Adalah sekelibat hujan. Yang senantiasa mengisahkan cerita manis tentangmu. Dengan balutan selimut rindu dalam setiap suguhannya. Betapa menyenangkannya kala itu. Dan bagiku, ketika hujan datang, di sanalah aku dapat menemukan sosokmu. Yang tak mampu ku gapai namun selalu terpatri dalam relung hatiku.
Namun, kini hujan tak hanya bercerita tentangmu saja padaku. Melainkan juga dia. Ya, dia. Dia yang tak sengaja tertangkap lembut oleh pandangan mataku. Bersatu padu dengan rinai hujan dalam lukisan senja sore itu. Ah, semestinya aku tak boleh begini. Begitu mudahnya tersipu dengan pesona hujan yang berbeda dengan kehadirannya. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, mataku seakan tak pernah jemu mengikuti langkah yang dia torehkan dalam pijak sang bumi. Hatiku berdesir. Tak bisa. Tak boleh. Ia berbeda denganku.
Sayangnya hingga setengah jam kemudian, bis yang dinanti tak juga datang. Walah, bisa dimarahi Mbak Rima nanti di sana. Mana ia telah beberapa kali menelepon semenjak aku menunggu di halte bis. Aku pasrah. Membayangkan wajah Mbak Rima yang setengah syahdu-setengah awut-awutan karena keterlambatanku. “Maaf, Mbak,” ringisku diam-diam.
Bertepatan dengan kepasrahanku, rintik-rintik hujan mulai nampak membasahi tanah. Semakin lama intensitasnya semakin lebat saja. Orang-orang pun segera berteduh di halte bis. Sekejap, suasana di halte menjadi ramai. Saling sikut sana-sini mencari posisi berlindung yang aman dari tetesan hujan. Terkecuali aku. Aku menikmatinya. Teramat sangat. Hujan menjadi salah satu obat yang dapat mendamaikan hatiku. Untuk kini, aku patut bersyukur pada-Nya. Setidaknya hujan mengurangi penatku sedari tadi. Namun Tuhan memiliki rencana lain. Ternyata hujan juga menyuguhkan kisah yang membekas di ingatan. Mengubah segalanya. Kehidupanku dan cinta.
“Eh, Mbak. Angi gak melamun kok. Cuma melongo, melihat sekitar,” jawabku membela diri. Mbak Rima hanya geleng-geleng kepala mendengar jawabanku yang asal sebut. Dan aku cuma bisa cengir di hadapannya.
Untunglah, bayanganku tentang Mbak Rima yang marah besar atas keterlambatanku tak terjadi. Setiba di apotek berukuran 250 m2 yang di cat serba biru ini, Mbak Rima menyambutku dengan wajah lega. Berterima kasih karena aku berkenan datang ke apotek secara dadakan. Mbak Rima meminta tolong padaku untuk menjadi guide sementara sebab ada karyawan baru yang akan bekerja di apotek kami. Kabar baiknya, karyawan baru itu belum datang. Mbak Rima menyuruhku untuk beristirahat sejenak.
Aku mengangguk. Pergi ke kamar mandi, berbenah diri. Lantas beranjak masuk ke ruangan kerja. Aku menghela napas. Masih sepi. Di luar pun masih hujan. Ku putuskan mengambil posisi duduk yang nyaman supaya bisa menikmati pemandangan hujan di luar sana.
Sebentar saja, perhatianku sudah teralihkan oleh kejadian di halte bis itu. Sebenarnya aktivitas orang-orang di saat hujan tak terlalu berbeda. Kebanyakan memutuskan untuk berhenti, berteduh di suatu tempat. Atau memakai jas hujan maupun payung bagi mereka yang membawa persiapan. Tak ada spesial. Hanya saja, ketika mataku beradu dengan pemandangan di seberang halte, waktu seolah-olah berhenti. Aku terpana. Dibuai oleh sesosok pemuda yang bahkan tak ku kenal sama sekali. Ia sukses membuatku terpaku di tempat, mengawasi gerak-geriknya dari kejauhan.
Wajah pemuda itu nampak ramah, rela berbasah-basahan hanya sekadar untuk membantu seorang anak kecil yang jatuh dari sepeda. Menghiburnya lantas mengajaknya bermain di tengah derasnya hujan. Anak kecil itu pun kelihatannya sudah lupa dengan kejadian tadi. Memutuskan ikut langkah sang kakak laki-laki yang telah menolongnya. Mereka terlihat ceria. Tak berapa lama kemudian, anak-anak kecil lainnya pun ikut bergabung dengan mereka. Berlarian ke sana kemari. Tertawa bersama. Menciptakan harmoni yang menyejukkan mata dalam terpaan hujan. Kombinasi alam dan manusia.
