“Dear diary, pagi ini ku melihatnya lagi. Ia tampak anggun dengan balutan sweater biru mudanya. Tatapan matanya yang tajam seakan mencerminkan ketangguhannya dalam menghadapi remuk redam kehidupan masa kini. Ya, setidaknya itu menurutku. Namun, di balik pesona yang terpancar darinya, ku tahu, ia menyimpan begitu banyak kesedihan dalam memori ingatannya. Aku mengerti namun aku tak mampu untuk menjelaskannya. Ia begitu tegar meski dirinya beradanya di tengah-tengah lingkaran keramaian orang sekitarnya. Akan tetapi, raut kesedihan itu mencuat jelas tanpa bisa ia sembunyikan. Ingin ku berada di sampingnya, menghiburnya, menyemangatinya namun ku tahu ku tak kan bisa. Tak kan pernah bisa …….”
Phuuh……aku menghela napas panjang. Ku letakkan pena ku tak menentu. Sekali lagi, ku baca tulisan yang telah ku buat tadi. Kemudian, aku termenung. Lalu berganti menghela napas panjang, begitu berulang-ulang ku lakukan. Aku bimbang, mengapa pikiranku dipenuhi oleh bayangannya. Padahal, ku tak begitu mengenalnya namun sosoknya kini mampu menyentakkan hati ku.
Tak berselang lama, ringtone HP ku berdering keras, menyadarkanku kembali menatap kenyataan dunia yang pahit ini. Dengan enggan, ku angkat telepon itu,“Hai dear, lagi ngapain?” kata seseorang nun jauh di sana. Namun, belum sempat ku mengatakan sepatah kata, ia berkata lagi,“Huh…aku tahu, pasti lagi memikirkan Rasya. Iiih….aku kesal sama Aya. Aya kan cewek, masa yang dipikirkan cewek kayak Rasya sih. Mending Dani atau siapa lah ….”
Kali ini aku melengos kesal. Dengan cepat, aku menjawab,”Jikalau daku lagi memikirkan Rasya, memangnya apa yang kan kau perbuat pada diri ku?”. “Huh…Aya mah, Rasya kan tidak pernah memikirkan Aya. Mengapa Aya harus repot memikirkan dia?” lanjutnya. “Ya ampun, bukankah ku sudah menjelaskan sedetail-detailnya tentang hal ini,”sungutku dalam hati. “Kau kan sudah tahu, Rim. Perlukah diri ku mengulangnya kembali?” kata ku kesal. “Hehehe…iya iya, Rima tahu kok. Ngomong-ngomong, ku telpon Aya buat apa ya? Kok aku bisa lupa?”katanya dengan santai. “Ri.....ma……!!!” teriakku padanya di telepon. “Oh ya baru ingat, Rima cuma mau kasih kabar kalau besok Lani mengundang anak-anak kelas XII IPA 1 untuk merayakan ultahnya. Dah ya ….. honey,” katanya dengan cepat sambil menutup telpon dari tempatnya.
Huh…..anak ini cerdik, tahu saja kalau ia tak cepat-cepat menutup telpon, mungkin aku akan naik darah. Dalam hati, aku tersenyum lucu mengingat tingkahnya tadi.
Ku rasakan malam beranjak larut. Tiba-tiba saja, aku merasakan kantuk yang luar biasa. Ku tutup diary kecilku yang tadi kubiarkan terbuka dengan rapi. Lalu, aku pun pergi ke tempat tidur. Sesaat sebelum ku membangun negeri mimpiku, ku memanjatkan doa sejenak, seraya berkata,”Tuhan, tolong hamba-Mu dalam menemukan permasalahan yang terjadi pada sosok gadis yang selalu terngiang-ngiang dalam benakku ini. Amin.”
Esoknya, Ku pikir pagi akan menyapaku dengan riangnya. Tapi nyatanya tidak, yang ku dapat malah,”Aya…..bangun. Sudah jam enam. Nanti kamu telat lagi berangkat ke sekolahnya.” Perlu beberapa menit agar ku bisa pulih dan kembali menatap dunia. Setelah aku yakin diriku sepenuhnya telah sadar, segera ku beringsut dari tempat tidur. Dengan tergesa-gesa, ku raih handuk dan melesat cepat menuju kamar mandi. Barulah satu setengah jam kemudian, aku selesai bersiap-siap. Kusambar sepotong roti, memberikan ucapan selamat pagi pada seluruh keluarga, lalu melaju bagai jet menuju mobil.
”Sudah siap, Non,” kata Pak Arman pada ku. Aku menganguk dengan mantap sambil mengacungkan jempol setinggi-tingginya. Tanpa basa-basi, Pak Arman segera tancap gas. Rasanya, aku seperti berpacu dengan waktu. Beruntung, aku memiliki Pak Arman yang siap sedia jika aku sedang terburu-buru seperti keadaan ku saat ini. Tepat pukul 07.15, aku telah tiba di sekolah. Tak sampai 5 menit, aku sudah berada di bangku kelas ku. Rima pun menyambutku dengan hangat sambil berkata,”Untung kau tepat waktu. Sepuluh menit lagi, bel akan berbunyi dan kau mungkin tak kan luput dari sanksi yang diberikan Bu Salma.” Aku hanya tersenyum kecil sebagai jawaban atas perkataannya tadi.
