ifa harus menerjang arus tersebut agar bisa masuk.
          Saat berada di ruangan, Ifa tercengang bukan main. Keadaan ruangan begitu berantakan seperti habis diobrak-abrik. Ifa syok. Matanya kini mencari-cari sumber info yang terdekat. Saat Ifa baru melangkah, Irwan menegurnya.
          “Oh, Ifa sudah tiba ya. Sepertinya kita dapat masalah. Terkait dengan insiden ini, pengurus inti hendak mengadakan rapat dadakan. Informasikan ke teman-teman lainnya. Bada zuhur, kita sudah berkumpul ya”.
          Selidik punya selidik, insiden yang terjadi di kesekretariatan itu ternyata ulah sekelompok minoritas yang tak setuju dengan salah satu kegiatan mereka. Kemungkinan besar, mereka dikonfrontasi oleh orang lain. Belum selesai permasalahan tersebut mereda, isu lainnya merebak. Kini, pihak talkshow ingin memisahkan diri dari lingkup kepanitiaan Muharram. Ifa merasa remuk redam menghadapi dilema tersebut. Ia tak tahu harus berbuat apa.

25 Dzulhijjah 1432 H
          Akhir-akhir ini, Ifa mulai jarang berkomunikasi dengan Imam maupun Nanda. Pikirannya kini tengah konsen pada pemecahan masalah yang belum mencapai titik temu. Masalah yang timbul mendekati acara membuat dirinya tiada terlalu memperhatikan lagi kedua orang tersebut. Terakhir, Ifa melihat mereka berdua hanya saat insiden itu menggelegar. Itu pun keduanya hanya nampak dalam rentang jarak yang jauh, tak mendekat ke tempat kejadian. Hal ini membuat Ifa menjadi uring-uringan.
          “Ada apa ?” tanya seseorang padanya.
          “Oh, mba Lala. Kapan tiba di sini ? Tak apa kok mba. Ifa cuma lagi suntuk saja,” balas Ifa saat mengetahui kedatangan Lala, mantan aktivis LDK di kampusnya.
          “Baru saja. Mba mau ngurus administrasi supaya bisa lanjut ke universitas lain. Suntuk kenapa toh, Fa ?” tanyanya pada Ifa, adik tingkat semasa ia kuliah dulu.
          “Iya mba. Kami tak mengira masalah bakal datang di saat acara kegiatan tinggal beberapa hari lagi. Perkaranya belum mencapai titik temu. Ka Irwan juga sepertinya berusaha berbicara baik-baik dengan pihak yang kontra tapi juga tak ada hasil. Kami mesti bagaimana ya mba ?” curhat Ifa pada Lala.
          Lala hanya tersenyum, lalu dengan lembut ia berkata,” Ifa, sudah minta petunjuk sama Allah SWT ? Sudah berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Mendekatlah lalu pahamilah mereka dengan kasih sayang. Ifa, sesungguhnya di balik kesulitan pasti ada kemudahan….,” jelas Lala.
          Ifa mendesah lalu berkata,” Insyaallah mba”.
          “Ya sudah. Mba pulang dulu ya. Assalamualaikum,” pamit Lala pada Ifa.
          Sepeninggal Lala, Ifa memutuskan untuk mengikuti sarannya. Namun, langkahnya terhenti di kala Ifa memergoki Nanda dan Imam sedang asyik mengobrol di pelataran taman kampus. Tubuhnya menegang, ia segera berbalik menuju tempat asalnya tadi. Ia bimbang.

27 Dzulhijjah 1432 H
          Pikiran Ifa benar-benar kacau. Ifa butuh ketenangan namun deadline acara tak membiarkan dirinya untuk berhenti sejenak. Ifa merasa jengah namun ia juga tak mampu terlepas dari belenggu itu.
          Meski begitu, Ifa tetap berusaha melakukan saran dari Lala. Oleh karenanya, ia mencoba utarakan hal ini pada Irwan dan beberapa rekan yang dapat ia percaya. Selanjutnya, ia pasrahkan keputusan di tangan kawan-kawannya apakah menerima saran itu atau tidak.
          Semestinya, hatinya merasakan kelegaan namun sedikitpun tiada tertoreh dalam batinnya. Di saat tertekan seperti itu, Ifa biasanya memainkan jari jemari mungilnya dengan lembut di selembar kertas putih. Ya, Ifa suka menulis. Menulis membuatnya mampu menguraikan apa yang tak mampu ia kemukakan. Menulis ialah surat hatinya yang terpendam.
          Cukup lama, Ifa berada sendirian di ruang kesekretariatan. Ia memang sengaja meminta izin pada Irwan untuk tetap berada di sana sebelum ia melakukan pendekatan terhadap pihak yang kontra dengan panitia penyelenggara kegiatan. Semoga saja, ia berhasil meluluhkan hati mereka semua, harap Ifa.
          Akibat terlalu lama di ruangan, rasa lapar menyergap dirinya. Ia putuskan untuk mencari sedikit makanan sebagai penyangga perutnya yang kosong. Maka, ia tinggalkan ruangan tersebut lalu beralih ke koperasi dekat ruangan yang ia tempati. Ifa hanya menutup pintu ruangan sedikit. Pikirnya, ia hanya pergi sebentar. Tak kan ada yang berani macam-macam di sana. Toh, ia sudah menuliskan kata-kata “JANGAN MASUK. PENGURUS SEDANG REHAT”.
          Sesampainya Ifa di ruangan, ia malah menemukan tulisan tangannya hilang seketika. Ifa meradang lalu menangis. Nisa yang saat itu hendak masuk ke ruangan kaget melihat kawannya terisak-isak.

