Senin, 30 April 2012

Dari Tekad Timbul Harapan


Berawal dari lulusan pesantren, bukan berarti hal tersebut membuatnya minder di hadapan orang lain. Justru, ia berusaha keras untuk membuktikan diri bahwa ia pun mampu menggapai cita yang diinginkannya. Baginya, ajaran sewaktu di pesantren menjadi nilai plus tersendiri yang mungkin jarang dimiliki oleh teman-teman sebayanya. Penilaian ini malah berbanding terbalik dengan paradigma saya yang menggeserkan pendidikan dari latar belakang agama menjadi non agama. Syukurnya, karena perbedaan tersebut, saya pun akhirnya bisa mengenal dan mengambil ibrah (hikmah) di balik kisah hidupnya.
Sebut saja, Imam Rosadi. Anak ke 7 dari 8 bersaudara ini tengah menempuh pendidikan S1-nya di UAI (Universitas Al-Azhar Indonesia) jurusan Bioteknologi. Semula, ia terlihat biasa-biasa saja. Akan tetapi, ketika berada di dekatnya maka kita akan menemukan sisi menariknya. Apakah itu ? Saya akan berkata, “Pemikirannya yang santai tapi matang dan jauh ke depan. Saya rasa itu cukup membuat orang yang mengenalnya tanpa sadar dapat mengangukkan kepala”.
 Pencapaian Imam terealisasi ketika kami sibuk mengikuti even LPIR (Lomba Penelitian Ilmiah Remaja) tahun 2008. Saat itu, ia bersama 2 rekan timnya mengambil penelitian mengenai pemanfaatan bawang tiwai sebagai antioksidan terkait dalam bidang kimia. Sedangkan 3 tim lainnya termasuk kelompok saya masing-masing mengambil bidang fisika dan biologi. “Kami serba kekurangan. Dalam penulisan, tak ada pembimbing. Laptop pun hanya dimiliki satu orang. Belum lagi, jam untuk penelitian terbentur dengan aktivitas di sekolah,” jawabnya ketika ditanya seputar perjuangannya saat itu. Dan, akhirnya hasil karya mereka lah yang terpilih mewakili sekolah kami untuk mengikuti sesi berikutnya. Usut punya usut, ternyata Imam sudah menduganya sejak awal. “Entah mengapa, aku punya keyakinan yang kuat bisa lolos. Dengan bermodal keyakinan dan tekad kuat supaya bisa berhasil, aku dan rekan setim ku berusaha jatuh bangun dalam penelitian ini. Alhamdulillah, hasilnya baik,” lanjutnya ketika diwawancarai.
Pembuktian pun tak berhenti begitu saja. Ia kembali harus bekerja keras untuk mewakili timnya berangkat ke Jakarta sebagai finalis LPIR. Meski tak menang, ia mengaku bahwa ia mendapatkan banyak pengalaman berharga semasa dikarantina. Pengalaman-pengalaman tersebut lantas diaplikasikannya dalam pembelajaran di sekolah, memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan serta berusaha bangkit akibat surutnya prestasi belajar.
Dalam kurun waktu tersebut, saya merasa Imam secara perlahan mulai mengalami peningkatan belajar. Ia mulai aktif dalam proses belajar-mengajar, diskusi atau kegiatan di sekolah lainnya. Selain itu, efek sebagai finalis memberikannya keuntungan untuk dikenal guru-guru yang awalnya tidak ia ketahui. Bila ia mulai bangkit, saya justru malah jatuh. Bukan karena tidak serius, saya sedang ada masalah. Beruntung saya memiliki teman-teman tak terkecuali Imam sehingga masa-masa itu dapat saya lalui. Setidaknya, pengalaman ia sewaktu terpuruk menjadi saran yang baik untuk diri saya. Tentu saja, nilai agama yang tertanam di benaknya, saya rasa menjadi filtrat yang baik untuk menghalau diri terancam di jurang putus asa. Oleh karena itu, tak hanya bangkit semata, tetapi saya juga berusaha untuk memperbaiki diri untuk kualitas agama yang lebih baik. Harapannya, saya tidak lagi labil ketika bermasalah.
Kini, keputusan ia merantau guna melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi membuat dirinya berada selangkah lebih maju dibandingkan kami yang terfokus di Samarinda. Namun, ia menolak dengan tegas bahwa ia dianggap lebih baik. “Aku cuma berusaha mempelajari apa pun tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Aku sekadar ingin membuat bangga almamater pesantren. Masa muda tak semestinya berhenti untuk belajar. Jika kita berhenti, hidup tak ada guna. Itu saja”.
   Terima kasih Imam. Semoga apa yang diimpikan dapat tercapai karena usaha mu saat ini. Nah, untuk kita termasuk saya sendiri, yuk lekas bangkit dan kejar cita setinggi-tingginya. Setuju?