Setengah hari, ku lalui dengan sangat membosankan. Persoalannya adalah aku tak bisa berkonsentrasi dengan pelajaran-pelajaran di kelas hari ini, justru pikiran ku kini semakin tak menentu mengingat sosoknya yang terasa jauh bagiku. Syukurlah, bel istirahat berbunyi. Ku hamburkan diriku keluar kelas menuju kebun di belakang sekolah. Sejenak kupejamkan mata sambil menikmati ketenangan dan kesejukan yang disuguhkan alam padaku. Namun, di saat rasa tenang menghampiriku dengan lembut, terdengar olehku isak tangis yang mendayu. Ku buka mata ku lebar-lebar dan terbelalak ketika aku mengetahui si pelaku. ”Rasya......,”pekik ku dalam hati. Ingin aku mendatanginya namun ku urungkan niat ku. Kelihatannya ia pun ingin segera pergi setelah tangis yang ia keluarkan sesaat tadi. Untunglah, Rasya tak melihat sosok ku. Detik itu pula, aku menyadari bahwa Rasya berada dalam kekalutan yang amat dalam.
Semenjak itu, beberapa kali kupergoki Rasya menangis di tempat itu. Sebenarnya, aku ingin mendatanginya lalu menghiburnya namun entah mengapa hasrat ku itu tak juga terlaksana. Akhirnya ku pun sering mengeluh tak jelas. Gerak-gerik ku yang berbeda dari biasanya itu akhirnya terbaca juga oleh Rima, sahabat karib ku.
”Ay, boleh tanya sesuatu?” katanya suatu hari. Aku mengangguk. ”Beberapa hari ini, Rima perhatikan Aya seperti menyembunyikan sesuatu. Aya juga jadi sering pergi ke kebun, lalu ketika tiba di kelas langsung melamun. Memangnya Aya punya masalah?” katanya lagi penuh selidik. Aku terdiam sebentar, mengumpulkan tenaga sambil merangkai kata demi kata agar mampu dipahami oleh Rima.
”Rima.....ternyata dugaanku tentang Rasya selama ini tidak meleset. Akhir-akhir ini, ku seringkali memergokinya menangis sendirian di kebun belakang sekolah. Aku sedih melihatnya seperti itu meski aku memang tak mengenalnya lebih dekat. Aku ingin menghiburnya, mengajaknya untuk berbagi kisah dengan ku tapi tubuhku seakan mematung saat aku melihatnya. Aku bingung, tak tahu musti bagaimana. Apa yang harus ku lakukan, Rima?” tanya ku pelan. Aku menunggu agak lama jawaban dari Rima. Ia tampak serius menanggapi pertanyaan ku tadi. ”Hmm....kalau begitu, Rima punya ide. Bagaimana kalau Aya berusaha mengenal Rasya lebih dekat. Tenang saja, Rima tetap bantu Aya. Biar Rima yang mencari berbagai info tentang Rasya supaya Aya tak canggung dengan Rasya. Bagaimana, setuju?” ungkapnya dengan semangat. Aku pun mengiyakan rencananya itu.
Keesokan harinya, Rima datang menghampiriku dengan setumpuk kertas yang lumayan banyak. Ia meletakkan semua kertas itu di depan meja ku. Aku terbengong beberapa saat. Tak ku sangka, Rima cukup cekatan. Rasanya baru kemarin, ia mengatakan rencananya pada ku. Namun, hasil kerjanya tiba-tiba saja sudah di depan mata ku. Aku terkagum-kagum dibuatnya. Akan tetapi, Rima tak memberiku kesempatan untuk diam. Dengan gesit, ia menjelaskan perihal kertas tersebut dengan detail. Mau tidak mau, aku harus mendengarkan ceramahnya selama setengah jam non stop. ”Ya, sudah mengerti kan”, katanya mengakhiri ocehannya itu. ”Hah...apa Rim. Aku ngerti apa”, jawabku kaget. Hehehe.....maafkan aku, Rima, sejenak tadi aku melamun. ”Huh....Aya mah jahat. Jadi dari tadi, Rima bicara, tidak didengarkan ya. Iih....Rima kesal ma Aya”, sahutnya sambil merengut. ”Iya, iya, ku dengar apa yang Rima bicarakan. Tadi ku lagi mikir sebentar. Hmm...oke lah sekarang giliran ku yang beraksi,” kata ku dengan semangat. ”Tapi Ay, berhubung Rima sudah kerja keras, traktir Rima ya. Biasa mie pangsit buatan bu kantin. Boleh ya, Ay,” rengeknya pada ku. Aku terpaku sejenak dan tawa ku pun meledak tak tertahankan. Rima pun memasang muka masam ketika dia melihat ku tertawa gara-gara dia. Aneh-aneh saja ulahnya, walau sempit masih saja punya kesempatan. Ya sudahlah, tak seberapa ku harus mentraktir Rima. Toh, dia sudah membantu ku.