28 Dzulhijjah 1432 H
          “Tak salah lagi pasti Nanda,” simpulnya dalam hati. Sebab yang masuk ke ruangan saat ia keluar adalah Nanda. Ia tahu itu dari Nisa. Ifa nampak kesal pada sahabatnya. Di lain hal, Nanda yang mengetahui kejadian itu segera menyusul menemui Ifa. Sayang beribu sayang, Ifa tak juga mau berbicara dengannya.
          Di saat-saat seperti ini, Ifa teringat perkataan Lala. Sekuat tenaga, Ifa berusaha menjernihkan pikirannya. Ia berjalan sendirian mengitari tempat-tempat di sepanjang area kampus hingga akhirnya terhenti di koperasi. Tak sengaja, matanya menangkap seberkas lembaran kertas putih. Ia mendekat dan ia temukan kertas yang hilang itu. Spontan, ia menangis lalu berlari menuju musholla.
          Di dalam musholla, Ifa tumpahkan semua kegundahan hatinya dalam sholat. “Astaghfirullah, ya Allah. Ampuni hamba-Mu ini yang telah mendzalimi saudaranya sendiri. Bagaimana mungkin hamba bisa menyalahkan Nanda padahal kesalahan itu akibat diri ku,” isak Ifa pada Allah saat berdoa.
          Sesuai sholat, Ifa dihadang oleh Imam di beranda musholla. Imam mengajaknya berbicara tentang permasalahan yang sedang terjadi antara dirinya dan Nanda. Imam berusaha menjelaskan duduk perkaranya. Ifa mendengarkan dan menerima pendapat Imam. “Jangan biarkan diri mu ditutupi dengan keegoisan hati bila kamu tak ingin kehilangan orang yang kamu sayangi,” kata Imam menutup pembicaraan tersebut.
          Setelah itu, Ifa berencana ingin menemui Nanda. Baru beberapa langkah berjalan, Nanda tiba-tiba berlari memeluknya sambil berurai air mata. “Maafkan Nanda, Ifa,” kata Nanda sesegukan. Imam yang berada di sana, perlahan-lahan menjauhkan dirinya dari kedua sahabat tersebut, membiarkan mereka berdua saling berbicara.

01 Muharram 1433 H
          Alhamdulillah, acara menyambut Tahun Baru Islam dapat terlaksana dengan baik. Pendekatan yang ia lakukan pekan lalu mampu meluluhkan hati pihak yang bermasalah dan berhasil memboyong mereka kembali untuk bekerja sama. Tak hanya itu, permasalahan dengan Nanda juga telah selesai. Ifa merasa bersyukur akan hal itu.
          Saat Ifa sedang asyik menikmati kegiatan Muharram yang tengah berlangsung di halaman kampus, Nanda menghampirinya lalu tersenyum sembari menyematkan sepucuk surat di tangannya. “ Dibaca ya,” kata Nanda sambil berlalu.
          Assalamualaikum. Aku bukanlah si pandai yang bisa membuat kata-kata yang santun juga baik. Namun, biarkan ku utarakan sesuatu hal kepada mu. Sesungguhnya, aku tertarik kepada mu, pada kepribadian mu, pada tingkah polah mu, sikap mu dan lainnya. Memang, akhir-akhir ini, aku begitu dekat dengan sahabat mu. Sungguh, tak ada sesuatu hal yang terjadi di antara kami. Kami hanya berdiskusi mengenai tugas kami. Selebihnya, ia terus membicarakanmu. Maaf, aku telah lancang menuliskan ini kepada mu. Tapi dari sahabat mu, aku tahu bahwa dirimu juga menyukai ku. Ifa, aku tak ingin merusak citra mu yang suci itu. Cukuplah Allah saja yang menghembuskan nikmat-Nya untuk menyatukan kita bila kita berjodoh. Kita sama-sama belajar menjaga diri saja untuk saat ini. Terima kasih untuk kerelaan hati mu untuk mengenal ku. Wassalam.
Salam hangat, Imam
          Air mata menetes sedikit demi sedikit saat Ifa membaca surat tersebut. Saat itulah, ia menyadari penyebab kegelisahan hatinya yang tak kunjung menghilang. Inilah jawabannya. “Ya Allah, syukur ku pada-Mu, hingga sampai saat ini masih Kau gulirkan beribu-ribu cinta dari ciptaan-Mu hingga aku mampu temukan jalan terangnya,” isaknya terharu.
          Hatinya kini terasa damai, diselimuti gelombang cinta yang begitu indah. Di Muharram ini, ia semakin memahami keberadaan cinta yang ada di sekitarnya. Cintanya pada saudaranya, pada tugasnya, dan pada yang lainnya membuat dirinya menjelma menjadi pribadi yang lebih tangguh lagi. Lalu, bagaimana dengan perasaannya pada Imam ? Dalam hal itu, Ifa memutuskan untuk membiarkan waktu saja yang menjawabnya. Di masa penantian itu, ia terus mencoba merayu Allah agar berkenan menyatukan dirinya dengan Imam. Semoga saja impiannya terwujud. Amin.
“Wahai Allah, izinkan aku kembali bertemu dengan Muharram-Mu lagi di tahun-tahun selanjutnya agar aku bisa menyemaikan benih-benih cinta-Mu seperti saat ini,” urainya dalam hati.

---------------Tamat---------------

Ku lukiskan pena ku dengan gelombang cintanya yang tak menentu
Membuai sang rindu lewat warna pelanginya
Bila masa terjatuh lekaslah bangkit
Sebab kisah cinta tiada kan terhenti sampai di sini

Ku lukiskan pena ku dalam diamnya yang syahdu
Menumbuhkan keramahan hati bertaut cinta dalam goresnya
Kan banyak bunga yang kan bersemi dalam langkah
Maka biarkan jiwa bermain-main di dalamnya