Jumat, 27 April 2012

Percakapan dengan Langit

Berkali-kali aku memandang langit
Indahnya hanya mampu menetap sebentar saja

Ku tanyakan pada langit
"Tak bisakah kau bertahan lama di sini"?

Lalu langit menjawab
" TAK BISA. TAK KAN PERNAH BISA".

Kemudian aku bertanya kembali
" Mengapa ? Bukankah jika kau menetap, kenangan kan diri mu akan selalu ada, tak kan pernah hilang jejaknya. Indah mu pun bisa dirasakan setiap saat. Tentu, kau pasti merasa senang".

Ia pun menjawab
"Tentu saja aku senang. Namun akan lebih baik lagi bila kamu menemui setiap hari. Wahai sang pecinta, dengarkan lirih ku ini ........"

"Aku memang indah. Tapi bila kabut menyelimuti ku, engkau pun bisa takut pada ku. Lalu, kau pun pergi dari ku. Ketahuilah, aku pun sama seperti mu, membutuhkan yang lain untuk menutupi kekurangan ku. Jika aku menetap lama di sini, aku khawatir, kau tak kan menemuiku lagi. Kau tak kan peduli dengan keberadaan ku lagi. Padahal, hanya itulah jalan mu untuk mengenal ku juga dunia mu tanpa kamu mesti berpikir keras untuk memahaminya. Karena kita melakukannya perlahan-lahan. Karena kita bersama-sama menghadapinya. Maka nikmati saja keindahan itu. Meski harus berulang kali kau menemui ku. Agar kau mengerti akan hadir ku dan kau pun tak lupa pada siapa yang menyajikannya untuk mu".

Aku pun terdiam lalu berkata
"Maafkan aku. Semestinya tak perlu ku risaukan hal itu. Bahwa sebenarnya yang berharga itu adalah kehadiran mu yang kian waktu mampu membunuh jemu ku. Terima kasih langit, kau anugrah dalam arsy-Nya".

Selasa, 03 April 2012

Surat Hati untuk Sahabat


Sahabat....
Andai aku punya sejuta sayap di punggung ku
Kan ku terbangkan kepedihan mu jauh dari langit
Namun, aku hanya setetes tinta
Di sudut itu
Tulisan tentang mu begitu menyayat hati ku

Sahabat....
Andai aku punya segudang senyuman
Kan ku kikis tiap luka yang tumbuh dalam hati mu
Namun, aku hanya punya satu
Yang terkadang bisa merasa sakit
Menahan sesak karena tak mampu menghibur mu


Sahabat...
Andai aku punya beribu kata baik
Kan ku sisipkan di ubun-ubun kepala mu
Menuntaskan segala prasangka buruk yang dapat menjatuhkan mu
Namun, aku pun masih kacau
Mampu berkata, tapi tiada melakukan
Lalu, pantaskah ku mengungkapnya pada mu ?
Tidak, aku tak yakin

Dengar, sahabat...
Yang aku punyai...
Cuma rasa kasih yang tulus untuk mu
Yang aku miliki
Adalah kesetiaan untuk menjaga persahabatan dari mu
Yang mampu ku berikan...
Hanya sekecil kebaikan yang tak bernilai bagi hidup mu

Sahabat...
Tak perlu kau meliriknya bila tak mau
Namun, jika engkau membaca surat ini
Ku harap, engkau bisa mengerti
Inilah diri ku, inilah cara ku menyayangi mu
     
     Di mana pun kau berada, meski tak kau indah aku. Aku kan senantiasa ada untuk mu, hadir di sketsa cerita mu jika kau tengah butuh diri ku. Kau adalah sajak-Nya yang bebas, yang mampu mendekat dan menjauh dari ku. Kan tetapi, kau tetaplah sahabat terindah untuk ku.
     Maka, jangan lagi kau menangis. Jangan lagi bungkam senyum mu. Ingat saja, aku ada untuk mu. Yakin saja, doa ku tak pernah berhenti terhadap mu. Semoga kamu kan menjadi lebih baik karenanya juga berkat-Nya. Amin

Salam cinta,
Sahabat mu