Siang ini, matahari tersenyum merona, menyembulkan aura panas kepada makhluk-makhluk yang bernaung di muka bumi. Di salah satu sudut dunia, seorang gadis tengah berlari menerobos keluar dari ruang kuliah. Nampaknya, ia mulai terengah-engah, kehabisan energi. Belum lagi, teriknya matahari terasa menyengat di ubun-ubun kepala gadis itu. Beruntunglah, si gadis tiba juga di tempat tujuannya, perpustakaan kampus.
Setelah mengisi buku
tamu, gadis tersebut segera mengambil tempat duduk yang letaknya tak jauh dari
pintu masuk sembari membuka tasnya lalu mengeluarkan laptop. Tak berapa lama
kemudian, ia hanya menatap kosong laptop yang ada di hadapannya. Airin Dhawiyah,
nama gadis itu. Kini, dirinya tengah dilanda kebimbangan yang luar biasa.
Airin mendesah lemah.
Beberapa menit yang lalu, ia sengaja mengirimkan sebuah pesan pada seseorang di
sana, seorang pemuda dengan segala lakunya memberikan kesempatan bagi Airin
untuk memulai kembali meniti impian-impian yang pernah tenggelam. Syukurlah,
Airin mendapatkan restu darinya. Ya, Airin meminta izin pada orang tersebut
agar berkenan dijadikan karakter tokoh dalam cerita pendeknya kali ini. Namun,
masalahnya, Airin bingung memposisikan dirinya dalam cerita itu sebagai apa.
Bila hanya sebagai dirinya, Airin tak banyak tahu tentang pemuda tersebut.
Sedangkan, bila ia beranggapan sebagai pemuda itu, Airin harus tahu secara
detail seluk-beluk kehidupan si tokoh. Setidaknya, ia bisa mendapatkan beberapa
fakta yang ia butuhkan sesuai proporsi cerita. Tetapi, Airin menggeleng,
mustahil ia berada dalam posisi pemuda itu.
Hatinya miris. Padahal
Airin mengenal pemuda itu sejak empat tahun yang lalu tapi tetap saja ia merasa
dirinya kurang mengenal baik sosok tersebut. Airin jadi teringat kata-kata
seorang penulis terkenal, Mbak Helvy Tiana Rosa di akun facebook beliau
beberapa hari yang lalu.
“Kadang
kita merasa sangat mengenal seseorang. Namun, sesungguhnya tidak. Kita hanya
merasa mengenal lalu kenyataan menghempaskan kita pada hari-hari perih yang
harus kita pulihkan sendiri”.
Diam-diam, Airin setuju
dengan pendapat beliau. “Kita mungkin mengenal tapi belum tentu mengetahui,” bisiknya
dalam hati. Sebenarnya, ia tak perlu ambil pusing untuk membuat cerita akan
menjadi apa. Bukankah, ia yang menulisnya. Bukankah, ia yang bermain-main
dengan imajinasi dan khalayannya. Tapi tidak, tidak untuk cerita ini. Airin
ingin cerita ini hidup dengan realita yang ada. Cerita yang benar-benar memang
terjadi pada sosok yang digambarkannya bukan fiksi semata. Memang, tujuan
dirinya membuat cerpen ini untuk diikutkan pada ajang lomba bergengsi. Akan
tetapi, jauh di lubuk hatinya, Airin tulus mempersembahkan cerita ini untuk
pemuda tersebut. Airin hanya berkeinginan agar pemuda tersebut tahu bahwa
keberadaannya menjadi anugerah terindah bagi hidup Airin.
Wajah Airin kian lesu.
Pada akhirnya, tak ada hal apa pun yang dapat ia kerjakan. Ia memasukkan
kembali laptop yang sedari tadi menjadi bahan pelototannya. Lalu, beranjak
pergi, mencari ketenangan diri.
Langkahnya yang gontai
membimbingnya menuju pelataran masjid yang tak jauh dari kampusnya.