Begitulah kira-kira kilas balik yang ku lakukan sebelumnya sembari menanti kedatangan tamu istimewa kami. Hujan sudah mereda. Menyisakan tetes demi tetes yang menggantung di dedaunan. Tepat pukul 18.00 WITA, tamu yang dinanti itu akhirnya datang. Saat tamu itu menampakkan diri di hadapanku dan Mbak Rima, aku membisu. Dia. Pemuda itu.
Hari-hari selanjutnya, batas kesabaranku habis untuknya. Bagaimana tidak. Sepuluh pasien yang berobat hari ini terpaksa menunggu lama. Ia ku suruh menebus obat di apotek sebelah tapi belum datang-datang juga. Tiba di apotek, ia cuma berkata,” Lagi macet”. Mukaku memerah. Alasan yang tak masuk akal.
Tak hanya itu, sudah beberapa kali ia masuk terlambat. Aku saja yang sudah 1 tahun bekerja di sini, baru sekali terlambat. Itupun bukan kesalahanku sepenuhnya. Tapi dia baru 1 bulan bekerja, sudah banyak tingkah. Sering terlambat, kerjaannya lebih banyak diam, terkadang malah sering ku temukan ia ketiduran. Jengkel setengah mati, ku putuskan untuk membicarakannya pada Mbak Rima. Mbak Rima hanya tertawa. “Hati-hati loh, nanti bisa jadi suka”. Aku memasang wajah kusut. Tawa Mbak Rima malah semakin kencang. “Sudahlah, Ngi. Jangan menilai buruk mengenai dirinya. Alangkah lebih baik bila kau mengetahui terlebih dulu alasan di balik sikapnya itu”, saran Mbak Rima bijak.
Ketika itu, aku tak sengaja melewati apotek di hari libur. Terlihat seorang laki-laki keluar dari apotek sambil membawa kantong sampah. Aku terkejut. Biasanya hanya aku, Raja, dan Mbak Rima yang seringkali mengunjungi apotek. Tapi laki-laki itu sepertinya aku pernah mengenalnya. Untuk memastikan, aku lantas mengintip di balik kaca. Eh. Dia. Pemuda menyebalkan itu tengah membersihkan ruangan kami. Itu berita yang mengejutkan bagiku. Aku kaget hingga tak sadar pemuda itu kini berada di belakangku, memergoki aku yang tengah mengintip.
“Sudah puas mengintipnya?”
“Heh. Aku tidak mengintip. Hanya memeriksa saja”.
“Terserahlah. Aku mau lanjut kerja lagi”.
Aku menatap sebal. Cueknya masih melekat. Kepalang tanggung, aku sudah di apotek dan ketahuan memergokinya. Ku putuskan untuk membantunya. Ia tak banyak protes. Mempersilahkan aku membereskan bagiannya yang belum selesai. Aku juga tak bisa pulang. Hujan sudah turun membasahi bumi. Membantunya di apotek adalah pilihan yang baik. Selama bekerja, tak ada juga percakapan yang berarti di antara kami. Hingga sebuah potongan kaca melukai tanganku. Aku meringis. Ia mendatangiku.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya cemas.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulutku. Aku teramat syok menatap darah segar telah mengucur di telapak tanganku. Ia yang mengetahui tatapan mataku sedang menunjuk jawabannya, segera sigap mengambil beberapa peralatan P3K. Telaten membersihkan luka di telapak tanganku hingga tertutup dibalut perban. Aku merintih. Dadaku sesak melihat pemandangan tepat di hadapanku.
Hujan semakin deras. Ia juga telah selesai menangani lukaku. Kini ia duduk di sampingku. Kelelahan.
“Sudah tidak apa-apa. Aku akan mengantarmu pulang”.
Ia membantuku berdiri. Menyuruhku menunggu di ruang tunggu sedang ia hendak berbenah diri. Aku menuruti perintahnya. Hingga ia menutup apotek, aku hanya diam seribu bahasa. Berdiri di belakangnya, menunggu. Ia menyuruhku memakai jaket kulitnya. Aku mengangguk. Dan melajulah kami di tengah derasnya hujan menuju rumahku.
“Sudah sampai. Turunlah”.
Aku turun dari motornya. Tapi termangu di hadapannya. Menahan gejolak yang hendak keluar.
“Ada apa? Ada yang ingin kau katakan?”
“Maaa....maafkan aku. Aku telah salah menilaimu”, ucapku terbata, memberanikan menatapnya dengan perasaan bersalah.
Untuk kali keduanya, ia berhasil membuatku terpesona. Sekelibat wajah ramahnya kembali hadir. Ada senyuman lembut tersungging di bibirnya. Lelaki hujan. Kedua. Namanya Awan.
Detik itu, aku telah menyukai senyum, sorot mata, juga gerak tubuhnya. Ah, segalanya. Ia nyaris sempurna mempesona dalam balutan hujan. Tapi aku tak bisa. Ia amat berbeda.
“Hujan mengingatkanku tentangnya. Tentang Langit. Kau tahu, ia lah yang pertama kali meyakini suatu saat nanti aku bisa jadi penulis. Percaya bahwa aku akan menggenggam janji kehidupan yang lebih baik. Kini, ia sedang melanjutkan studinya di luar negeri. Hujan menjadi saksi bisu atas percakapan kami. Ia akan kembali ke sini menemuiku. Ia pasti kembali”.
“Bagaimana kau yakin ia akan menemuimu? Bisa saja dia punya pasangan di sana. Takkan pulang. Naif sekali”.
“Kau kenapa sih, Awan?” tatapku jengkel. Tak sengaja, mata kami saling beradu pandang. Menimbulkan getar-getir di dada. Aku buru-buru memalingkan wajah.
“Ah...sudahlah. Aku mau kerja lagi”. Mengakhiri percakapan. Meninggalkanku dalam kebingungan.
Nyatanya, semakin aku menghindar semakin gencar Awan berada di dekatku. Aku tak mengerti. Semenjak ku katakan padanya mengenai Langit, sikapnya berubah. Awan semakin perhatian padaku seolah-olah ia hendak mengatakan bahwa dia juga menyukaiku. Aku merasa serba salah. Di sisi lain, hatiku ingin menyambut Awan. Namun di sisi lain, ada Langit yang selalu ku tunggu juga perbedaan itu, perbedaanku dengan Awan. Membuatku murung, seharian menangis tak karuan di kamar. Mbak Rima mengizinkanku untuk tak masuk kerja beberapa hari. Untuk memulihkan hatiku.
Sesosok lelaki berusia 25 tahun berada di depan pintu rumahku. Dia lah Langit. Lelaki hujan yang pertama.
“Aku sudah kembali, Pelangi”.
Mataku berkaca-kaca. Takjub. Langit telah memenuhi perkataannya. Belum sempat Langit masuk ke rumah. Awan tiba-tiba datang. Ia terkejut bukan main. Menyadari ada lelaki lain yang lebih dulu datang ke rumahku. Menciptakan kecanggunggan di antara kami bertiga.
“Langit, ini Awan. Awan, ini Langit”, ucapku mencairkan suasana. Langit menyodorkan tangannya, hendak bersalaman dengan Awan. Namun Awan tak menggubris. Ia malah menatapku.
“Ada yang ingin ku katakan padamu, Pelangi?”
Aku menggigit bibir. Tidak. Jangan sampai ia bermaksud untuk mengatakan perasaannya padaku. Langit yang sadar akan perubahan sikapku lantas menjawab,”Bicaralah di sini atau kalau tak mau sebaiknya kau pulang. Apakah kau tak lihat Pelangi tak ingin berbicara denganmu saat ini”.
“Aku menyukaimu, Pelangi”, ujarnya lantang seakan menantang Langit atas kedua pilihan itu.
Bulir mata seketika jatuh di pipiku. Menimbulkan perasaan mashgul di hati Awan yang tengah melihatku. Ia memutuskan untuk pamit pulang. Meninggalkan aku dan Langit. Berdua saja. Ada banyak yang harus kami bicarakan. Penyelesaian.
“Doakan aku cepat menyusul” ujarnya lagi. Aku dan Langit tersenyum mengamini doanya.
“Kau memilih keputusan yang baik, Ngi. Kau membawa Awan kepada cinta yang sebenar-benarnya cinta. Tuhan, Sang Pemilik Hujan. Aku makin sayang padamu”.
Aku tertawa mendengar Langit menggodaku. Aku pun teramat bahagia saat mengetahui Awan telah masuk Islam. Bukan karena aku. Namun karena hatinya telah mantap memilih. Kini Awan sedang asyik menjalin untaian-untaian cinta dalam anugerah-Nya.