”Huuh.....dasar orang lemah,” sungut ku dalam hati. Seharian ini, aku mengomeli diri ku tiada henti. Betapa tak berdayanya aku saat aku berusaha mendekati Rasya. Seharusnya, aku tidak canggung, tapi nyatanya aku mematung ketika berpapasan dengannya. Alhasil, hingga detik ini, aku sama sekali tak bisa mengenal Rasya. Hiks...hiks....hiks, ringis ku dalam hati.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Akhirnya ku punya kesempatan untuk mengenal pribadi Rasya. Mau tahu? Ceritanya begini, saat itu aku sedang menghadapi ulangan mendadak di kelas. Ketika kami sudah tenggelam dalam pikiran masing-masing untuk segera menyelesaikan soal ulangan, kami dikagetkan dengan suara ketokan pintu yang pelan. Di saat itulah, muncul wajah manis Rasya di balik pintu. Ia meminta izin pada Pak Soni, guru Matematika agar aku diizinkan untuk keluar kelas. Pak Soni mempersilahkan aku keluar dari kelas, untungnya aku telah menjawab semua soal tersebut.
Segera setelah itu, Rasya dan aku berjalan berdampingan menuju ruang BK. Katanya, Bu Erika ingin berbicara pada kami berdua. Ku rasakan kecanggungan tercipta di antara kami berdua sepanjang perjalanan menuju ruang BK itu, oleh karenanya, kami berdua hanya bisa diam. Kami pun tiba di sana hanya beberapa menit. Di ruangan tersebut, cukup lama juga, kami berbicara dengan Bu Erika. Dari pembicaraan itu, aku bisa menyimpulkan bahwa sekolah mengirmkan aku dan Rasya untuk mewakili lomba menulis cerpen remaja tingkat SMA/MA se-derajat. Wah... betapa senangnya hati ku. Aku tak menduga, aku bisa mengikuti lomba bersama-sama dengan orang yang ku kagumi selama ini.
Memang pada awal pertemuan itu, rasa canggung masih menghinggapi kami. Namun, karena intensitas pertemuan yang mengharuskan kami sering berdiskusi, kekakuan itu pun mulai mencair bagai es yang meleleh. Ternyata, mengenal Rasya itu merupakan anugrah yang terindah bagiku. Di sampingnya, aku merasakan kehangatan akan sebuah persahabatan. Ia tidak hanya cantik, pintar, dan berbakat. Ia juga orang yang sangat peduli dengan sesama. Hal itu ia buktikan dengan beberapa karya goresan tangannya yang mampu membuat orang terpana karenanya. Mungkin itu lah yang membuat banyak orang ingin selalu berada di dekatnya. Gara-gara kedekatan itu juga lah, ku lihat Rasya mulai tampak bersemangat dan ceria. Bersama Rima, aku mulai menjalin tali persahabatan dengan Rasya.
Awalnya ku pikir, Dewi Fortuna akan terus mendampinginya, memberikan keberuntungan yang indah padanya. Tapi kenyataanya, hal itu berbanding terbalik dengan apa yang Rasya rasakan saat ini. Kebahagiaan yang ketika itu mulai terpancar berkilauan kini perlahan-lahan mulai redup. Terhempas oleh badai yang datang bertubi-tubi. Hal itu berawal dari tersebar luasnya pemberitaan mengenai sang Ayah yang tertangkap polisi dikarenakan terlibat dalam kasus penggelapan dana perusahaan mitra beliau. Belum lagi, ditambah dengan konflik keluarga yang merebak luas ke segala masyarakat. Maklumlah, keluarga Rasya adalah keluarga enterpreneur, oleh karenanya segala sesuatu yang terjadi pada keluarga Rasya sudah seperti kebutuhan umum.
Akibat pemberitaan tersebut, satu per satu, orang-orang pun mulai menjauhi dan mengucilkan Rasya, tak terkecuali teman-temannya terdekatnya. Kini mereka semua menyingkir seakan ingin menghakimi Rasya layaknya penjahat yang panta jats diberi hukuman. Dada ku terasa sesak melihat kondisi Rasya yang seperti itu. Untuk itulah, waktu istirahat kupergunakan untuk bertatap muka dengannya. Namun, batang hidungnya tak juga kelihatan di mana-mana. Aku panik sekaligus bingung, tak tahu mesti mencari ke mana keberadaan Rasya. Sesaat, ku mencoba menenangkan diri. Kemudian, aku berteriak,” Aku tahu di mana dia berada.”
Secepat kilat, ku berlari menuju tempatnya berada. Namun, sesampainya ku di sana, terlihat suatu keanehan yang tergambar jelas di mata ku. Aku segera mendatanginya, salah satu tangan ku meraih tangannya dan mengenggamnya dengan erat. Satu tangan ku lagi mencoba melepaskan benda yang sedari tadi diperhatikannya lalu ku hempaskan benda itu ke tanah. ”Hentikan,” desakku padanya. Ia tak menjawab. Namun, tubuhnya memberontak hendak melepaskan diri dari ku. Aku pun semakin menguatkan genggamanku. Tak berapa lama, desakan tubuhnya mulai melemah. Perlahan, ku perlemahkan eratnya tanganku, tak khayal, ia pun jatuh tersungkur. Air mata mengalir deras di pelupuk matanya tanpa ku duga. Aku ikut terduduk mencoba mendengarkannya.