Bersegeralah Airin berwudhu, menyempatkan sejenak untuk shalat tahiyyatul
masjid lalu mengerjakan shalat sunah Duha. Airin bersyukur, waktu Duha belum
berakhir.
Bagi Airin, tiap-tiap
detik yang dilaluinya dengan bermunajat pada sang Khalik, mampu mengusir gundah
dan jemunya menapaki dunia yang digelutinya. Mengembalikan pikirannya menjadi
jernih seusai mengulum tangis di sela-sela kekhusyukan berdoa. Airin berharap,
dirinya bisa kembali seperti sedia kala agar ia dapat segera menyelesaikan
cerpen itu.
Jam di dinding masjid
menunjukkan pukul 11.30 WITA. Tak lama lagi, waktu untuk menunaikan shalat
Dzuhur akan tiba. Karenanya, Airin memutuskan untuk menetap lebih lama di dalam
masjid.
Mukena yang sedari tadi
membungkus tubuhnya, ia lepaskan dan dirapikannya sambil beranjak bangkit dari
posisi shalatnya. Airin beringsut perlahan-lahan, mencari letak yang nyaman
untuk beristirahat. Kemudian, ia memasukkan mukena ke dalam tas abu-abu
miliknya, dan bergantilah mukena itu menjadi beberapa lembar kertas putih dan
sebuah pena. Kali ini, Airin lebih memilih kedua benda tersebut untuk
menemaninya melanjutkan cerpen yang ia buat. “Lebih santai juga menenangkan”,
pikirnya dalam hati.
Di sela-sela pena
menggoreskan untaian kata-kata lembutnya, Airin terkenang akan masa lalunya.
Masa di mana, sosok pemuda tersebut pernah hadir dalam warna hidupnya. Saat
itu, saat ini juga di masa depan. Karena Airin tak akan pernah melupakan
keberadaan pemuda itu selama hidupnya.
Kala itu merupakan masa
pergantian kelas. Anak-anak seusia Airin kian berkeliaran mencari kelas
barunya. Ya, saat Airin menginjak kelas X IPA di semester II dan di sanalah, di
kelas itu, Airin mengenal pemuda tersebut untuk pertama kali.
Airin tak pernah
membayangkan bagaimana mungkin tubuhnya dengan ringan menyapa pemuda itu.
Padahal ia tahu, ia bisa saja menjadi sangat pemalu. Belum lagi, Airin harus
menghadapi teman-teman perempuannya yang berebut berkenalan dengan pemuda itu.
Airin terhenyak, ia baru sadar telah melewati kejadian konyol itu. Sejujurnya,
Airin bukan lah tipe yang mudah bergaul dengan orang termasuk para lelaki.
Namun, pada pemuda itu, Airin merasa sayang bila tak mengenalnya. Ada sesuatu
yang menggerakkan hatinya untuk bisa memahami lebih jauh kehidupan pemuda itu.
Saat itu, Airin merasa ingin menjadi teman terdekatnya secara tiba-tiba.
Nama pemuda itu Faiz.
Lengkapnya Faiz Azmi Sauqi. Ya, Faiz lah yang beberapa waktu lalu ia kontak.
Faiz juga lah yang membuat dirinya nelangsa dalam menulis cerita saat ini. Akan
tetapi, hanya pada Faiz lah, Airin harus mengakui, dirinya berani membumbungkan
segenap mimpinya dalam istana impian milik Faiz.
“Allahu Akbar….Allahu
Akbar…..”.
Airin tersentak dari
lamunannya. Nampaknya, adzan Dzuhur telah berkumandang. Sebaiknya, ia mesti
bersiap-siap untuk menunaikan shalat. Diliriknya lembaran kertas yang ada di genggaman
tangannya. Terlihat coretan-coretan yang berantakan mengisi lembaran kertas
itu. Sepertinya, jari-jemari Airin bekerja sangat baik selagi ia melamun.
Nanti, ia akan merevisi tulisan tersebut saat ia tiba di rumah. Sekarang, ia
mesti bersua dengan pencipta-Nya, Allah Azza Wa Jalla.
Tiara
menatap nanar di balik tirai jendela. Hujan masih saja mengguyur hingga petang
ini seolah menjawab hatinya yang tak henti menguraikan tetesan-tetesan bening
di matanya. Sungguh, di saat pikirannya jenuh seperti sekarang, tak khayal
Tiara menginginkan kehadiran sahabatnya lah yang sedikit demi sedikit bisa
mengikis gundahnya. Tapi, kini, ia harus berdiri sendiri. Oh, betapa rindunya
Tiara pada sahabat pelanginya, Rara, Ana, Lastri, Ali, Taufan, Randi, dan Ilham.
Ilham,
nama itu sontak membuat Tiara terkejut. Dihapusnya bulir mata yang tersisa di
pelupuk mata, lalu Tiara mulai mengingat Ilham. Ilham Prasetya, pemuda yang
pertama kali ia izinkan masuk dalam hidupnya. Tiara tersenyum miris. Bukan
maksud Tiara tiada berkenan menghadirkan orang lain dalam hidupnya, tapi Tiara
amatlah penutup. Ia tak mau orang lain mengetahui perjalanan takdirnya. Oleh
karena itu, sahabatnya pun dapat dihitung dengan jari. Namun, pada Ilham, Tiara
tak menemukan alasan apa pun untuk tak berbagi dengan pemuda itu. Meski
terkadang, Tiara selalu kalah ketika berdebat bersama Ilham.
Bagi
Tiara, sosok Ilham adalah sosok yang pintar, ramah, religius, juga memiliki
semangat yang tinggi. Tiap kali, Tiara menatap Ilham. Di saat itulah, Tiara
selalu dapat melihat pancaran bola mata Ilham berbinar-binar dengan cahayanya
yang tajam. Seakan-akan, Ilham ingin mengatakan “Aku adalah raja dari istana
impian ku. Tidak ada seorang pun yang boleh menghancurkan ataupun mengambil hak
itu dari tangan ku. Akan tetapi, jika ada yang mau meraih mimpinya, aku akan
bantu dirinya lewat sayap-sayap mimpi dari istana impian ku untuk
mewujudkannya”.
Dari
keenam sahabat pelangi juga Tiara, hanya Ilham lah yang kokoh menegakkan istana
impian di daratan yang asing. Ya, ketika Tiara juga sahabat lainnya memutuskan
melanjutkan kuliah di sini sedangkan Ilham merantau ke Australia untuk menuntut
ilmu. Masih membekas di benak Tiara kala Ilham mengiriminya sebuah pesan
sebagai tanda perpisahan. Padahal, saat itu, Tiara tengah menghadapi ujian
masuk perguruan tinggi. Hatinya bukan main tak karuan. Satu sisi memikirkan
ujian, sedang sisi lainnya memikirkan Ilham. Tiara tahu tak pantas ia
menghalangi Ilham membuat istana impiannya ada. Akan tetapi, masihkah ia bisa
menerima kebaikan dari pemuda itu meski rentang jarak yang jauh? Tiara diam, ia
bingung bagaimana mesti bersikap ketika bertemu Ilham. Jujur, bila bisa, ia tak
ingin bertemu Ilham sampai pemuda itu benar-benar pergi.
Sayangnya,
harapan Tiara tak terkabul. Pagi itu, ketika Tiara hendak melaksanakan shalat
Duha selagi menunggu waktu tes masuk perguruan tinggi tiba, ia bertemu Ilham di
pelataran masjid tanpa sengaja. Beberapa saat, keduanya terlibat obrolan yang
santai. Menurut Tiara, kebahagiaan yang ia rasa ketika melihat Ilham. Entah,
apakah sama yang Ilham rasakan saat bertemu dirinya. Tiara tak ingin tahu.
Pada
Ana, Tiara ceritakan pertemuan tak terduga itu. Lalu, muncullah sebongkah
kalimat indah “Cinta Ku Berlabuh di Masjid”. Kata-kata inilah yang acapkali
terlintas pada kedua sahabat tersebut sembari bersua di waktu senggang.
Walaupun, subjek yang dimaksud sebenarnya ditujukan buat Ilham. Akan tetapi,
Ana dan lainnya juga rupa cinta buat Tiara. Rupa dengan pesona ketulusan yang
dikirimkan oleh Allah SWT sebagai anugerah dalam langit kehidupan Tiara. Tiara
pernah mendengar kalimat bijak yang mengatakan “Cintailah orang-orang yang bisa
mendekatkan mu pada Tuhan mu”.
“Airin, ada telepon
untuk mu.”
“Iya, Bu. Sebentar”.
Mendengar panggilan
ibunya, Airin segera menghentikan kegiatan menulisnya. Ia istirahatkan sejenak
laptopnya kemudian bergegas menghampiri telepon di ruang tamu. Ternyata, teman
kuliahnya hendak bertanya perihal materi UAS yang akan diujikan mendatang.
Setengah jam kemudian, Airin telah berada pada posisinya semula. Sesaat, ia
mulai membuka-buka file untuk merehatkan pikiran dan matanya pun terhenti
karena sebuah hadis.
Dari
Abdullah bin Mughafal al Muzani ia berkata, Rasulullah bersabda,”Takutlah
kepada Allah dalam masalah sahabatku (beliau mengucapkannya) 2 x . Janganlah
kalian menjadikan mereka sebagai obyek kritikan sesudah meninggalku. Siapa
mencintai sahabatku maka demi rasa cintaku aku mencintainya dan barang siapa
membenci sahabatku maka demi rasa benciku aku membencinya. Siapa menganiaya sahabatku
maka ia telah menganiayaku, siapa menganiayaku berarti ia telah menganiaya
Allah. Allah pasti akan mengadzabnya.” [Tirmidzi 3962, dishahihkan Ibnu Hibban
dan disebutkan oleh al Haitsami dalam Mawaridu adh Dham’an 2284, Ahmad 4/87].
Tanpa sadar, Airin
menitikkan matanya. Betapa Rasulullah SAW digambarkan pada hadis itu senantiasa
menjaga persahabatan juga mencintai sahabat-sahabatnya. Dalam hati kecilnya
berbisik, “Mampukah aku?”.
Terutama pada Faiz.
Sebenarnya, Airin sadar ada perasaan lain terbesit di hatinya. Orang-orang pun
selalu mengatakan bahwa dirinya dan Faiz amatlah cocok. Tapi, Airin tak percaya
diri. “Aku khawatir tak akan bisa lagi melihat kebaikan dalam dirinya kalau di
antara kami ada sesuatu yang berbeda. Biarlah saat ini, aku menjadi sahabat
atau temannya saja. Agar aku sekiranya mampu menemaninya meraih mimpi”.
Selanjutnya, jika Allah berkenan menjodohkannya, Airin yakin pertemuan itu akan
bermuara dengan indah pada waktunya. Kalau pun tidak, Faiz tetaplah sahabat
bagi Airin.
Airin masih ingat benar
bagaimana ia bisa dekat dengan Faiz. Masa itu, mereka seringkali mengirimi
pesan satu sama lain. Kerap kali keduanya bercerita tentang pengalaman pribadi
atau mengobrol santai. Tak jarang, Airin selalu kalah bila Faiz mulai mengajak
berdebat atau menjahilinya. Kehadiran Faiz, juga membawanya mengenal Dika,
Rama, dan Anjar serta teman-teman lainnya. Satu sayap mimpi dari istana impian
Faiz telah Airin rasakan detik itu.
Airin sadar, ia tak
akan bisa terlalu dekat dengan Faiz. Faiz seperti bola emas yang senantiasa dikelilingi
oleh berbagai pendaran cahaya. Akan tetapi, Airin tetap bersyukur, ia masih
diberi kesempatan untuk mengikuti kisah hidup Faiz bahkan ketika pemuda itu
jatuh kemudian bangkit dari keterpurukannya.
Kisah tersebut bermula
ketika pengumuman kenaikan kelas di akhir semester II kelas X. Semua siswa
termasuk Airin merasakan harap-harap cemas. Bisakah mereka melanjutkan ke
jenjang selanjutnya atau kah tidak. Di sanalah, Airin melihat Faiz begitu
nelangsa. Di kelas sebelumnya, Faiz memang mendapat peringkat 3 besar. Namun,
entah mengapa, peringkatnya turun secara drastis. Baru kali itu, Airin melihat
raut wajah Faiz yang kecewa. Tetapi, Airin tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, di
saat yang bersamaan pula, Airin, Faiz, dan lainnya mesti mempersiapkan berbagai
lomba termasuk penelitian LPIR.
Airin tahu pasti kekecewaan
yang dirasakan Faiz sangat berat. Oleh karena itu, sebisa mungkin Airin kerap
membantu Faiz bila pemuda itu sedang kesusahan. Syukurlah, secercap nikmat
terangkai untuk Faiz. Ya, timnya terpilih sebagai finalis LPIR dan dirinya
ditunjuk untuk mewakili sekolah menjalani tahap akhir di Jakarta ketika itu.
Lagi-lagi, Faiz selalu
dikitari teman-temannya. Airin tentu saja ada di sana, meski hanya mampu mendukung
dari sorot yang jauh, tak terperhatikan. Selanjutnya, Airin akan menyempatkan
waktu untuk menelepon Faiz meski bukan dirinya yang berbicara melainkan Saskia
atau sekadar mengiriminya pesan penyemangat.
Airin tak menduga, Faiz
membelikannya sebuah buku seusai kepulangannya dari Jakarta. Itu sayap mimpi
kedua milik Faiz, menyadarkan bahwa Faiz tetap menganggap dirinya sebagai teman
walau tak seakrab dulu lagi. Sayap mimpi ketiga Faiz yang Airin temukan adalah binar
mata Faiz yang kembali cerah dan menampakkan sorot kecerdasan serta motivasi
yang begitu kuat. “Syukurlah, ia bisa
kembali dari keterpurukannya,” bisik Airin dalam hati.
Sesekali, Faiz akan
mengajaknya belajar bersama atau melakukan kegiatan lain yang sebenarnya bisa
Faiz lakukan bukan dengan dirinya. Pernah suatu ketika, Saskia memaksa Airin
untuk menemani dirinya dan Faiz pergi ke warnet. Airin kontan bingung. Ia hanya
mengambil sikap diam dan menuruti saja.
Dalam kurun waktu yang
relatif cepat, prestasi Faiz kembali menanjak kian tahun ke tahun. Faiz telah
menorehkan berbagai bentuk kekaguman kepada sekitarnya atas prestasi yang telah
ia capai. Airin kagum, ia salut dengan kegigihan Faiz melawan keterpurukannya. Faiz
mulai lagi mengokohkan istana impiannya dengan sayap-sayap mimpi yang lebih
kuat dan cemerlang.
Sayangnya, tak seperti
itu yang dialami Airin. Pertentangan dirinya dengan orang tuanya, tanggung
jawab yang begitu banyak baik tuntutan belajar ataupun organisasi yang
digelutinya sungguh membuat gadis mungil itu putus asa. Belum lagi, sikap cuek
yang tiba-tiba dilihatnya pada Faiz. Airin benar-benar kalut. Semestinya, ia
tak perlu merasakan hal itu. Tapi, sikap Faiz yang dingin membuat Airin jengah.
Airin tak bermaksud menganggu konsentrasi pemuda itu dalam belajar. Airin hanya
rindu. Rindu pada sahabat lelakinya yang dahulu selalu memiliki waktu untuk
berbagi cerita dengan dirinya. Airin cuma butuh kehadiran sahabatnya itu ketika
ia sedang dirundung masalah. Tapi, Airin menyerah. Sedikit demi sedikit, ia
membunuh harapannya yang besar pada Faiz.
Tetapi, Airin tetaplah
Airin. Walaupun keinginannya tak tercapai, ia masih saja memperhatikan Faiz
seperti biasa. Untung saja, ketika Faiz tak hadir dalam konflik Airin, Allah
mengutus sahabat pelangi lainnya untuk mendampingi gadis itu.
Detik demi detik, menit
demi menit, hari demi hari, Airin tertatih-tatih memulihkan kehidupannya tanpa
ada Faiz, Airin libatkan. Allah memang Maha Pendengar, Faiz mulai hadir lagi
dalam hidup Airin.
Peristiwa tersebut
dialami Airin kala dirinya tengah berselisih paham dengan Saskia ketika acara
LKO berlangsung. Hanya hal sepele, tapi bagi Airin yang mengerjakan tugas
tersebut hampir sendirian spontan membuat pikirannya kacau. Pada akhirnya,
ketika Airin berbicara dengan Faiz, pikiran Airin mulai tenang. Faiz juga mulai
menyapanya lagi. Adapula, saat Airin jatuh sakit. Dua kali Faiz datang
mengunjunginya di rumah sakit. Airin sama sekali tak menyangka Faiz akan
melakukan hal tersebut padanya. Padahal ia hanya meminta abang angkat sekaligus
sahabatnya, Anjar dengan tersirat dapat membawa Faiz menemui dirinya sekali
saja. Tak lebih.
Momen yang paling
dikenang Airin adalah kala keduanya tengah berbicara tentang masa depan dan
impian saat senja mulai terpancar di ufuk barat. “Kau ingin jadi apa?” tanya
Faiz pada Airin.
“Aku ingin menjadi
penulis”.
“Pasti bisa. Semangat.
Jangan pantang menyerah”.
Pembicaraan itulah yang
menjadi titik awal Airin mulai merenda impian yang sempat terlupa. Sayap mimpi
keempat yang diberikan Faiz kepada dirinya tanpa sadar. Sayap yang
menghembuskannya untuk terbang setinggi mungkin menggapai cita walau jalan yang
terbentang tak semulus pada kenyataannya. Dan pada Faiz lah, Airin hanya
mengungkapnya, tidak pada sahabat pelangi lainnya.
“Ilham, apakah kau ingat pada sahabat usang mu ini di kala sibuk mu?”.
Tiara gundah. Entah mengapa hatinya merasa rindu pada sahabat lelakinya
yang satu itu. Putus asa, ia mencoba melayangkan lagi pikirannya kembali menuju
alam impian indahnya dahulu.
Saat itu, dirinya, Ilham, Ali dan Taufan pergi bersama-sama ke toko
buku. Ia takjub betapa beraninya ia hanya seorang diri berada di sekeliling
mereka. Tapi, Tiara yakin, mereka pasti menjaga dirinya dengan baik.
Bukan Tiara namanya jika tak berlama-lama berkutat pada lautan buku.
Sedangkan Ali dan Taufan telah memperlihatkan gelagat hendak pergi. Tiara pikir
Ilham pasti akan pulang juga. Oleh karenanya, ketika sahabatnya pamit. Ia
berkata,”Ya, hati-hati. Mungkin sebentar lagi aku akan pulang. Sebaiknya aku di
sini saja selagi menunggu jemputan. Aku tidak apa-apa sendirian di sini”. Ali
dan Taufan tersenyum padanya. Kini, tinggal Tiara dan Ilham yang berada di sana.
“Aku masih ingin lihat-lihat”, kata Ilham pada Tiara. Tiara mengangguk.
“Kamu tak pulang. Sudah adzan maghrib. Nanti ketinggalan shalat,” kata
Tiara pada Ilham ketika keduanya tengah menunggu Tiara dijemput sang ayah.
“Tenang saja, jangan khawatir”, jawab Ilham. Tiara menggelengkan kepalanya. Ia
tak sanggup lagi memaksa pemuda itu untuk pulang. Pada akhirnya, Ilham baru mau
beranjak setelah pemuda itu memastikan kalau Tiara telah dijemput.
“Terima kasih ya Ilham, kamu mau menemani ku sampai aku pulang. Padahal,
semestinya tak perlu kamu lakukan itu”, bisik Tiara dalam hati. Dalam
perjalanan, Tiara menyempatkan untuk berterima kasih sekaligus memastikan Ilham
pulang dengan selamat. Dari perlakuan Ilham masa itu, Tiara makin yakin bahwa
pemuda itu benar-benar tulus melindunginya meski sikap dan tutur katanya tak
berjalan beriringan. Tiara tersenyum, Ilham memang pemuda yang baik.
Cukup! Tiara menyudahi kenangan nostalgianya. Hujan pun telah berhenti.
Tiara bangkit dan segera menyapa langit cerah di pekarangan rumah. Nampak
pelangi bertaut dengan sejuknya aroma dedaunan seusai hujan.
Hatinya mendamai. Tiara bergumam,”Aku percaya seusai hujan hadir pelangi
di langit ku. Aku cukup merasakan saja kehadirannya. Bukan kah telah ku
titipkan seutas mimpi dalam kepakan sayap istana impian mereka, Ilham, dan
kawan-kawan. Biarlah untuk saat ini, ku persiapkan bekal yang mapan lalu aku
akan mengejar mereka. Dan bila pertemuan itu telah tiba, aku akan mampu
merangkul mereka dengan bahagia”.
Rona mega jingga telah
berganti dengan rembulan malam dan ribuan bintang. Airin hempaskan tubuh
mungilnya ke dalam pelukan hangat sofa tebal di ruang tamu. Urat lelah nampak
menghiasi wajahnya. Namun, tak mampu menutupi kebahagiaan yang ia rasa saat
menyadari ia mampu menyelesaikan tulisannya sampai akhir. “Kisah yang penuh
harap” gumam Airin dalam hati.
“Terima kasih, Faiz.
Aku bersyukur telah bertemu dengan mu. Walau tak mampu mengenal mu dengan
dekat. Kau telah mengajarkan banyak hal kepada ku, tentang aku, tentang orang
lain, tentang kehidupan, cita-cita, dan juga diri-Nya, Allah SWT. Padamu, aku
kian berani bangkit menggapai istana impian ku saat ini hingga mendatang.
Terima kasih telah hadir di hidup ku”, isaknya haru.
Sebagai penutup
cerpennya, Airin sengaja membubuhkan syair dari Jalaludin Rumi.
“…….Berterima kasihlah kepada siapa pun yang datang….karena setiap tamu
yang dikirimkan dari atas sana sebagai pemandu mu”.
Sekali lagi, Airin
menampakkan senyuman kepuasannya setelah memastikan cerpen yang ia buat telah
selesai. Secepatnya, ia akan kirimkan cerpen ini kepada panitia lomba.
Sayangnya, matanya tak lagi dapat menahan kantuk yang begitu berat. Sebaiknya,
ia tunda esok pagi saja. Segalanya, ia rapikan lalu beranjak bangkit menuju kamar
mandi untuk berwudhu. Airin teringat bahwa dirinya belum menunaikan shalat
isya.
Diliriknya sebuah tas
mungil berisi sepasang mukena yang Faiz berikan pada Airin saat pemuda itu
kembali dari rantauannya. “Faiz, semoga kita dapat bertemu kembali”. Seusai
shalat, Airin terlelap indah dalam pembaringannya. Kini, gadis mungil itu mulai
menyongsong kejayaan istana impiannya yang berawal dari sayap mimpi seorang
Faiz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar