Berawal dari lulusan
pesantren, bukan berarti hal tersebut membuatnya minder di hadapan orang lain.
Justru, ia berusaha keras untuk membuktikan diri bahwa ia pun mampu menggapai
cita yang diinginkannya. Baginya, ajaran sewaktu di pesantren menjadi nilai
plus tersendiri yang mungkin jarang dimiliki oleh teman-teman sebayanya. Penilaian
ini malah berbanding terbalik dengan paradigma saya yang menggeserkan
pendidikan dari latar belakang agama menjadi non agama. Syukurnya, karena
perbedaan tersebut, saya pun akhirnya bisa mengenal dan mengambil ibrah
(hikmah) di balik kisah hidupnya.
Sebut saja, Imam
Rosadi. Anak ke 7 dari 8 bersaudara ini tengah menempuh pendidikan S1-nya di
UAI (Universitas Al-Azhar Indonesia) jurusan Bioteknologi. Semula, ia terlihat
biasa-biasa saja. Akan tetapi, ketika berada di dekatnya maka kita akan
menemukan sisi menariknya. Apakah itu ? Saya akan berkata, “Pemikirannya yang
santai tapi matang dan jauh ke depan. Saya rasa itu cukup membuat orang yang
mengenalnya tanpa sadar dapat mengangukkan kepala”.
Pencapaian Imam terealisasi ketika kami sibuk
mengikuti even LPIR (Lomba Penelitian Ilmiah Remaja) tahun 2008. Saat itu, ia bersama
2 rekan timnya mengambil penelitian mengenai pemanfaatan bawang tiwai sebagai
antioksidan terkait dalam bidang kimia. Sedangkan 3 tim lainnya termasuk
kelompok saya masing-masing mengambil bidang fisika dan biologi. “Kami serba
kekurangan. Dalam penulisan, tak ada pembimbing. Laptop pun hanya dimiliki satu
orang. Belum lagi, jam untuk penelitian terbentur dengan aktivitas di sekolah,”
jawabnya ketika ditanya seputar perjuangannya saat itu. Dan, akhirnya hasil karya
mereka lah yang terpilih mewakili sekolah kami untuk mengikuti sesi berikutnya.
Usut punya usut, ternyata Imam sudah menduganya sejak awal. “Entah mengapa, aku
punya keyakinan yang kuat bisa lolos. Dengan bermodal keyakinan dan tekad kuat
supaya bisa berhasil, aku dan rekan setim ku berusaha jatuh bangun dalam
penelitian ini. Alhamdulillah, hasilnya baik,” lanjutnya ketika diwawancarai.
Pembuktian pun tak
berhenti begitu saja. Ia kembali harus bekerja keras untuk mewakili timnya
berangkat ke Jakarta sebagai finalis LPIR. Meski tak menang, ia mengaku bahwa
ia mendapatkan banyak pengalaman berharga semasa dikarantina.
Pengalaman-pengalaman tersebut lantas diaplikasikannya dalam pembelajaran di
sekolah, memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan serta berusaha bangkit
akibat surutnya prestasi belajar.
Dalam kurun waktu
tersebut, saya merasa Imam secara perlahan mulai mengalami peningkatan belajar.
Ia mulai aktif dalam proses belajar-mengajar, diskusi atau kegiatan di sekolah
lainnya. Selain itu, efek sebagai finalis memberikannya keuntungan untuk
dikenal guru-guru yang awalnya tidak ia ketahui. Bila ia mulai bangkit, saya
justru malah jatuh. Bukan karena tidak serius, saya sedang ada masalah.
Beruntung saya memiliki teman-teman tak terkecuali Imam sehingga masa-masa itu
dapat saya lalui. Setidaknya, pengalaman ia sewaktu terpuruk menjadi saran yang
baik untuk diri saya. Tentu saja, nilai agama yang tertanam di benaknya, saya
rasa menjadi filtrat yang baik untuk menghalau diri terancam di jurang putus
asa. Oleh karena itu, tak hanya bangkit semata, tetapi saya juga berusaha untuk
memperbaiki diri untuk kualitas agama yang lebih baik. Harapannya, saya tidak
lagi labil ketika bermasalah.
Kini, keputusan ia
merantau guna melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi membuat
dirinya berada selangkah lebih maju dibandingkan kami yang terfokus di
Samarinda. Namun, ia menolak dengan tegas bahwa ia dianggap lebih baik. “Aku
cuma berusaha mempelajari apa pun tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Aku
sekadar ingin membuat bangga almamater pesantren. Masa muda tak semestinya berhenti
untuk belajar. Jika kita berhenti, hidup tak ada guna. Itu saja”.
Terima
kasih Imam. Semoga apa yang diimpikan dapat tercapai karena usaha mu saat ini.
Nah, untuk kita termasuk saya sendiri, yuk lekas bangkit dan kejar cita
setinggi-tingginya. Setuju?