”Aku tak kuat lagi. Apa salah ku pada mereka? Aku berusaha menjadi yang terbaik buat mereka? Tapi mengapa mereka tak mengerti keadaan ku. Rasanya aku ingin mengakhiri hidupku saat ini juga,” katanya tersedu-sedu. Plak.....aku menampar tepat di pipinya. ”Apa pantas perkataan itu keluar dari mulut seorang Rasya? Tidak. Rasya yang ku tahu, ia tak kan pernah gentar menghadapi sepelik apa pun masalah dalam hidupnya. Ia selalu tersenyum meski menyakitkan. Dan yang sekarang di hadapan ku bukanlah Rasya yang ku kenal,” kata ku dengan tegas.
”Kau mengerti apa tentang ku. Kamu tidak tahu apa-apa. Kamu dan mereka sama saja, selalu memanfaatkanku. Bersikap baik di depan ku jika kalian benar-benar membutuhkanku. Aku sudah melakukan seperti yang kalian mau. Aku hanya ingin dimengerti, diperhatikan sama seperti yang lainnya. Tapi, mengapa selalu saja pada akhirnya aku merasa sendiri, terkungkung dalam kesepian? Apa aku tak pantas mendapatkannya?” katanya lirih. Hati ku perih mendengarnya berbicara seperti itu. Tak kuasa, air mata ku menetes menyaksikan ketidakberdayaan sosoknya.
”Tak semua orang bersikap seperti yang Rasya bayangkan. Mungkin, saat itu memang waktunya Rasya dekat sama mereka dengan harapan agar mereka juga bisa populer lalu meninggalkan Rasya begitu saja. Tapi sungguh, banyak orang-orang yang menyayangi Rasya meski tak bisa berada di dekat Rasya. Sya, kamu tak akan sendirian. Rasya masih punya orang tua, keluarga, bahkan penggemar karya-karya Rasya di luar sana. Mereka semua memperhatikan mu walau terkadang tak bisa sempurna pada kenyataanya. Kalau pun, tak berhasil juga, Rasya musti ingat, Allah Swt selalu bersama kita. Jadikan Ia sebagai penyokong hidup mu. Sungguh, hatimu pasti akan tenang,” kata ku panjang lebar.
Ku pandangi wajahnya, tetesan air mata itu kini pudar. Perlahan, senyumnya mengembang dengan hangat. ”Terima kasih, Ay. Hati ku agak tenang setelah mendengarkan mu,” balasnya dengan lembut. Aku hanya membalasnya dengan anggukan.
Suasana pun kembali hening. Ku pun mencoba menikmati sejuknya udara alam. Dalam keheningan, terdengar sayup Rasya berkumandang. ”Aya, mau kah kamu jadi sahabat ku?” tanyanya setengah berbisik padaku. ”Rasya, rasya, tak usah kau bertanya seperti itu pun, aku memang ingin menjadi sahabat mu sebab ku mengagumi mu,” jawabku jelas. Tak ada jawaban terdengar dari mulutnya. Sepertinya kami berdua sudah terhanyut oleh kenikmatan alam yang kami rasakan. Namun hal itu tak bertahan lama sebab sekonyong-konyong terdengar langkah kaki mendekat pada kami lalu dengan lantang berkata,” Woi, bangun. Ngapain tidur-tiduran di sini. Kotor tahu!” pekiknya. Dalam sekejap, mata ku membelalak.
”Rima......................!” teriakku kesal. Rima pun menyambut kekesalan ku dengan senyumannya yang khas. Tak kusangka, gara-gara hal itu juga lah, pertama kalinya ku melihat tawa Rasya yang begitu ceria. ”Syukurlah, ia sudah lepas dari belenggu penderitaannya,” kata ku dalam hati. Sekarang dan yang akan datang, tak akan kutemukan lagi, Rasya dengan wajah sedihnya melainkan wajah segarnya yang begitu bersemangat. Mengapa? Sebab kini, aku dan Rima akan terus mendampinginya.
Beberapa tahun kemudian.....
”Kak Aya, lihat deh. Vaya baru saja beli novel baru. Ceritanya tentang persahabatan. Pokoknya seru deh, Ka,” kata adikku mengebu-gebu. ”Oh, memangnya judul apa?” tanyaku padanya. Vaya pun dengan cekatan memperlihatkan novel itu di depanku. Aku pun tersenyum karenanya sambil meninggalkannya yang terbengong-benbarigong melihat tingkahku. ”Lho, kok Kak Aya pergi. Senyum-senyum tak jelas lagi. Ka Aya, ada apa? Tunggu Ka!” teriaknya sambil mengejar ku.
Tak ku hiraukan panggilannya. Biarlah ia menjadi penasaran karenanya. Sebab alasan yang tak perlu Vaya tahu bahwa novel yang ia tunjukkan pada ku adalah sesuatu yang ku kenal dan menjadi harta berharga ku. Ya, novel itulah yang Rasya tulis sebagai penggambarannya tentang persahabatan antara aku, Rima, dan juga dia. Hingga kini pun, persahabatan itu terus terjalin dengan erat.
Sementara itu, masih ku lihat, Vaya mengejar ku sambil memegang kuat novel yang baru ia beli. Judul novel itu pun tampak jelas terbaca oleh ku, ” Cinta Sang Sahabat”. Ya, akhir kisah yang menyenangkan untuk dikenang selamanya.
Phuuh……aku menghela napas panjang. Ku letakkan pena ku tak menentu. Sekali lagi, ku baca tulisan yang telah ku buat tadi. Kemudian, aku termenung. Lalu berganti menghela napas panjang, begitu berulang-ulang ku lakukan. Aku bimbang, mengapa pikiranku dipenuhi oleh bayangannya. Padahal, ku tak begitu mengenalnya namun sosoknya kini mampu menyentakkan hati ku.
Tak berselang lama, ringtone HP ku berdering keras, menyadarkanku kembali menatap kenyataan dunia yang pahit ini. Dengan enggan, ku angkat telepon itu,“Hai dear, lagi ngapain?” kata seseorang nun jauh di sana. Namun, belum sempat ku mengatakan sepatah kata, ia berkata lagi,“Huh…aku tahu, pasti lagi memikirkan Rasya. Iiih….aku kesal sama Aya. Aya kan cewek, masa yang dipikirkan cewek kayak Rasya sih. Mending Dani atau siapa lah ….”
Kali ini aku melengos kesal. Dengan cepat, aku menjawab,”Jikalau daku lagi memikirkan Rasya, memangnya apa yang kan kau perbuat pada diri ku?”. “Huh…Aya mah, Rasya kan tidak pernah memikirkan Aya. Mengapa Aya harus repot memikirkan dia?” lanjutnya. “Ya ampun, bukankah ku sudah menjelaskan sedetail-detailnya tentang hal ini,”sungutku dalam hati. “Kau kan sudah tahu, Rim. Perlukah diri ku mengulangnya kembali?” kata ku kesal. “Hehehe…iya iya, Rima tahu kok. Ngomong-ngomong, ku telpon Aya buat apa ya? Kok aku bisa lupa?”katanya dengan santai. “Ri.....ma……!!!” teriakku padanya di telepon. “Oh ya baru ingat, Rima cuma mau kasih kabar kalau besok Lani mengundang anak-anak kelas XII IPA 1 untuk merayakan ultahnya. Dah ya ….. honey,” katanya dengan cepat sambil menutup telpon dari tempatnya.
Huh…..anak ini cerdik, tahu saja kalau ia tak cepat-cepat menutup telpon, mungkin aku akan naik darah. Dalam hati, aku tersenyum lucu mengingat tingkahnya tadi.
Ku rasakan malam beranjak larut. Tiba-tiba saja, aku merasakan kantuk yang luar biasa. Ku tutup diary kecilku yang tadi kubiarkan terbuka dengan rapi. Lalu, aku pun pergi ke tempat tidur. Sesaat sebelum ku membangun negeri mimpiku, ku memanjatkan doa sejenak, seraya berkata,”Tuhan, tolong hamba-Mu dalam menemukan permasalahan yang terjadi pada sosok gadis yang selalu terngiang-ngiang dalam benakku ini. Amin.”
Esoknya, Ku pikir pagi akan menyapaku dengan riangnya. Tapi nyatanya tidak, yang ku dapat malah,”Aya…..bangun. Sudah jam enam. Nanti kamu telat lagi berangkat ke sekolahnya.” Perlu beberapa menit agar ku bisa pulih dan kembali menatap dunia. Setelah aku yakin diriku sepenuhnya telah sadar, segera ku beringsut dari tempat tidur. Dengan tergesa-gesa, ku raih handuk dan melesat cepat menuju kamar mandi. Barulah satu setengah jam kemudian, aku selesai bersiap-siap. Kusambar sepotong roti, memberikan ucapan selamat pagi pada seluruh keluarga, lalu melaju bagai jet menuju mobil.
”Sudah siap, Non,” kata Pak Arman pada ku. Aku menganguk dengan mantap sambil mengacungkan jempol setinggi-tingginya. Tanpa basa-basi, Pak Arman segera tancap gas. Rasanya, aku seperti berpacu dengan waktu. Beruntung, aku memiliki Pak Arman yang siap sedia jika aku sedang terburu-buru seperti keadaan ku saat ini. Tepat pukul 07.15, aku telah tiba di sekolah. Tak sampai 5 menit, aku sudah berada di bangku kelas ku. Rima pun menyambutku dengan hangat sambil berkata,”Untung kau tepat waktu. Sepuluh menit lagi, bel akan berbunyi dan kau mungkin tak kan luput dari sanksi yang diberikan Bu Salma.” Aku hanya tersenyum kecil sebagai jawaban atas perkataannya tadi.
