09 Dzulhijjah 1432 H
Allahu
Akbar….Allahu Akbar…..
Terdengar suara adzan ashar
berkumandang menyisipi sela-sela kesibukan seorang gadis mungil di tengah
perjuangannya merapikan slide-slide mata kuliah yang berantakan. ”Ifaaaaaaaaaaaaaaa…….cepetan,
keburu shalat ashar. Nanti kita ketinggalan shalat jamaah nie,” teriak gadis
sebayanya.
“ Iya, sedikit lagi. Nanda
duluan saja ke sana. Ifa akan menyusul,” jawab Ifa, si gadis mungil tadi.
“Yo wes, assalamualaikum,”
balas Nanda sambil berlalu.
“ Waalaikumsalam,” kata
Ifa singkat.
Kini ia berusaha
mempercepat pekerjaannya. Ia tak mau ketinggalan shalat berjamaah. “Bukankah
pahala berjamaah 27 x dari shalat munfarid ?”, gumamnya dalam hati.
Beberapa menit
kemudian, Ifa pun menyusul rekannya di mushola. Untunglah, ia masih bisa
mengikuti shalat ashar berjamaah. Suasana seketika berubah menjadi tenang dan
syahdu kala imam memulai shalat. Sang imam nampak begitu menghayati lakonnya
dalam membimbing para ma’mum shalat berjamaah sore itu. Tak mau kalah, para
ma’mum pun berusaha khusyuk saat menjalankannya. Dua kombinasi yang saling
berkesinambungan demi satu tujuan yakni bertemu Allah SWT, cinta abadi mereka.
Saat itu, senja mulai
memancarkan sinar mega jingganya di ufuk barat. Mempermainkan jemarinya pada
awan-awan yang bergerak tak menentu, menggoreskan pesona indahnya sebagai
lambang kebesaran Sang Khalik pada bumi, ciptaan-Nya. Bagi Ifa, Nanda, dan
lainnya, shalat ashar menjadi penutup hari yang luar biasa nikmat setelah penat
saat beraktivitas.
11 Dzulhijjah 1432 H
“Nah, kawan-kawan.
Apakah ada ide untuk mengisi acara berkenaan dengan Tahun Baru Islam ? Silahkan
acungkan tangan dan kemukakan ide kalian secara singkat dan jelas,” kata Ifa,
sang moderator.
“Assalamualaikum….”,
kata seseorang memotong pembicaraan.
“Waalaikumsalam” sahut
peserta rapat yang hadir di sana.
“Saya Riechan, saya
punya usul, bagaimana kalau kita mengadakan estafet Muharram. Dalam estafet
ini, kita buat beberapa kegiatan dengan menggunakan sistem pos. Pos 1 misalnya
saja mendengarkan sejarah Muharram, lalu secara singkat menulis ulasan dari apa
yang didengarkan, begitu seterusnya,” lanjut peserta tersebut.
Dalam ruangan yang
kecil itu, gema suara riuh rapat mengusik ketenangan di sekitarnya. Namun, tak
mereka gubris. Sepertinya rapat yang tengah berlangsung begitu penting dan
memerlukan perhatian yang sangat intensif, terlihat dari raut wajah mereka yang
serius.
“Alhamdulillah, terima
kasih buat kawan-kawan semua. Keputusan sudah bulat, panitia Muharram 1433 H
akan mengadakan estafet Muharram, di mana isi dari estafet tersebut antara lain
membuat ulasan sejarah Muharram sekitar 5 menit, bercerita tentang pengalaman
saat tahun baru Islam sekitar 2 menit, puitisasi sekitar 3 menit, nasyid
sekitar 3 menit, terakhir menulis quote tentang Muharram sekitar 2 menit.
Selain itu, akan diadakan talk show, bazaar, donor darah, jalan santai, dan
beberapa jenis kegiatan olahraga lainnya. Sekian. Assalamualaikum,” Ifa
mengakhiri rapat dengan lega.
Peserta rapat pun langsung
membubarkan diri, melanjutkan aktivitas mereka yang tertunda. Beberapa di
antaranya masih terlibat diskusi kecil, sedang yang lainnya membereskan
kekacauan yang ditimbulkan saat rapat tadi. Ini hanya permulaan, selanjutnya Ifa
dan kawan-kawan akan menghadapi tantangan dalam perjalanan mereka nanti.
13 Dzulhijjah 1432 H
Teriknya panas di siang
hari sangat menyengat. Setidaknya, itu yang dipikirkan Ifa. Belum lagi, otaknya
yang kian memanas sebab sedari tadi ia terus memikirkan skema acara perayaan
Muharram nanti, membuat dirinya gerah tak karuan. “Huffh…mungkin segelas es teh
bisa menyegarkan,” pikirnya dalam hati.
“Nanda, temanin Ifa ke
kantin yok. Ifa mau minum es teh,” kata Ifa pada Nanda yang duduk tak jauh dari
posisinya.
“Oke, Nanda juga haus. Ifa
yang traktir ya,” sahut Nanda sambil cengar-cengir.
Walhasil, mereka berdua
pun segera melesat pergi menuju kantin. Namun, di tengah perjalanan, tak
sengaja, Ifa menubruk seseorang akibat dirinya tak konsen saat berjalan.
Braaak…braak…bruuk..buku-buku
berjatuhan di lantai seusai insiden tubrukan tadi. Ifa kaget bukan main.
Refleks, Ifa berusaha menyusun buku-buku tersebut dalam genggaman tangan
mungilnya, beradu cepat dengan orang yang ditubruknya. Nanda terbengong-bengong
melihat tingkah kedua orang tersebut. Keduanya sama sekali tak melihat satu
sama lain, hanya fokus mengumpulkan serakan buku-buku itu. Barulah saat Ifa
hendak mengembalikan buku tersebut kepada si empunya, keduanya berdiri dan
menatap satu sama lain. Entahlah, tiba-tiba Ifa merasa ada yang berdesir di
hati. Cepat-cepat, Ifa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ifa tak ingin ada
yang salah pengertian karena kejadian itu.
“Maafkan saya, ini
buku-bukunya,” kata Ifa sambil menatap sebentar lalu menunduk lagi.
“ Oh ya, terima kasih.
Saya permisi. Assalamualaikum” kata si empunya.
“Waalaikumsalam,” sahut
Ifa dan Nanda.
Bila Ifa tak berani
menatap wajah orang yang ditubruknya, Nanda masih sempat saja melirik orang
tersebut tersenyum hingga sosoknya lenyap disembunyikan tembok-tembok besar
kampus. Nanda pun kembali terbengong-bengong.
“Nanda….Nanda…ayo…..jangan
bengong. Orangnya sudah tak ada. Ingat, mata juga sumber zina,” teriak Ifa yang
tak henti menggoyangkan badan Nanda supaya cepat sadar.
Samar-samar mendengar
kata zina, Nanda segera berucap istighfar sembari menoleh pada kawannya. “Maaf Ifa,
kelepasan. Ternyata orang yang Ifa tabrak itu tampan juga,” balas Nanda centil.
Mendengar hal itu, Ifa
hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja. Tak ia perdulikan lagi perkataan
Nanda, lebih baik ia segera pergi ke kantin. Akibat insiden tadi, rasa hausnya
makin bertambah.
Namun, biar rasa haus itu
telah terganti dengan segelas es teh. Ada rasa lain yang baru muncul dalam
buku-buku hatinya. Mungkin, saat ini tak ia sadari. Akan tetapi, rasa yang tak
disadarinya itu akan bergejolak pada suatu hari nanti.
15 Dzulhijjah 1432 H
Mendekati perayaan
Tahun Baru Islam 1433 H, Ifa, Nanda, dan panitia lainnya tengah sibuk mengurusi
keperluan nanti. Kesekretariatan LDK, tempat bernaungnya mereka dalam
pengembangan keagamaan menjadi ramai dikunjungi. Kebetulan, mereka sengaja
berkolaborasi dengan rekan-rekan di luar keanggotaan LDK sehingga kemungkinan
besar, mereka akan bertemu orang-orang baru yang berkompeten sesuai keahlian
yang dibutuhkan oleh panitia itu sendiri.
Siang ini, mereka akan
mengadakan rapat besar. Rasa deg-degan sempat menyelimuti Ifa, ia khawatir
dirinya belum siap sehingga tak bisa tampil dengan baik dalam mempresentasikan
rencana kegiatan tersebut karena tiba-tiba saja ia ditunjuk oleh ketua LDK
tanpa persiapan sama sekali.
“Assalamualaikum, para
peserta rapat Muharram 1433 H. Alhamdulillah, pada hari ini, kita masih
diberikan kesempatan bertemu untuk membahas persiapan peringatan Muharram 1433
H mendatang. Langsung saja, untuk mengefisiensikan waktu, Ifa selaku sekretaris
akan mempresentasikan rencana kegiatan ini pada teman-teman semua. Harap
didengarkan. Wassalamualaikum,” kata ketua LDK, Irwan Sahriri.
“Assalamualaikum.
Alhamdulillah, penyelenggaraan perayaan Muharram tahun ini dapat kita
laksanakan kembali. Dalam kesempatan ini, saya akan mempresentasikan rencana
kegiatan kepada kawan-kawan semua. Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih pula
kepada rekan dari luar keanggotaan LDK bisa meluangkan waktu untuk hadir dalam
rapat besar kali ini. Selanjutnya……bla…bla…bla….,” kata Ifa menjelaskan dengan
panjang lebar.
Terkadang saat
berbicara, Ifa berhenti sebentar,
berusaha melihat mimik para peserta rapat, mengedarkan pandangan ke
seluruh penjuru untuk mengetahui apakah mereka mengerti maksud dari
penjelasannya. Tak khayal, saat memandang itu, matanya sempat menangkap sosok
yang tak asing di benaknya. Lagi-lagi, ketika menatap sosok tersebut, dadanya
berdesir kian menguat. Tak mau hal tersebut menganggu konsentrasinya, Ifa
segera melanjutkan perkataannya tadi.
Rapat besar pun akhirnya selesai. Semua pihak
baik panitia maupun di luar keanggotaan panitia setuju mengenai rencana
kegiatan tersebut. Kini, mereka harus bekerja lebih keras bila ingin kegiatan
tersebut tercapai dengan hasil yang luar biasa.
20 Dzulhijjah 1432 H
Ifa tak menyangka bila
ia mesti bertemu kembali dengan sosok yang pernah ia tubruk beberapa pekan
lalu. Jika ia saat itu menolak untuk menatap, hal itu tak bisa ia lakukan lagi
karena sosok tersebut benar-benar tepat di hadapannya. Dalam keadaan mendesak
seperti ini, mau tidak mau, intensitas pertemuan di antara keduanya akan sering
terjadi. Memang tak hanya dirinya saja, ada Nanda dan dua orang lagi dalam
timnya. Namun, entah mengapa, Ifa merasa gugup bila berhadapan dengan orang
tersebut.
Namanya Imam Dwi Rizky,
pencinta saintis, kritis, inovatif, mudah bergaul dan hobi meneliti apa saja.
Postur tubuh yang jangkung, berkacamata, dan nampak religius juga pendiam.
Itulah yang dikatakan Nanda padanya. Ifa hanya manggut-manggut, tak
berkomentar. Nanda yang menyadari reaksi yang tak sesuai harapan, merasa gemas
lalu mencubit temannya.
“Aww…sakit mba. Kenapa
Ifa dicubit toh?,” erang Ifa menahan sakit.
“Habis, reaksi Ifa tak
seru banget. Standar,” sungut Nanda.
“Aduh, teman Ifa yang
cantik. Biar dikata seribu pesona tentang dirinya tak ada pengaruhnya sama
sekali buat Ifa saat ini. Ifa mau fokus ke kegiatan Muharram dulu. Ka Irwan
benar-benar membuat Ifa sibuk. Ifa kan tak hanya satu tim dengan Nanda melainkan
Ifa juga panitia inti,” bela Ifa sambil menatap temannya itu.
Nanda yang semula gemas
jadi tersenyum sendiri lalu tertawa. “Baiklah, Nanda minta maaf. Ifa lanjutin
saja kerjaannya. Nanda mau cari angin segar,” pamit Nanda pada Ifa.
Tak lama kemudian,
setelah Nanda pergi, datang sosok yang dibicarakan mereka berdua.
“Assalamualaikum Ifa,” kata sosok tersebut yang tak lain adalah Imam Dwi Rizky.
“Waalaikumsalam,” ucap
Ifa terkaget-kaget.
“Kaget ya. Maaf. Ini
ada beberapa file penting terkait acara nanti. Kuisioner, daftar peserta lomba,
dan lainnya sudah ada dalam rekapan file ini,” kata Imam padanya.
“Oh iya, terima kasih. Maaf
ngerepotin ya akhi Imam,” balas Ifa.
“Tak usah formal gitu.
Panggil saja Imam. Ada yang bisa saya bantu? Sepertinya Ifa lagi kesulitan,”
tawar Imam pada Ifa.
“Ada beberapa yang agak
membingungkan tapi Ifa lagi berusaha menyelesaikannya,” kata Ifa.
“Coba saya lihat apa
permasalahannya. Oh begini toh. Bagaimana kalau….bla…bla…bla…,” kata Imam
menjelaskan pada Ifa.
Hari itu, gejolak rasa
dalam hati Ifa makin menguat. Obrolan yang cukup lama di antara keduanya begitu
membekas. Tak ada yang menarik sebenarnya dari pembicaraan mereka, hanya
sebatas pemecahan masalah. Lagipula, ia bukanlah orang yang mudah
bersosialisasi. Namun, pada Imam, Ifa merasakan keramahan saat berinteraksi.
Mungkinkah rasa suka itu hadir…..entahlah, hanya Ifa yang mampu menerkanya.
22 Dzulhijjah 1432 H
Semakin sering bertemu,
semakin besar tunas bunga bersemi di hati Ifa. Berawal dari insiden tubrukan
itu, perasaan Ifa campur aduk bila berhadapan dengan Imam. Ingin rasanya, Ifa
mengendalikan sensasi yang indah itu dalam dirinya. Namun, sayang, Ifa merasa
tak kuasa untuk menetralisir gejolak tersebut, justru ia merasa terbuai dengan
hadirnya rasa itu dalam kehidupannya. Belum lagi, hari-harinya terus-menerus
dijemukan dengan berbagai urusan yang menjadi tanggung jawabnya. Hari-hari Ifa
benar-benar bergemuruh di saat persiapan perayaan Muharram tengah terlaksana.
Namun, di lain hal, Ifa
dan Imam nampaknya mulai akrab. Terlihat dari seringnya mereka berdiskusi
ataupun mengobrol baik mengenai rencana kegiatan Muharram ataupun hal yang
sepele. Jikalau seperti itu, mustahil tunas-tunas cinta tiada tumbuh di antara
mereka berdua. Bukankah kebersamaan yang terjalin membuahkan sebuah kasih
sayang yang menyelimuti lingkaran hidup mereka ? Tapi, mestikah sekarang ?
23 Dzulhijjah 1432 H
“Gawat
Ifa, ada problem di kesekretariatan. Ayo kita ke sana,” seru Riechan yang
tiba-tiba muncul di hadapannya.
Hati Ifa merasa was-was. Ia segera berlari menuju
kesekretariatan. Aaaakh…mengapa harus sekarang masalah ini terjadi. Padahal,
acara Muharram tinggal menunggu hari. Tiba di kesekretariatan, nampak
orang-orang bergerombol menutupi pintu ruangan. Mau tak mau, Ifa harus
menerjang arus tersebut agar bisa masuk.
Saat berada di ruangan, Ifa tercengang bukan main. Keadaan
ruangan begitu berantakan seperti habis diobrak-abrik. Ifa syok. Matanya kini
mencari-cari sumber info yang terdekat. Saat Ifa baru melangkah, Irwan
menegurnya.
“Oh, Ifa sudah tiba ya. Sepertinya kita dapat masalah.
Terkait dengan insiden ini, pengurus inti hendak mengadakan rapat dadakan.
Informasikan ke teman-teman lainnya. Bada zuhur, kita sudah berkumpul ya”.
Selidik punya selidik, insiden yang terjadi di
kesekretariatan itu ternyata ulah sekelompok minoritas yang tak setuju dengan
salah satu kegiatan mereka. Kemungkinan besar, mereka dikonfrontasi oleh orang
lain. Belum selesai permasalahan tersebut mereda, isu lainnya merebak. Kini,
pihak talkshow ingin memisahkan diri dari lingkup kepanitiaan Muharram. Ifa
merasa remuk redam menghadapi dilema tersebut. Ia tak tahu harus berbuat apa.
25 Dzulhijjah 1432 H
Akhir-akhir ini, Ifa mulai jarang berkomunikasi dengan Imam
maupun Nanda. Pikirannya kini tengah konsen pada pemecahan masalah yang belum
mencapai titik temu. Masalah yang timbul mendekati acara membuat dirinya tiada
terlalu memperhatikan lagi kedua orang tersebut. Terakhir, Ifa melihat mereka
berdua hanya saat insiden itu menggelegar. Itu pun keduanya hanya nampak dalam
rentang jarak yang jauh, tak mendekat ke tempat kejadian. Hal ini membuat Ifa
menjadi uring-uringan.
“Ada apa ?” tanya seseorang padanya.
“Oh, mba Lala. Kapan tiba di sini ? Tak apa kok mba. Ifa
cuma lagi suntuk saja,” balas Ifa saat mengetahui kedatangan Lala, mantan
aktivis LDK di kampusnya.
“Baru saja. Mba mau ngurus administrasi supaya bisa lanjut
ke universitas lain. Suntuk kenapa toh, Fa ?” tanyanya pada Ifa, adik tingkat
semasa ia kuliah dulu.
“Iya mba. Kami tak mengira masalah bakal datang di saat
acara kegiatan tinggal beberapa hari lagi. Perkaranya belum mencapai titik
temu. Ka Irwan juga sepertinya berusaha berbicara baik-baik dengan pihak yang
kontra tapi juga tak ada hasil. Kami mesti bagaimana ya mba ?” curhat Ifa pada
Lala.
Lala hanya tersenyum, lalu dengan lembut ia berkata,” Ifa,
sudah minta petunjuk sama Allah SWT ? Sudah berbicara dari hati ke hati dengan
mereka. Mendekatlah lalu pahamilah mereka dengan kasih sayang. Ifa,
sesungguhnya di balik kesulitan pasti ada kemudahan….,” jelas Lala.
Ifa mendesah lalu berkata,” Insyaallah mba”.
“Ya sudah. Mba pulang dulu ya. Assalamualaikum,” pamit Lala
pada Ifa.
Sepeninggal Lala, Ifa memutuskan untuk mengikuti sarannya. Namun,
langkahnya terhenti di kala Ifa memergoki Nanda dan Imam sedang asyik mengobrol
di pelataran taman kampus. Tubuhnya menegang, ia segera berbalik menuju tempat
asalnya tadi. Ia bimbang.
27 Dzulhijjah 1432 H
Pikiran Ifa benar-benar kacau. Ifa butuh ketenangan namun
deadline acara tak membiarkan dirinya untuk berhenti sejenak. Ifa merasa jengah
namun ia juga tak mampu terlepas dari belenggu itu.
Meski begitu, Ifa tetap berusaha melakukan saran dari Lala.
Oleh karenanya, ia mencoba utarakan hal ini pada Irwan dan beberapa rekan yang
dapat ia percaya. Selanjutnya, ia pasrahkan keputusan di tangan kawan-kawannya
apakah menerima saran itu atau tidak.
Semestinya, hatinya merasakan kelegaan namun sedikitpun
tiada tertoreh dalam batinnya. Di saat tertekan seperti itu, Ifa biasanya
memainkan jari jemari mungilnya dengan lembut di selembar kertas putih. Ya, Ifa
suka menulis. Menulis membuatnya mampu menguraikan apa yang tak mampu ia
kemukakan. Menulis ialah surat hatinya yang terpendam.
Cukup lama, Ifa berada sendirian di ruang kesekretariatan.
Ia memang sengaja meminta izin pada Irwan untuk tetap berada di sana sebelum ia
melakukan pendekatan terhadap pihak yang kontra dengan panitia penyelenggara
kegiatan. Semoga saja, ia berhasil meluluhkan hati mereka semua, harap Ifa.
Akibat terlalu lama di ruangan, rasa lapar menyergap
dirinya. Ia putuskan untuk mencari sedikit makanan sebagai penyangga perutnya
yang kosong. Maka, ia tinggalkan ruangan tersebut lalu beralih ke koperasi
dekat ruangan yang ia tempati. Ifa hanya menutup pintu ruangan sedikit.
Pikirnya, ia hanya pergi sebentar. Tak kan ada yang berani macam-macam di sana.
Toh, ia sudah menuliskan kata-kata “JANGAN MASUK. PENGURUS SEDANG REHAT”.
Sesampainya Ifa di ruangan, ia malah menemukan tulisan
tangannya hilang seketika. Ifa meradang lalu menangis. Nisa yang saat itu
hendak masuk ke ruangan kaget melihat kawannya terisak-isak.
28 Dzulhijjah 1432 H
“Tak salah lagi pasti Nanda,” simpulnya dalam hati. Sebab
yang masuk ke ruangan saat ia keluar adalah Nanda. Ia tahu itu dari Nisa. Ifa nampak
kesal pada sahabatnya. Di lain hal, Nanda yang mengetahui kejadian itu segera
menyusul menemui Ifa. Sayang beribu sayang, Ifa tak juga mau berbicara
dengannya.
Di saat-saat seperti ini, Ifa teringat perkataan Lala.
Sekuat tenaga, Ifa berusaha menjernihkan pikirannya. Ia berjalan sendirian
mengitari tempat-tempat di sepanjang area kampus hingga akhirnya terhenti di
koperasi. Tak sengaja, matanya menangkap seberkas lembaran kertas putih. Ia
mendekat dan ia temukan kertas yang hilang itu. Spontan, ia menangis lalu
berlari menuju musholla.
Di dalam musholla, Ifa tumpahkan semua kegundahan hatinya
dalam sholat. “Astaghfirullah, ya Allah. Ampuni hamba-Mu ini yang telah
mendzalimi saudaranya sendiri. Bagaimana mungkin hamba bisa menyalahkan Nanda
padahal kesalahan itu akibat diri ku,” isak Ifa pada Allah saat berdoa.
Sesuai sholat, Ifa dihadang oleh Imam di beranda musholla.
Imam mengajaknya berbicara tentang permasalahan yang sedang terjadi antara
dirinya dan Nanda. Imam berusaha menjelaskan duduk perkaranya. Ifa mendengarkan
dan menerima pendapat Imam. “Jangan biarkan diri mu ditutupi dengan keegoisan
hati bila kamu tak ingin kehilangan orang yang kamu sayangi,” kata Imam menutup
pembicaraan tersebut.
Setelah itu, Ifa berencana ingin menemui Nanda. Baru
beberapa langkah berjalan, Nanda tiba-tiba berlari memeluknya sambil berurai
air mata. “Maafkan Nanda, Ifa,” kata Nanda sesegukan. Imam yang berada di sana,
perlahan-lahan menjauhkan dirinya dari kedua sahabat tersebut, membiarkan
mereka berdua saling berbicara.
01 Muharram 1433 H
Alhamdulillah, acara menyambut Tahun Baru Islam dapat terlaksana
dengan baik. Pendekatan yang ia lakukan pekan lalu mampu meluluhkan hati pihak
yang bermasalah dan berhasil memboyong mereka kembali untuk bekerja sama. Tak
hanya itu, permasalahan dengan Nanda juga telah selesai. Ifa merasa bersyukur
akan hal itu.
Saat Ifa sedang asyik menikmati kegiatan Muharram yang
tengah berlangsung di halaman kampus, Nanda menghampirinya lalu tersenyum
sembari menyematkan sepucuk surat di tangannya. “ Dibaca ya,” kata Nanda sambil
berlalu.
Assalamualaikum. Aku
bukanlah si pandai yang bisa membuat kata-kata yang santun juga baik. Namun,
biarkan ku utarakan sesuatu hal kepada mu. Sesungguhnya, aku tertarik kepada
mu, pada kepribadian mu, pada tingkah polah mu, sikap mu dan lainnya. Memang,
akhir-akhir ini, aku begitu dekat dengan sahabat mu. Sungguh, tak ada sesuatu
hal yang terjadi di antara kami. Kami hanya berdiskusi mengenai tugas kami.
Selebihnya, ia terus membicarakanmu. Maaf, aku telah lancang menuliskan ini
kepada mu. Tapi dari sahabat mu, aku tahu bahwa dirimu juga menyukai ku. Ifa,
aku tak ingin merusak citra mu yang suci itu. Cukuplah Allah saja yang
menghembuskan nikmat-Nya untuk menyatukan kita bila kita berjodoh. Kita
sama-sama belajar menjaga diri saja untuk saat ini. Terima kasih untuk kerelaan
hati mu untuk mengenal ku. Wassalam.
Salam
hangat, Imam
Air mata menetes sedikit demi sedikit saat Ifa membaca
surat tersebut. Saat itulah, ia menyadari penyebab kegelisahan hatinya yang tak
kunjung menghilang. Inilah jawabannya. “Ya Allah, syukur ku pada-Mu, hingga
sampai saat ini masih Kau gulirkan beribu-ribu cinta dari ciptaan-Mu hingga aku
mampu temukan jalan terangnya,” isaknya terharu.
Hatinya kini terasa damai, diselimuti gelombang cinta yang
begitu indah. Di Muharram ini, ia semakin memahami keberadaan cinta yang ada di
sekitarnya. Cintanya pada saudaranya, pada tugasnya, dan pada yang lainnya
membuat dirinya menjelma menjadi pribadi yang lebih tangguh lagi. Lalu,
bagaimana dengan perasaannya pada Imam ? Dalam hal itu, Ifa memutuskan untuk
membiarkan waktu saja yang menjawabnya. Di masa penantian itu, ia terus mencoba
merayu Allah agar berkenan menyatukan dirinya dengan Imam. Semoga saja
impiannya terwujud. Amin.
“Wahai Allah, izinkan
aku kembali bertemu dengan Muharram-Mu lagi di tahun-tahun selanjutnya agar aku
bisa menyemaikan benih-benih cinta-Mu seperti saat ini,” urainya dalam hati.
---------------Tamat---------------
Ku
lukiskan pena ku dengan gelombang cintanya yang tak menentu
Membuai
sang rindu lewat warna pelanginya
Bila
masa terjatuh lekaslah bangkit
Sebab
kisah cinta tiada kan terhenti sampai di sini
Ku
lukiskan pena ku dalam diamnya yang syahdu
Menumbuhkan
keramahan hati bertaut cinta dalam goresnya
Kan
banyak bunga yang kan bersemi dalam langkah
Maka
biarkan jiwa bermain-main di dalamnya