Setengah hari, ku lalui dengan sangat membosankan. Persoalannya adalah aku tak bisa berkonsentrasi dengan pelajaran-pelajaran di kelas hari ini, justru pikiran ku kini semakin tak menentu mengingat sosoknya yang terasa jauh bagiku. Syukurlah, bel istirahat berbunyi. Ku hamburkan diriku keluar kelas menuju kebun di belakang sekolah. Sejenak kupejamkan mata sambil menikmati ketenangan dan kesejukan yang disuguhkan alam padaku. Namun, di saat rasa tenang menghampiriku dengan lembut, terdengar olehku isak tangis yang mendayu. Ku buka mata ku lebar-lebar dan terbelalak ketika aku mengetahui si pelaku. ”Rasya......,”pekik ku dalam hati. Ingin aku mendatanginya namun ku urungkan niat ku. Kelihatannya ia pun ingin segera pergi setelah tangis yang ia keluarkan sesaat tadi. Untunglah, Rasya tak melihat sosok ku. Detik itu pula, aku menyadari bahwa Rasya berada dalam kekalutan yang amat dalam.
Semenjak itu, beberapa kali kupergoki Rasya menangis di tempat itu. Sebenarnya, aku ingin mendatanginya lalu menghiburnya namun entah mengapa hasrat ku itu tak juga terlaksana. Akhirnya ku pun sering mengeluh tak jelas. Gerak-gerik ku yang berbeda dari biasanya itu akhirnya terbaca juga oleh Rima, sahabat karib ku.
”Ay, boleh tanya sesuatu?” katanya suatu hari. Aku mengangguk. ”Beberapa hari ini, Rima perhatikan Aya seperti menyembunyikan sesuatu. Aya juga jadi sering pergi ke kebun, lalu ketika tiba di kelas langsung melamun. Memangnya Aya punya masalah?” katanya lagi penuh selidik. Aku terdiam sebentar, mengumpulkan tenaga sambil merangkai kata demi kata agar mampu dipahami oleh Rima.
”Rima.....ternyata dugaanku tentang Rasya selama ini tidak meleset. Akhir-akhir ini, ku seringkali memergokinya menangis sendirian di kebun belakang sekolah. Aku sedih melihatnya seperti itu meski aku memang tak mengenalnya lebih dekat. Aku ingin menghiburnya, mengajaknya untuk berbagi kisah dengan ku tapi tubuhku seakan mematung saat aku melihatnya. Aku bingung, tak tahu musti bagaimana. Apa yang harus ku lakukan, Rima?” tanya ku pelan. Aku menunggu agak lama jawaban dari Rima. Ia tampak serius menanggapi pertanyaan ku tadi. ”Hmm....kalau begitu, Rima punya ide. Bagaimana kalau Aya berusaha mengenal Rasya lebih dekat. Tenang saja, Rima tetap bantu Aya. Biar Rima yang mencari berbagai info tentang Rasya supaya Aya tak canggung dengan Rasya. Bagaimana, setuju?” ungkapnya dengan semangat. Aku pun mengiyakan rencananya itu.
Keesokan harinya, Rima datang menghampiriku dengan setumpuk kertas yang lumayan banyak. Ia meletakkan semua kertas itu di depan meja ku. Aku terbengong beberapa saat. Tak ku sangka, Rima cukup cekatan. Rasanya baru kemarin, ia mengatakan rencananya pada ku. Namun, hasil kerjanya tiba-tiba saja sudah di depan mata ku. Aku terkagum-kagum dibuatnya. Akan tetapi, Rima tak memberiku kesempatan untuk diam. Dengan gesit, ia menjelaskan perihal kertas tersebut dengan detail. Mau tidak mau, aku harus mendengarkan ceramahnya selama setengah jam non stop. ”Ya, sudah mengerti kan”, katanya mengakhiri ocehannya itu. ”Hah...apa Rim. Aku ngerti apa”, jawabku kaget. Hehehe.....maafkan aku, Rima, sejenak tadi aku melamun. ”Huh....Aya mah jahat. Jadi dari tadi, Rima bicara, tidak didengarkan ya. Iih....Rima kesal ma Aya”, sahutnya sambil merengut. ”Iya, iya, ku dengar apa yang Rima bicarakan. Tadi ku lagi mikir sebentar. Hmm...oke lah sekarang giliran ku yang beraksi,” kata ku dengan semangat. ”Tapi Ay, berhubung Rima sudah kerja keras, traktir Rima ya. Biasa mie pangsit buatan bu kantin. Boleh ya, Ay,” rengeknya pada ku. Aku terpaku sejenak dan tawa ku pun meledak tak tertahankan. Rima pun memasang muka masam ketika dia melihat ku tertawa gara-gara dia. Aneh-aneh saja ulahnya, walau sempit masih saja punya kesempatan. Ya sudahlah, tak seberapa ku harus mentraktir Rima. Toh, dia sudah membantu ku.
”Huuh.....dasar orang lemah,” sungut ku dalam hati. Seharian ini, aku mengomeli diri ku tiada henti. Betapa tak berdayanya aku saat aku berusaha mendekati Rasya. Seharusnya, aku tidak canggung, tapi nyatanya aku mematung ketika berpapasan dengannya. Alhasil, hingga detik ini, aku sama sekali tak bisa mengenal Rasya. Hiks...hiks....hiks, ringis ku dalam hati.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Akhirnya ku punya kesempatan untuk mengenal pribadi Rasya. Mau tahu? Ceritanya begini, saat itu aku sedang menghadapi ulangan mendadak di kelas. Ketika kami sudah tenggelam dalam pikiran masing-masing untuk segera menyelesaikan soal ulangan, kami dikagetkan dengan suara ketokan pintu yang pelan. Di saat itulah, muncul wajah manis Rasya di balik pintu. Ia meminta izin pada Pak Soni, guru Matematika agar aku diizinkan untuk keluar kelas. Pak Soni mempersilahkan aku keluar dari kelas, untungnya aku telah menjawab semua soal tersebut.
Segera setelah itu, Rasya dan aku berjalan berdampingan menuju ruang BK. Katanya, Bu Erika ingin berbicara pada kami berdua. Ku rasakan kecanggungan tercipta di antara kami berdua sepanjang perjalanan menuju ruang BK itu, oleh karenanya, kami berdua hanya bisa diam. Kami pun tiba di sana hanya beberapa menit. Di ruangan tersebut, cukup lama juga, kami berbicara dengan Bu Erika. Dari pembicaraan itu, aku bisa menyimpulkan bahwa sekolah mengirmkan aku dan Rasya untuk mewakili lomba menulis cerpen remaja tingkat SMA/MA se-derajat. Wah... betapa senangnya hati ku. Aku tak menduga, aku bisa mengikuti lomba bersama-sama dengan orang yang ku kagumi selama ini.
Memang pada awal pertemuan itu, rasa canggung masih menghinggapi kami. Namun, karena intensitas pertemuan yang mengharuskan kami sering berdiskusi, kekakuan itu pun mulai mencair bagai es yang meleleh. Ternyata, mengenal Rasya itu merupakan anugrah yang terindah bagiku. Di sampingnya, aku merasakan kehangatan akan sebuah persahabatan. Ia tidak hanya cantik, pintar, dan berbakat. Ia juga orang yang sangat peduli dengan sesama. Hal itu ia buktikan dengan beberapa karya goresan tangannya yang mampu membuat orang terpana karenanya. Mungkin itu lah yang membuat banyak orang ingin selalu berada di dekatnya. Gara-gara kedekatan itu juga lah, ku lihat Rasya mulai tampak bersemangat dan ceria. Bersama Rima, aku mulai menjalin tali persahabatan dengan Rasya.
Awalnya ku pikir, Dewi Fortuna akan terus mendampinginya, memberikan keberuntungan yang indah padanya. Tapi kenyataanya, hal itu berbanding terbalik dengan apa yang Rasya rasakan saat ini. Kebahagiaan yang ketika itu mulai terpancar berkilauan kini perlahan-lahan mulai redup. Terhempas oleh badai yang datang bertubi-tubi. Hal itu berawal dari tersebar luasnya pemberitaan mengenai sang Ayah yang tertangkap polisi dikarenakan terlibat dalam kasus penggelapan dana perusahaan mitra beliau. Belum lagi, ditambah dengan konflik keluarga yang merebak luas ke segala masyarakat. Maklumlah, keluarga Rasya adalah keluarga enterpreneur, oleh karenanya segala sesuatu yang terjadi pada keluarga Rasya sudah seperti kebutuhan umum.
Akibat pemberitaan tersebut, satu per satu, orang-orang pun mulai menjauhi dan mengucilkan Rasya, tak terkecuali teman-temannya terdekatnya. Kini mereka semua menyingkir seakan ingin menghakimi Rasya layaknya penjahat yang panta jats diberi hukuman. Dada ku terasa sesak melihat kondisi Rasya yang seperti itu. Untuk itulah, waktu istirahat kupergunakan untuk bertatap muka dengannya. Namun, batang hidungnya tak juga kelihatan di mana-mana. Aku panik sekaligus bingung, tak tahu mesti mencari ke mana keberadaan Rasya. Sesaat, ku mencoba menenangkan diri. Kemudian, aku berteriak,” Aku tahu di mana dia berada.”
Secepat kilat, ku berlari menuju tempatnya berada. Namun, sesampainya ku di sana, terlihat suatu keanehan yang tergambar jelas di mata ku. Aku segera mendatanginya, salah satu tangan ku meraih tangannya dan mengenggamnya dengan erat. Satu tangan ku lagi mencoba melepaskan benda yang sedari tadi diperhatikannya lalu ku hempaskan benda itu ke tanah. ”Hentikan,” desakku padanya. Ia tak menjawab. Namun, tubuhnya memberontak hendak melepaskan diri dari ku. Aku pun semakin menguatkan genggamanku. Tak berapa lama, desakan tubuhnya mulai melemah. Perlahan, ku perlemahkan eratnya tanganku, tak khayal, ia pun jatuh tersungkur. Air mata mengalir deras di pelupuk matanya tanpa ku duga. Aku ikut terduduk mencoba mendengarkannya.
”Aku tak kuat lagi. Apa salah ku pada mereka? Aku berusaha menjadi yang terbaik buat mereka? Tapi mengapa mereka tak mengerti keadaan ku. Rasanya aku ingin mengakhiri hidupku saat ini juga,” katanya tersedu-sedu. Plak.....aku menampar tepat di pipinya. ”Apa pantas perkataan itu keluar dari mulut seorang Rasya? Tidak. Rasya yang ku tahu, ia tak kan pernah gentar menghadapi sepelik apa pun masalah dalam hidupnya. Ia selalu tersenyum meski menyakitkan. Dan yang sekarang di hadapan ku bukanlah Rasya yang ku kenal,” kata ku dengan tegas.
”Kau mengerti apa tentang ku. Kamu tidak tahu apa-apa. Kamu dan mereka sama saja, selalu memanfaatkanku. Bersikap baik di depan ku jika kalian benar-benar membutuhkanku. Aku sudah melakukan seperti yang kalian mau. Aku hanya ingin dimengerti, diperhatikan sama seperti yang lainnya. Tapi, mengapa selalu saja pada akhirnya aku merasa sendiri, terkungkung dalam kesepian? Apa aku tak pantas mendapatkannya?” katanya lirih. Hati ku perih mendengarnya berbicara seperti itu. Tak kuasa, air mata ku menetes menyaksikan ketidakberdayaan sosoknya.
”Tak semua orang bersikap seperti yang Rasya bayangkan. Mungkin, saat itu memang waktunya Rasya dekat sama mereka dengan harapan agar mereka juga bisa populer lalu meninggalkan Rasya begitu saja. Tapi sungguh, banyak orang-orang yang menyayangi Rasya meski tak bisa berada di dekat Rasya. Sya, kamu tak akan sendirian. Rasya masih punya orang tua, keluarga, bahkan penggemar karya-karya Rasya di luar sana. Mereka semua memperhatikan mu walau terkadang tak bisa sempurna pada kenyataanya. Kalau pun, tak berhasil juga, Rasya musti ingat, Allah Swt selalu bersama kita. Jadikan Ia sebagai penyokong hidup mu. Sungguh, hatimu pasti akan tenang,” kata ku panjang lebar.
Ku pandangi wajahnya, tetesan air mata itu kini pudar. Perlahan, senyumnya mengembang dengan hangat. ”Terima kasih, Ay. Hati ku agak tenang setelah mendengarkan mu,” balasnya dengan lembut. Aku hanya membalasnya dengan anggukan.
Suasana pun kembali hening. Ku pun mencoba menikmati sejuknya udara alam. Dalam keheningan, terdengar sayup Rasya berkumandang. ”Aya, mau kah kamu jadi sahabat ku?” tanyanya setengah berbisik padaku. ”Rasya, rasya, tak usah kau bertanya seperti itu pun, aku memang ingin menjadi sahabat mu sebab ku mengagumi mu,” jawabku jelas. Tak ada jawaban terdengar dari mulutnya. Sepertinya kami berdua sudah terhanyut oleh kenikmatan alam yang kami rasakan. Namun hal itu tak bertahan lama sebab sekonyong-konyong terdengar langkah kaki mendekat pada kami lalu dengan lantang berkata,” Woi, bangun. Ngapain tidur-tiduran di sini. Kotor tahu!” pekiknya. Dalam sekejap, mata ku membelalak.
”Rima......................!” teriakku kesal. Rima pun menyambut kekesalan ku dengan senyumannya yang khas. Tak kusangka, gara-gara hal itu juga lah, pertama kalinya ku melihat tawa Rasya yang begitu ceria. ”Syukurlah, ia sudah lepas dari belenggu penderitaannya,” kata ku dalam hati. Sekarang dan yang akan datang, tak akan kutemukan lagi, Rasya dengan wajah sedihnya melainkan wajah segarnya yang begitu bersemangat. Mengapa? Sebab kini, aku dan Rima akan terus mendampinginya.
Beberapa tahun kemudian.....
”Kak Aya, lihat deh. Vaya baru saja beli novel baru. Ceritanya tentang persahabatan. Pokoknya seru deh, Ka,” kata adikku mengebu-gebu. ”Oh, memangnya judul apa?” tanyaku padanya. Vaya pun dengan cekatan memperlihatkan novel itu di depanku. Aku pun tersenyum karenanya sambil meninggalkannya yang terbengong-benbarigong melihat tingkahku. ”Lho, kok Kak Aya pergi. Senyum-senyum tak jelas lagi. Ka Aya, ada apa? Tunggu Ka!” teriaknya sambil mengejar ku.
Tak ku hiraukan panggilannya. Biarlah ia menjadi penasaran karenanya. Sebab alasan yang tak perlu Vaya tahu bahwa novel yang ia tunjukkan pada ku adalah sesuatu yang ku kenal dan menjadi harta berharga ku. Ya, novel itulah yang Rasya tulis sebagai penggambarannya tentang persahabatan antara aku, Rima, dan juga dia. Hingga kini pun, persahabatan itu terus terjalin dengan erat.
Sementara itu, masih ku lihat, Vaya mengejar ku sambil memegang kuat novel yang baru ia beli. Judul novel itu pun tampak jelas terbaca oleh ku, ” Cinta Sang Sahabat”. Ya, akhir kisah yang menyenangkan untuk dikenang selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar