Jumat, 27 Mei 2011

Hidup itu Pilihan

Matahari pagi ini bersinar terik sekali, panasnya mampu membuat badan serasa terbakar habis. Apalagi, ditambah padatnya orang-orang berlalu-lalang yang memulai awal paginya dengan berbagai aktivitas. Tak heran, hawa terasa begitu panas dan membuat banyak orang gerah untuk berlama-lama berada di tengah-tengah lingkaran itu. Untunglah, awan-awan putih berbelas kasihan, memberikan perlindungan sedikit, kenyamanan dan kesejukan walaupun hanya sesaat.
            Namun, sepertinya, hal itu tak begitu dirisaukan oleh seseorang. Lebih tepatnya lagi, ia adalah seorang bocah laki-laki yang berwajah cantik, begitulah orang-orang menyebutnya. Umurnya sekitar 6 tahun. Ya, dialah Aranditya Pratama Putra. Hmm....seperti biasa, ia menjalani aktivitas paginya dengan penuh semangat. Akan tetapi, tampaknya kali ini, ia kelihatan begitu senang dan riangnya. Orang-orang di sekitarnya mulai bertanya-tanya, ”Ada apa ya dengan si Ara?”,gumam mereka dalam hati. Sayangnya, tak ada seorang pun yang berani menanyakannya pada si bocah yang dipanggil Ara oleh mereka.
            Walau mereka mengenal baik sosok Ara, tetapi mereka tak tahu pasti seperti apa kehidupan Ara sesungguhnya. Yang mereka tahu, Ara adalah bocah lelaki yang ramah, suka menolong, baik hati, dan suka tersenyum kepada semua orang. Sosok yang mampu membuat sekitarnya merasa nyaman. Tak jarang, para gadis bahkan ibu-ibu, dan para orang tua lainnya begitu mengaguminya. Meski begitu, masih ada saja segelintir orang yang tidak menyenanginya, mencemooh dia dengan perkataan kasar. “Ara itu bukan laki-laki. Masa ada laki-laki wajahnya cantik begitu. Jangan-jangan, dia menipu kita”, ungkap seseorang yang tak begitu suka akan kehadirannya. Memang, mereka mengakui, Ara adalah bocah lelaki yang cantik, bukan seperti kebanyakan anak lelaki. Namun, jangan salah, ia jauh lebih kuat, lebih hebat, dan lebih pintar dibanding anak laki-laki seumuran dengannya.
            Lain halnya dengan Ara, ia tampak tak begitu peduli akan pembicaraan orang-orang mengenai dirinya. Ia malah asyik berbicara sendiri dengan bunga-bunga dan tanaman yang ada di kebunnya.
            “Hey, tebak deh. Hari ini ada yang spesial lho?” gumamnya Ara pada tanamannya. “Hehehe....iya, kamu benar banget. Ayahku akan datang hari ini, beliau akan pulang dari tugasnya. Aku yakin, dia akan memberiku oleh-oleh yang bagus. Dan kamu tahu ga, beliau pasti akan memelukku sangat erat, sampai aku tak bisa bernafas. Oh....aku benar-benar merindukannya”, lanjutnya.
            Ketika ia asyik menekuni kegiatannya, dari dalam rumah, ibunya memanggil-manggil Ara. Tapi, Ara tak mendengar panggilan ibunya. Barulah, saat ibunya berteriak keras sekali, Ara tersentak kaget.
            “Ara, bantu Ibu membereskan rumah. Jangan terus-terusan berada di kebun mu. Sebentar lagi, Ayahmu akan datang. Lekaslah, kita harus segera bersiap-siap”, teriak sang Ibu yang berada di dalam rumah.
            “Iya, Bu. Lima menit lagi, Ara akan bantu Ibu. Tapi, Ara harus selesaikan dulu pekerjaan Ara”, jawab Ara pada ibunya.
            Ara pun bergegas menyelesaikan pekerjaannya di kebun. Setelah ia rasa, segalanya beres, ia segera berlari masuk ke dalam rumah, menemui ibunya yang tercinta.
            “Ada yang bisa kubantu, Bu?”, tanya sang anak pada ibunya.
            “Ibu sudah membersihkan semua ruangan, tinggal kamar mu dan ruang tamu saja. Jadi, tolong dibersihkan ya! Ibu harus menyiapkan makanan pembuka buat Ayahmu”, ibunya berkata sambil menatap wajah anaknya sebentar lalu kembali memasak.
            “Baiklah, Bu”, jawab Ara sambil memeluk ibunya. Ibunya tersenyum melihat tingkah laku anaknya ini, namun kembali ia berwajah suram, saling bersilih ganti seiring dengan gerakan kaki anaknya menuju tempat yang ia tadi maksudkan. Lalu, kembali melanjutkan pekerjaannya dan mencoba melupakan perasaan sedihnya.
            Saat ini, Ara hanya tinggal berdua bersama ibunya di sebuah rumah kecil yang sederhana. Sang Ayah kadang bersama mereka di rumah, tetapi kadang pula beliau  tidak pulang dan menghabiskan waktu bersama-sama dengan keluarganya tercinta, Ara dan ibunya. Ya, orang-orang tahu bahwa Ayah Ara adalah seorang perwira ABRI. Beliau selalu ditugaskan untuk pergi ke beberapa daerah, mengawasi dan memastikan keselamatan masyarakat daerah yang beliau tuju. Biasanya pun, Ayah Ara baru dapat pulang setelah 3 bulan atau mungkin lebih. Namun, kali ini, tak biasanya, beliau dapat pulang dari tugasnya dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, Ara tak dapat menyembunyikan perasaan senangnya itu.
            Baginya, sang Ayah adalah seorang yang istimewa dan patut dibanggakan. Kekuatannya, tindakannya, tatapan tajamnya yang menggambarkan beliau orang yang keras dan tegas, pendiriannya yang kuat. Ah, begitu banyak hal-hal yang istimewa pada diri ayahnya dan Ara tak mampu melukiskan semua itu dalam benaknya. Yang terpenting, yang ia pikirkan saat ini, ia rindu sekali ingin bertemu ayahnya. Ia ingin meminta ayahnya untuk mengajarinya teknik-teknik baru tentang kemiliteran atau bermain adu fisik bersama sang ayah dan banyak lagi kegiatan lainnya yang ia ingin lakukan bersama idolanya itu. Sebab, semenjak sang ayah pergi bertugas, ibunya melarang ia untuk berlatih fisik atau semacamnya. Justru ibunya menginginkan ia untuk belajar memasak, membersihkan ruangan, mencuci, yah semacam pekerjaan yang dilakukan seorang anak perempuan untuk menjadi seorang wanita sejati. Padahal, ia tak begitu suka dengan pekerjaan tersebut, ia lebih menyukai pekerjaan yang dilakukan seorang laki-laki. Entahlah, ia juga tidak tahu alasan pastinya, ibunya melarang ia melakukan pekerjaan laki-laki. Padahal, ia adalah bocah laki-laki. Walau ia dikerumuni dengan berbagai macam pertanyaan tentang hal itu, ia tak ingin menanyakannya pada ibunya. Ia tak ingin lagi membenani ibunya dengan masalahnya.
            Walau ia sangat mengidolakan ayahnya, rasa cintanya pada ibunya tak kalah jauh dibanding kecintaannya pada sang ayah. Ya, bagaimana pun juga, ibunya adalah seorang wanita yang melahirkan dan mengasuhnya. Makanya, ia berusaha semampunya untuk menyenangkan ibunya. Ia tahu, ibunya banyak menyimpan rahasia dan selalu memendam sendiri masalahnya. Mengapa? Sebab, ia selalu melihat, jika ibunya sedang sendiri, ia sering menangis. Jujur, Ara ingin menghibur, tapi ia bingung harus berbuat apa. Meski, ia masih kecil, tapi ia tahu bahwa ibunya sangat menderita. Untuk itulah, ia tak pernah berhenti berharap supaya ia bisa melihat ibunya dapat tersenyum bahagia dengan tulus bukan dengan senyum palsunya yang selalu ibunya perlihatkan saat berada di tengah-tengah masyarakat.
            Hampir dua jam, ia membereskan ruang tamu dan kamarnya. Tak terasa,  jam sudah menunjukkan pukul empat sore. “Sejam lagi, Ayah akan datang”, gumamnya dalam hati. Selesai berberes-beres ria, ia langsung melesat dengan cepat menemui ibunya.
            “Bu, Ara sudah selesai beres-beresnya. Ara pergi mandi dulu ya, Bu.”, ucapnya pada ibunya. “Ya, Anakku”, jawab ibunya singkat. Dilihatnya, ibunya telah selesai berbenah diri, terlihat dari penampilannya yang nampak anggun dan mempesona dengan balutan gaun birunya.  Ara tersenyum. Ya, Ara harus mengakui bahwa ibunya adalah wanita paling cantik yang pernah ia temukan dalam hidupnya.
            Ketika dentang jam rumahnya berbunyi, Ara tersadar kembali dari lamunannya. Ia pun buru-buru pergi mandi. Tak sampai setengah jam, dirinya nampak terlihat rapi dan bersih dengan kemeja dan celana panjang favoritnya. Tinggal 20 detik lagi, jam mendekati pukul lima sore. Mendekati detik ke 5, ia mulai menghitung dengan deg-degan. “Lima....empat....tiga....dua....satu!!!”, soraknya dalam hati. Bersamaan dengan usainya ia menghitung detik-detik itu, bel rumahnya pun berbunyi. Ara dan ibunya bergegas pergi menuju pintu rumah. Ibunya lah yang membukakan pintu. Pintu rumah pun terbuka. Tak kuasa, Ara pun menghamburkan diri dan menghempaskan tubuhnya, memeluk erat-erat ayah tercinta. Setelah itu, bergantian ibunya lah yang memeluk sang ayah.
            Momen salam hangat itu ternyata masih berlanjut dengan adanya makan malam yang spesial. Terlihat suasana keluarga yang harmonis mengisi relung-relung rumah kecil mereka. Usai makan malam, sang Ayah mengajak Ara pergi ke ruang tamu untuk sekedar melepas penat sambil berbincang. Ara sebenarnya ingin membantu ibunya membereskan sisa-sisa makan malam tadi, tapi ia terdesak karena permintaan ayahnya yang menginginkan Ara dapat menemani sang Ayah. Ketika, dua orang tersebut sudah berada di ruang tamu, maka dimulailah percakapan antata mereka.
            “Ara, anakku. Apa saja yang kamu lakukan selama ayahmu ini sedang bertugas?” tanya ayahnya.
            “Seperti biasa, setiap pagi aku menyempatkan untuk olahraga pagi, berlatih fisik, dll seperti apa yang pernah ayah ajarkan kepadaku. Tapi.......”, berhenti sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang bagus untuk disampaikan pada ayahnya.
“Tapi apa, Ara?” tanya ayahnya lagi pada Ara.
            “Ehmmm.... ada yang berbeda kali ini, Yah. Ara mengerjakan sesuatu hal yang tak biasa untuk dikerjakan oleh seorang laki-laki, sesuatu yang sangat berbeda bagi Ara”, lanjut Ara.
            “Maksudnya apa, Anakku?” tanya sang ayah dengan nada yang mulai keras. “Jangan-jangan, ibumu menyuruh mu menjadi seorang perempuan. Benar begitu!!!”, teriak ayahnya lebih keras lagi.
            “Iya, Yah”, sambil mengangguk.
            “Kau adalah seorang anak laki-laki. Tak pantas bersikap seperti perempuan. Mulai saat ini, kamu tak boleh lagi mengerjakan kegiatan yang dilakukan perempuan, apa pun itu namanya. Ayah akan bicara dengan ibumu nanti mengenai hal ini”, tegas ayahnya.
            Mendengar ayahnya berbicara seperti itu, Ara hanya diam, ia tak ingin berkata-kata lagi. Padahal, sebenarnya ia ingin mengatakan pada ayahnya bahwa ia mulai menyukai pekerjaan yang seharusnya tak pantas buat dirinya karena ia adalah bocah lelaki sejati.
            Pembicaraan itu pun terhenti seiring bergulirnya waktu menuju malam yang dingin dan sepi. Ara terlihat lelah, ia ingin segera beristirahat di kamarnya. Oleh karenanya, ia berpamitan pada sang ayah. Ibunya pun nampaknya selesai berbenah, terlihat ketika Ara berpapasan dengan ibunya saat Ara keluar dari ruang tamu. Ia pun meminta izin untuk segera pergi tidur pada ibunya.
            “Selamat malam, Anakku. Selamat tidur. Moga, mimpi indah”, ibunya berkata dengan lembut.
            Ara tersenyum manis sambil memeluk ibunya dengan erat. Ibunya pun membalasnya dengan memberikan ia kecupan selamat malam yang hangat dan mampu menentramkan hatinya. Ah....sekali lagi, Ara merasakan hari ini merupakan hari yang teramat istimewa. Ia berjanji momen spesial ini tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
            Seiring bergulirnya waktu dari tahun ke tahun, hari ke hari, Ara pun menjelma menjadi sosok Ara yang dewasa. Ia bukan lagi, Ara si bocah laki-laki kecil, ia tak lagi melakukan permainan anak kecil walaupun tetap saja, ia sering menemani anak-anak kecil di sekitar rumahnya. Kini Ara tumbuh menjadi pemuda yang tampan, badannya tegak, kekar, namun bersih dan putih. Wajahnya cerah namun tatapan matanya sangat tajam. Ya seperti yang dimiliki ayahnya. Wah...wah...wah...makin bertambah saja, orang-orang yang mengaguminya. Tapi, balik lagi ke Ara, ia malah semakin acuh dengan pendapat orang tentangnya.
            Baginya, ia merasa cukup menikmati kehidupannya, seperti itu juga lah suasana hatinya saat ini. Suasana pagi terasa menyejukkan untuknya, tak seperti hari-hari biasanya dimana terik matahari terasa menyengat tubuh. Ia kelihatan gembira. Mengapa? Karena hari ini adalah saatnya ia akan masuk SMA. Orang-orang mungkin bertanya-tanya, kok ya bisa, Ara langsung masuk SMA, padahal ia tidak pernah mencium sama sekali bau dunia sekolah.
            Jawabannya, karena usia Ara sudah 15 tahun lebih. Selain itu, alasan ia tak mengikuti program Wajib Belajar 9 tahun, karena sang Ayah menyuruhnya mengikuti home schooling, yang programnya sepadan dengan kualitas pendidikan umum. Namun, mengapa kemudian Ara ingin sekali menekuni dunia sekolah, sebab ia ingin menemukan banyak teman dan menemui banyak pengalaman yang mengasyikkan bersama orang lain. Untunglah, orang tuanya mau mengabulkan permintaan itu.
            Pukul 06.30 pagi, Ara segera bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Kali ini, ia harus ditemani kedua orang tuanya. Sebab yang tahu-menahu perihal sekolahnya hanya orang tuanya saja, ia sama sekali tak mengetahui apa pun. Namun, ia percaya orang tuanya pasti akan memilihkan ia sekolah yang terbagus buat dirinya.
Pukul 07.00, keluarga itu berangkat dengan mengendarai mobil dinas sang Ayah. Sang Ayah menjadi pengemudinya didampingi istrinya yang juga ibunya Ara. Sedangkan Ara sendiri berada di barisan bangku belakang. Sementara kedua orang tuanya asyik menikmati perjalanan pagi ini, ia membaca-baca buku yang ada dihadapannya untuk menghilangkan kegugupannya saat ia nanti sudah menginjak sekolah barunya.
Lewat 15 menit, mereka sudah tiba di depan gerbang sekolah. Terlihat banyak sekali anak-anak seusia Ara berkeliaran sambil bercengkerama atau bersenda gurau bersama teman-teman mereka. Lalu, bersama-sama mereka memasuki sebuah ruangan yang ia ketahui bahwa ruangan itu namanya kelas.
“Ayolah Ara. Kamu jangan terlalu banyak melamun. Nanti kamu ketinggalan pelajaran pertamamu,” kata ayahnya. “Iya, Yah,” jawab Ara.
Ara kemudian mengikuti langkah orang tuanya memasuki sebuah ruangan yang nyaman. Mereka disambut dengan ramah oleh seorang guru dan kepala sekolah. Selagi orang tuanya berbincang dengan kepala sekolah, ia bersama seorang guru keluar dari ruangan. Ara akan diantarkan menuju kelas barunya. Sepanjang perjalanan, Ara tak banyak bicara tapi ia tahu jika guru yang bersamanya itu adalah wali kelasnya. Dalam hati, ia berkata,”Sepertinya aku akan menyukai guruku”.
Tak berapa lama, tibalah mereka di sebuah kelas. Di depan kelas itu, terpampang jelas tulisan X-1. Ara dan gurunya memasuki kelas tersebut. Ketika berada dalam kelas, Ara merasa takjub sekaligus gugup. Gurunya memperkenalkannya pada anak-anak di kelas itu.
“Anak-anak. Hari ini, kalian mendapatkan teman baru. Nah, Ara, tolong perkenalkan diri kamu ke teman-temanmu,” gurunya berkata.
Perkataan gurunya seakan-akan menyihir semua yang ada di dalamnya. Semua orang di kelas itu hening seketika. Tatapan mereka semua tertuju hanya pada Ara. Melihat reaksi mereka, Ara semakin gugup. Namun, ia mencoba menarik napasnya pelan-pelan lalu menghembuskannya. Barulah, ia kemudian membuka mulutnya dan berbicara.
“Perkenalkan, nama ku Ara. Lebih lengkapnya, Aranditya Pratama Putra. Sebelumnya, ku ikut home schooling, jadi ga pernah ngerasain gimana rasanya sekolah. Makanya, aku mohon bantuan kalian ya,” Ara mengakhiri pembicaraannya sambil tersenyum. Tanpa terduga, respon mereka begitu hangat. Salah satunya berkata,”Hehehehe....ya pasti dong”.
Setelah acara perkenalan itu, Ara dipersilahkan duduk. Ia memilih bangku yang kosong. Tepatnya, tempat duduknya berhadapan dengan jendela dan mengarah ke meja guru. Untunglah, ia tak duduk sendirian. Ia duduk bersama seorang cowok, yang ia ketahui dari perkenalan super singkat, namanya Fariz.
Untuk beberapa lama, Ara benar-benar memusatkan perhatiannya pada pelajaran di kelasnya. Ia kelihatan begitu serius dan antusias sehingga tanpa sadar ia membuat semua orang yang ada di kelasnya begitu terbius akan pesona Ara. Namun, setelah selesai pelajaran, barulah Ara dikerumuni teman-teman barunya. Dalam waktu singkat, Ara terlihat mulai akrab dengan teman-teman sekelasnya. Ia tak lagi canggung sebab ia merasa diterima dengan hangat.
            Maka dimulailah, babak-babak petualangan baru Ara. Bersama dengan teman-temanya, Ara menjalani kehidupannya dengan penuh gairah. Selama ini, ia berpikir, ia tak butuh orang lain dalam menjalani hidup. Oleh sebab itulah, ia tak suka bergaul dengan orang-orang di sekitar rumahnya. Hanya sesekali waktu saja, Ara terlihat bersama orang lain. Itu pun, mereka tak begitu mengenal pasti Ara. Namun, pandangannya mulai berubah saat ia berada di lingkaran kebahagiaan itu.
            Bahkan, ia memperluas lagi pergaulannya dengan orang lain. Ia mulai terbuka dengan orang lain. Tapi, hari-hari yang dilewatinya itu, tidak akan ia nikmati sendirian. Fariz, yang kini menjadi teman dekatnya, hampir setiap saat selalu bersama dengan dia. Merka berdua menghabiskan hari-hari dengan bersama-sama Hingga tak jarang, ia dan Fariz sering digosipkan pacaran. Pernah saking penasarannya, Ara bertanya pada Fariz.
            “Riz, mu dengar ga sih, kalau ada gosip kita pacaran. Mereka dapat info dari mana sih. Heran deh, padahal mereka tahu, kalau kita ini sama-sama laki-laki. Terus, ko bisa ya ada gosip kayak gitu”, tanya Ara pada sohibnya.
            “Karena...kamu itu cantik. Dengarin aku Ara, kamu itu kayaknya beda ma yang lainnya. Iya sih, kamu itu seorang laki-laki. Tapi, kamu itu cantik banget bahkan lebih cantik dari teman-teman cewek di sekolah kita. Kayak kamu itu bukan laki-laki aja tapi lebih mirip perempuan. Mungkin kalau kamu itu, benar-benar perempuan, sudah dari awal aku naksir kamu,” cerocos temannya itu tanpa terduga.
            “Tapi, kamu tahu kan Riz, kalau aku laki-laki sejati. Huuh...aku kesal banget jadinya”.
            “Ya, kalau gitu. Mending cuek aja deh dari pada buat kamu suntuk berat”.
            “Benar juga katamu, Riz. Yup, saran mu ku terima”, sahut Ara puas.
            Begitulah singkatnya obrolan antar Fariz dan Ara. Setelah kejadian itu, Ara tampak cuek saja mendengar gosip tentang dirinya mulai menyebar luas. Namun, tak disangka, kehidupan Ara yang bahagia itu mulai terusik. Jika saat lalu, ia digosipkan pacaran dengan sohibnya itu. Sekarang, beredar rumor di kalangan teman-temannya bahwa sebenarnya ia adalah seorang perempuan.
            Awalnya, ia tak begitu menghiraukan rumor itu karena ia tahu benar bahwa dirinya adalah seorang laki-laki. Tak mungkin, dalam sekejap saja ia berubah menjadi seorang perempuan. Ia yakin sekali bahwa rumor itu disebarkan karena tidak menyukai kehadiran Ara. Karena tahu bahwa Ara adalah pemuda yang disukai banyak orang. Ara masih ingat betul, ayahnya pernah berkata,”Ara, kamu tak usah menghiraukan perkataan buruk orang lain tentang mu. Mereka berbuat seperti itu karena mereka merasa iri, kamu lebih hebat dibandingkan mereka. Oleh sebab itulah, mereka menjelek-jelekkan dirimu di hadapan orang banyak. Tapi tak usah kau pikirkan, semakin banyak orang membicarakan tentang mu berarti kehadiranmu begitu penting sekali”. Dan kata-kata ayahnya itu selalu terngiang-ngiang di pikirannya. Ia berusaha sebisa mungkin untuk mengacuhkan rumor itu. Tapi, ia tak mampu, ia semakin terusik dan ragu akan keaslian dirinya kalau ia adalah seorang laki-laki.
            Ara kembali murung. Ia mulai menjauh dari teman-temannya. Bahkan, ia pun jarang sekali masuk sekolah karena ia tak ingin mendengar rumor itu lagi. Di samping itu,  alasan Ara sering murung, karena kini ia sering mendengar pertengkaran-pertengkaran kecil antara ayah dan ibunya. Tapi, Ara tak tahu apa yang mereka debatkan. Semuanya seakan-akan berubah. Ayahnya sekarang sering marah-marah tak jelas, hal yang sepele pun bisa membuatnya marah besar. Berbeda dengan ibunya, Ara semakin sedih melihat keadaan ibunya. Wajah ibunya kini selalu pucat dan muram, menghapus kecantikannya yang alami. Ara menghela napas ,”Sungguh, aku merindukan kenangan masa kecilku. Ia lebih indah dibandingkan dengan keadaan ku yang sekarang ini”.
            Hanya Fariz lah kini yang selalu menghibur dan menemaninya. Ia begitu setia menemani Ara yang sedang kalut. Hari-harinya, Ara isi dengan mencurahkan semua perasaan gundahnya itu pada sahabat setianya. Dan Ara benar-benar lega, dapat melupakan masalahnya walau pun hanya sebentar.
            Tanpa terduga, suatu hari merupakan puncak dari segala-galanya bagi Ara. Ceritanya saat itu, ketika Ara sedang berganti pakaian, ia melihat perubahan lain nampak dari tubuhnya. Ya, ciri-ciri perubahan yang nampak dari seorang perempuan ketika beranjak dewasa. Ia tahu itu karena ia pernah bertanya sekali dengan ibunya saat ia masih seorang bocah. Seketika itu pula lah, Ara menjadi ragu. Ara mencoba menceritakan hal itu kepada ibunya walau ia tahu, tak seharusnya membebani ibunya dengan masalahnya. Namun, bagaimana lagi, bagi Ara, itulah satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya mengenai jati diri Ara. Tapi, yang didapat Ara hanya sikap diam ibunya. Ibunya tak ingin menjawab pertanyaan Ara. Ia hanya berkata,” Ara, kau harus percaya dengan dirimu. Jika kamu yakin bahwa kamu adalah laki-laki maka kamu adalah laki-laki tapi jika kamu yakin kamu seorang perempuan, jadikan dirimu adalah perempuan. Anakku, takdir mu, kamu lah yang menentukan. Pilihlah pilihan hidup mu sendiri. Ibu percaya kamu akan mendapatkan jawabannya”.
            Dan jawaban itu pun telah ia temukan karena ia mencuri dengar pembicaraan orang tuanya diam-diam. “Ara terlihat murung sekali. Ia ragu ia adalah seorang laki-laki”, kata ibunya.
            “Ara memang seorang laki-laki”, ayahnya menjawab dengan tegas.
            “Sudahlah, kita tidak usah lagi menyimpan jati diri Ara yang sebenarnya bahwa ia......”.
            “Sudah kukatakan kepadamu, Ara adalah anak lelaki ku. Titik!!!”.
            Ara tersentak kaget mendengar pembicaraan orang tuanya itu. Sebenarnya, ia tak ingin lagi mendengarnya namun tubuhnya menolak ia unuk pergi. Ia pun kembali mendengarkan.
            “Tidak, kamu membohongi semuanya. Aku yang melahirkannya. Aku melahirkan seorang anak PEREMPUAN. Dan kau mencoba mengubahnya menjadi seorang laki-laki untuk memuaskan nafsu mu agar dapat mewarisi kekuasaan mu itu”, teriak ibunya histeris.
            Tanpa sadar, air mata Ara jatuh seketika. Akhirnya ia tahu bahwa ia seorang perempuan. Bahwa rumor yang mengatakan ia perempuan adalah benar. Dan bahwa jati dirinya itu, dirahasiakan rapat-rapat oleh kedua orang tuanya. Kini semuanya terjawab sudah, apa alasan ibunya selalu menangis dan inti masalah yang selalu menjadi persolan kedua orang tuanya itu. Saat itu juga, ayah dan ibunya menyadari kehadiran Ara. Mereka kaget. Ara berlari menghindar dari keduanya.
            “Kalau ada apa-apa dengannya, kau harus bertanggung jawab karena ia sekarang tahu bahwa ia adalah perempuan dan ia darah dagingmu”, tegas ibu Ara.
            Ayah Ara hanya diam. Bersama dengan istrinya, ia berusaha mencari Ara. Tapi nyatanya, mereka tak menemukan sama sekali keberadaan Ara. Hingga malam tiba, barulah seorang warga memberitahukan bahwa Ara kecelakaan dan ia sedang dirawat di rumah sakit terdekat. Ibu Ara menangis sedangkan ayahnya kelihatan syok berat.
            Kemudian, mereka pun segera pergi ke rumah sakit tempat Ara dirawat. Setelah meminta info, mereka akhirnya menemukan ruangan yang dimaksud. Di sana, terlihat Fariz menunggu di sana. Fariz tahu bahwa yang datang adalah orang tuanya Ara. Secara singkat, ia memperkenalkan dirinya.
            “Bagaimana keadaan Ara, Riz?”, tanya Ibu Ara akhirnya. “Ia belum siuman, Tante”, jawab Fariz. “Bagaimana Ara bisa mengalami kecelakaan? Kamu bersamanya kan?”, tanya ayah Ara. “ Iya, Om. Saya bersama dengan dia. Waktu itu, ia mengajak saya untuk membeli sebuah jilbab. Saat saya menanyakan tujuannya, ia tak mau memberi tahu saya. Selesai membeli jilbab, kami hendak pulang. Namu tiba-tiba dari arah berlawanan, ada motor yang melaju dengan cepat kemudian menabrak Ara. Saya selamat karena Ara sempat menjauhkan saya. Kalau Om dan Tante ingin melihat keadaan Ara, mari kita masuk saja. Oh ya, ini Tante, jilbab milik Ara”, jawab Ara panjang lebar sambil menyerahkan sebuah jilbab manis ke tangan ibu Ara.
            Ketika masuk ruangan tersebut, nampak Ara terbaring lemah tak berdaya. Mereka bertiga menunggu Ara siuman. Tak ada pembicaraan di antara mereka bertiga. Perlahan-lahan, Ara siuman. Ia tersenyum ketka pertama kali membuka matanya ia menemukan orang tuanya bersama Fariz. “Saya akan memanggil dokter untuk memastikan Ara selamat”, kata Fariz.
            Sepeninggal Fariz, Ara mencoba berbicara ,”Ayah, maafkan aku karena aku bukan anak laki-laki seperti yang ayah inginkan. Karena sebenarnya Ara adalah seorang perempuan. Aku mohon ayah, terima lah aku sebagai anak perempuan mu. Aku sangat menyayangi ayah dan ibu. Seleruh hidup ku ingin kupersembahkan semuanya untuk ayah dan ibu. Yah, kalau ayah memang menyayangi ku, anggaplah aku sebagai anak perempuan bukan anak laki-laki. Terimalah takdir anakmu ini sebagai perempuan”, kata Ara.
            “Ara, maafkan ayah ya. Ayah sudah membuat mu susah. Ayah selalu membuat mu menderita. Memperlakukan mu sebagai laki-laki hanya untuk kepuasan hati ayah padahal kamu tak tahu apa-apa. Iya, anakku. Ayah ikhlas, ayah menerima mu sebagai putri ayah yang ayah sayangi”.
            “Alhamdulillah. Kalau begitu, pakaikanlah jilbab yang Ara beli di kepala Ara sebagai tanda ayah menerima ku sebagai putri ayah. Karena waktu Ara tak akan lama lagi”. “Tidak, kau harus tetap hidup. Ayah akan mengenakan jilbab ini di kepalamu”, sahut ayahnya sambil pelan-pelan memakaikan ke kepala anaknya sebuah jilbab. Ara pun terlihat canti nan anggun mengenakan jilbab itu. Terakhir, ia berpesan pada ayahnya,” Yah, jaga ibu dengan baik ya. Jangan bertengkar lagi. Ara selalu mendoakan ayah dan ibu. Ara menyayangi ayah dan ibu. Dan ibu, Ara harap Ara dapat melihat ibu tersenyum tulus. Walau Ara nanti takkan ada lagi. Selamat tinggal, Yah, Ibu”.
            Tangisan pun meledak kencang dari ibunya. Ibunya memeluk Ara erat-erat sambil meraung-raung. Ayah Ara sedih melihat keadaan istrinya. Ia mencoba menenangkan istrinya. Ketika Fariz datang bersama dokter, Ara sudah meninggal dunia. Namun, Fariz akhirnya tahu bahwa sahabatnya itu adalah seorang perempuan.
            Setahun kematian Ara, hubungan orang tua Ara makin membaik. Orang-orang pun kini sudah tahu jika Ara, seorang perempuan. Mereka tidak membenci kenyataan itu karena mereka tidak menilai Ara itu laki-laki atau perempuan tapi melihat ketulusan dan kebaikan Ara selama ini. Ibu Ara pun bersyukur, dengan kematian putrinya itu, ayah Ara sadar akan kekhilafannya. “Ara, ibu pernah bilang kau harus memilih untuk kehidupanmu. Ibu bahagia, di akhir hayatmu, kau memilih menjadi seorang perempuan. Namun, ibu juga sedih, kau memilih kematian sebagai pilihan terakhirmu untuk menyadarkan ayahmu. Tapi, ibu percaya, kamu pasti bahagia di sana, Anakku. Terima kasih. Ibu sangat menyayangimu”, lirih ibu Ara dalam keheningan.
            Matahari kembali bersinar terik sekali. Orang-orang pun terlihat sibuk menjalani rutinitasnya pagi ini. Hawa panas pun merebak ke seluruh penjuru. Namun yang berbeda kali ini, suasana itu hampa tanpa kehadiran Aranditya Permata Putri, seorang gadis yang pernah menjadi laki-laki.
THE END

Cinta Sang Sahabat

“Dear diary, pagi ini ku melihatnya lagi. Ia tampak anggun dengan balutan sweater biru mudanya. Tatapan matanya yang tajam seakan mencerminkan ketangguhannya dalam menghadapi remuk redam kehidupan masa kini. Ya, setidaknya itu menurutku. Namun, di balik pesona yang terpancar darinya, ku tahu, ia menyimpan begitu banyak kesedihan dalam memori ingatannya. Aku mengerti namun aku tak mampu untuk menjelaskannya. Ia begitu tegar meski dirinya beradanya di tengah-tengah lingkaran keramaian orang sekitarnya. Akan tetapi, raut kesedihan itu mencuat jelas tanpa bisa ia sembunyikan. Ingin ku berada di sampingnya, menghiburnya, menyemangatinya namun ku tahu ku tak kan bisa. Tak kan pernah bisa …….”
Phuuh……aku menghela napas panjang. Ku letakkan pena ku tak menentu. Sekali lagi, ku baca tulisan yang telah ku buat tadi. Kemudian, aku termenung. Lalu berganti menghela napas panjang, begitu berulang-ulang ku lakukan. Aku bimbang, mengapa pikiranku dipenuhi oleh bayangannya. Padahal, ku tak begitu mengenalnya namun sosoknya kini mampu menyentakkan hati ku.
Tak berselang lama, ringtone HP ku berdering keras, menyadarkanku kembali menatap kenyataan dunia yang pahit ini. Dengan enggan, ku angkat telepon itu,“Hai dear, lagi ngapain?” kata seseorang nun jauh di sana. Namun, belum sempat ku mengatakan sepatah kata, ia berkata lagi,“Huh…aku tahu, pasti lagi memikirkan Rasya. Iiih….aku kesal sama Aya. Aya kan cewek, masa yang dipikirkan cewek kayak Rasya sih. Mending Dani atau siapa lah ….”
Kali ini aku melengos kesal. Dengan cepat, aku menjawab,”Jikalau daku lagi memikirkan Rasya, memangnya apa yang kan kau perbuat pada diri ku?”. “Huh…Aya mah, Rasya kan tidak pernah memikirkan Aya. Mengapa Aya harus repot memikirkan dia?” lanjutnya. “Ya ampun, bukankah ku sudah menjelaskan sedetail-detailnya tentang hal ini,”sungutku dalam hati. “Kau kan sudah tahu, Rim. Perlukah diri ku mengulangnya kembali?” kata ku kesal. “Hehehe…iya iya, Rima tahu kok. Ngomong-ngomong, ku telpon Aya buat apa ya? Kok aku bisa lupa?”katanya dengan santai. “Ri.....ma……!!!” teriakku padanya di telepon. “Oh ya baru ingat, Rima cuma mau kasih kabar kalau besok Lani mengundang anak-anak kelas XII IPA 1 untuk merayakan ultahnya. Dah ya ….. honey,” katanya dengan cepat sambil menutup telpon dari tempatnya.
Huh…..anak ini cerdik, tahu saja kalau ia tak cepat-cepat menutup telpon, mungkin aku akan naik darah. Dalam hati, aku tersenyum lucu mengingat tingkahnya tadi.
Ku rasakan malam beranjak larut. Tiba-tiba saja, aku merasakan kantuk yang luar biasa. Ku tutup diary kecilku yang tadi kubiarkan terbuka dengan rapi. Lalu, aku pun pergi ke tempat tidur. Sesaat sebelum ku membangun negeri mimpiku, ku memanjatkan doa sejenak, seraya berkata,”Tuhan, tolong hamba-Mu dalam menemukan permasalahan yang terjadi pada sosok gadis yang selalu terngiang-ngiang dalam benakku ini. Amin.”
Esoknya, Ku pikir pagi akan menyapaku dengan riangnya. Tapi nyatanya tidak, yang ku dapat malah,”Aya…..bangun. Sudah jam enam. Nanti kamu telat lagi berangkat ke sekolahnya.” Perlu beberapa menit agar ku bisa pulih dan kembali menatap dunia. Setelah aku yakin diriku sepenuhnya telah sadar, segera ku beringsut dari tempat tidur. Dengan tergesa-gesa, ku raih handuk dan melesat cepat menuju kamar mandi. Barulah satu setengah jam kemudian, aku selesai bersiap-siap. Kusambar sepotong roti, memberikan ucapan selamat pagi pada seluruh keluarga, lalu melaju bagai jet menuju mobil.
”Sudah siap, Non,” kata Pak Arman pada ku. Aku menganguk dengan mantap sambil mengacungkan jempol setinggi-tingginya. Tanpa basa-basi, Pak Arman segera tancap gas. Rasanya, aku seperti berpacu dengan waktu. Beruntung, aku memiliki Pak Arman yang siap sedia jika aku sedang terburu-buru seperti keadaan ku saat ini. Tepat pukul 07.15, aku telah tiba di sekolah. Tak sampai 5 menit, aku sudah berada di bangku kelas ku. Rima pun menyambutku dengan hangat sambil berkata,”Untung kau tepat waktu. Sepuluh menit lagi, bel akan berbunyi dan kau mungkin tak kan luput dari sanksi yang diberikan Bu Salma.” Aku hanya tersenyum kecil sebagai jawaban atas perkataannya tadi.
Setengah hari, ku lalui dengan sangat membosankan. Persoalannya adalah aku tak bisa berkonsentrasi dengan pelajaran-pelajaran di kelas hari ini, justru pikiran ku kini semakin tak menentu mengingat sosoknya yang terasa jauh bagiku. Syukurlah, bel istirahat berbunyi. Ku hamburkan diriku keluar kelas menuju kebun di belakang sekolah. Sejenak kupejamkan mata sambil menikmati ketenangan dan kesejukan yang disuguhkan alam padaku. Namun, di saat rasa tenang menghampiriku dengan lembut, terdengar olehku isak tangis yang mendayu. Ku buka mata ku lebar-lebar dan terbelalak ketika aku mengetahui si pelaku. ”Rasya......,”pekik ku dalam hati. Ingin aku mendatanginya namun ku urungkan niat ku. Kelihatannya ia pun ingin segera pergi setelah tangis yang ia keluarkan sesaat tadi. Untunglah, Rasya tak melihat sosok ku. Detik itu pula, aku menyadari bahwa Rasya berada dalam kekalutan yang amat dalam.
Semenjak itu, beberapa kali kupergoki Rasya menangis di tempat itu. Sebenarnya, aku ingin mendatanginya lalu menghiburnya namun entah mengapa hasrat ku itu tak juga terlaksana. Akhirnya ku pun sering mengeluh tak jelas. Gerak-gerik ku yang berbeda dari biasanya itu akhirnya terbaca juga oleh Rima, sahabat karib ku.
”Ay, boleh tanya sesuatu?” katanya suatu hari. Aku mengangguk. ”Beberapa hari ini, Rima perhatikan Aya seperti menyembunyikan sesuatu. Aya juga jadi sering pergi ke kebun, lalu ketika tiba di kelas langsung melamun. Memangnya Aya punya masalah?” katanya lagi penuh selidik. Aku terdiam sebentar, mengumpulkan tenaga sambil merangkai kata demi kata agar mampu dipahami oleh Rima.
”Rima.....ternyata dugaanku tentang Rasya selama ini tidak meleset. Akhir-akhir ini, ku seringkali memergokinya menangis sendirian di kebun belakang sekolah. Aku sedih melihatnya seperti itu meski aku memang tak mengenalnya lebih dekat. Aku ingin menghiburnya, mengajaknya untuk berbagi kisah dengan ku tapi tubuhku seakan mematung saat aku melihatnya. Aku bingung, tak tahu musti bagaimana. Apa yang harus ku lakukan, Rima?” tanya ku pelan. Aku menunggu agak lama jawaban dari Rima. Ia tampak serius menanggapi pertanyaan ku tadi. ”Hmm....kalau begitu, Rima punya ide. Bagaimana kalau Aya berusaha mengenal Rasya lebih dekat. Tenang saja, Rima tetap bantu Aya. Biar Rima yang mencari berbagai info tentang Rasya supaya Aya tak canggung dengan Rasya. Bagaimana, setuju?” ungkapnya dengan semangat. Aku pun mengiyakan rencananya itu.
Keesokan harinya, Rima datang menghampiriku dengan setumpuk kertas yang lumayan banyak. Ia meletakkan semua kertas itu di depan meja ku. Aku terbengong beberapa saat. Tak ku sangka, Rima cukup cekatan. Rasanya baru kemarin, ia mengatakan rencananya pada ku. Namun, hasil kerjanya tiba-tiba saja sudah di depan mata ku. Aku terkagum-kagum dibuatnya. Akan tetapi, Rima tak memberiku kesempatan untuk diam. Dengan gesit, ia menjelaskan perihal kertas tersebut dengan detail. Mau tidak mau, aku harus mendengarkan ceramahnya selama setengah jam non stop. ”Ya, sudah mengerti kan”, katanya mengakhiri ocehannya itu. ”Hah...apa Rim. Aku ngerti apa”, jawabku kaget. Hehehe.....maafkan aku, Rima, sejenak tadi aku melamun. ”Huh....Aya mah jahat. Jadi dari tadi, Rima bicara, tidak didengarkan ya. Iih....Rima kesal ma Aya”, sahutnya sambil merengut. ”Iya, iya, ku dengar apa yang Rima bicarakan. Tadi ku lagi mikir sebentar. Hmm...oke lah sekarang giliran ku yang beraksi,” kata ku dengan semangat. ”Tapi Ay, berhubung Rima sudah kerja keras, traktir Rima ya. Biasa mie pangsit buatan bu kantin. Boleh ya, Ay,” rengeknya pada ku. Aku terpaku sejenak dan tawa ku pun meledak tak tertahankan. Rima pun memasang muka masam ketika dia melihat ku tertawa gara-gara dia. Aneh-aneh saja ulahnya, walau sempit masih saja punya kesempatan. Ya sudahlah, tak seberapa ku harus mentraktir Rima. Toh, dia sudah membantu ku.
”Huuh.....dasar orang lemah,” sungut ku dalam hati. Seharian ini, aku mengomeli diri ku tiada henti. Betapa tak berdayanya aku saat aku berusaha mendekati Rasya. Seharusnya, aku tidak canggung, tapi nyatanya aku mematung ketika berpapasan dengannya. Alhasil, hingga detik ini, aku sama sekali tak bisa mengenal Rasya. Hiks...hiks....hiks, ringis ku dalam hati.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Akhirnya ku punya kesempatan untuk mengenal pribadi Rasya. Mau tahu? Ceritanya begini, saat itu aku sedang menghadapi ulangan mendadak di kelas. Ketika kami sudah tenggelam dalam pikiran masing-masing untuk segera menyelesaikan soal ulangan, kami dikagetkan dengan suara ketokan pintu yang pelan. Di saat itulah, muncul wajah manis Rasya di balik pintu. Ia meminta izin pada Pak Soni, guru Matematika agar aku diizinkan untuk keluar kelas. Pak Soni mempersilahkan aku keluar dari kelas, untungnya aku telah menjawab semua soal tersebut.
Segera setelah itu, Rasya dan aku berjalan berdampingan menuju ruang BK. Katanya, Bu Erika ingin berbicara pada kami berdua. Ku rasakan kecanggungan tercipta di antara kami berdua sepanjang perjalanan menuju ruang BK itu, oleh karenanya, kami berdua hanya bisa diam. Kami pun tiba di sana hanya beberapa menit. Di ruangan tersebut, cukup lama juga, kami berbicara dengan Bu Erika. Dari pembicaraan itu, aku bisa menyimpulkan bahwa sekolah mengirmkan aku dan Rasya untuk mewakili lomba menulis cerpen remaja tingkat SMA/MA se-derajat. Wah... betapa senangnya hati ku. Aku tak menduga, aku bisa mengikuti lomba bersama-sama dengan orang yang ku kagumi selama ini.
Memang pada awal pertemuan itu, rasa canggung masih menghinggapi kami. Namun, karena intensitas pertemuan yang mengharuskan kami sering berdiskusi, kekakuan itu pun mulai mencair bagai es yang meleleh. Ternyata, mengenal Rasya itu merupakan anugrah yang terindah bagiku. Di sampingnya, aku merasakan kehangatan akan sebuah persahabatan. Ia tidak hanya cantik, pintar, dan berbakat. Ia juga orang yang sangat peduli dengan sesama. Hal itu ia buktikan dengan beberapa karya goresan tangannya yang mampu membuat orang terpana karenanya. Mungkin itu lah yang membuat banyak orang ingin selalu berada di dekatnya. Gara-gara kedekatan itu juga lah, ku lihat Rasya mulai tampak bersemangat dan ceria. Bersama Rima, aku mulai menjalin tali persahabatan dengan Rasya.
Awalnya ku pikir, Dewi Fortuna akan terus mendampinginya, memberikan keberuntungan yang indah padanya. Tapi kenyataanya, hal itu berbanding terbalik dengan apa yang Rasya rasakan saat ini. Kebahagiaan yang ketika itu mulai terpancar berkilauan kini perlahan-lahan mulai redup. Terhempas oleh badai yang datang bertubi-tubi. Hal itu berawal dari tersebar luasnya pemberitaan mengenai sang Ayah yang tertangkap polisi dikarenakan terlibat dalam kasus penggelapan dana perusahaan mitra beliau. Belum lagi, ditambah dengan konflik keluarga yang merebak luas ke segala masyarakat. Maklumlah, keluarga Rasya adalah keluarga enterpreneur, oleh karenanya segala sesuatu yang terjadi pada keluarga Rasya sudah seperti kebutuhan umum.
Akibat pemberitaan tersebut, satu per satu, orang-orang pun mulai menjauhi dan mengucilkan Rasya, tak terkecuali teman-temannya terdekatnya. Kini mereka semua menyingkir seakan ingin menghakimi Rasya layaknya penjahat yang panta jats diberi hukuman. Dada ku terasa sesak melihat kondisi Rasya yang seperti itu. Untuk itulah, waktu istirahat kupergunakan untuk bertatap muka dengannya. Namun, batang hidungnya tak juga kelihatan di mana-mana. Aku panik sekaligus bingung, tak tahu mesti mencari ke mana keberadaan Rasya. Sesaat, ku mencoba menenangkan diri. Kemudian, aku berteriak,” Aku tahu di mana dia berada.”
Secepat kilat, ku berlari menuju tempatnya berada. Namun, sesampainya ku di sana, terlihat suatu keanehan yang tergambar jelas di mata ku. Aku segera mendatanginya, salah satu tangan ku meraih tangannya dan mengenggamnya dengan erat. Satu tangan ku lagi mencoba melepaskan benda yang sedari tadi diperhatikannya lalu ku hempaskan benda itu ke tanah. ”Hentikan,” desakku padanya. Ia tak menjawab. Namun, tubuhnya memberontak hendak melepaskan diri dari ku. Aku pun semakin menguatkan genggamanku. Tak berapa lama, desakan tubuhnya mulai melemah. Perlahan, ku perlemahkan eratnya tanganku, tak khayal, ia pun jatuh tersungkur. Air mata mengalir deras di pelupuk matanya tanpa ku duga. Aku ikut terduduk mencoba mendengarkannya.
”Aku tak kuat lagi. Apa salah ku pada mereka? Aku berusaha menjadi yang terbaik buat mereka? Tapi mengapa mereka tak mengerti keadaan ku. Rasanya aku ingin mengakhiri hidupku saat ini juga,” katanya tersedu-sedu. Plak.....aku menampar tepat di pipinya. ”Apa pantas perkataan itu keluar dari mulut seorang Rasya? Tidak. Rasya yang ku tahu, ia tak kan pernah gentar menghadapi sepelik apa pun masalah dalam hidupnya. Ia selalu tersenyum meski menyakitkan. Dan yang sekarang di hadapan ku bukanlah Rasya yang ku kenal,” kata ku dengan tegas.
”Kau mengerti apa tentang ku. Kamu tidak tahu apa-apa. Kamu dan mereka sama saja, selalu memanfaatkanku. Bersikap baik di depan ku jika kalian benar-benar membutuhkanku. Aku sudah melakukan seperti yang kalian mau. Aku hanya ingin dimengerti, diperhatikan sama seperti yang lainnya. Tapi, mengapa selalu saja pada akhirnya aku merasa sendiri, terkungkung dalam kesepian? Apa aku tak pantas mendapatkannya?” katanya lirih. Hati ku perih mendengarnya berbicara seperti itu. Tak kuasa, air mata ku menetes menyaksikan ketidakberdayaan sosoknya.
”Tak semua orang bersikap seperti yang Rasya bayangkan. Mungkin, saat itu memang waktunya Rasya dekat sama mereka dengan harapan agar mereka juga bisa populer lalu meninggalkan Rasya begitu saja. Tapi sungguh, banyak orang-orang yang menyayangi Rasya meski tak bisa berada di dekat Rasya. Sya, kamu tak akan sendirian. Rasya masih punya orang tua, keluarga, bahkan penggemar karya-karya Rasya di luar sana. Mereka semua memperhatikan mu walau terkadang tak bisa sempurna pada kenyataanya. Kalau pun, tak berhasil juga, Rasya musti ingat, Allah Swt selalu bersama kita. Jadikan Ia sebagai penyokong hidup mu. Sungguh, hatimu pasti akan tenang,” kata ku panjang lebar.
Ku pandangi wajahnya, tetesan air mata itu kini pudar. Perlahan, senyumnya mengembang dengan hangat. ”Terima kasih, Ay. Hati ku agak tenang setelah mendengarkan mu,” balasnya dengan lembut. Aku hanya membalasnya dengan anggukan.
            Suasana pun kembali hening. Ku pun mencoba menikmati sejuknya udara alam. Dalam keheningan, terdengar sayup Rasya berkumandang. ”Aya, mau kah kamu jadi sahabat ku?” tanyanya setengah berbisik padaku. ”Rasya, rasya, tak usah kau bertanya seperti itu pun, aku memang ingin menjadi sahabat mu sebab ku mengagumi mu,” jawabku jelas. Tak ada jawaban terdengar dari mulutnya. Sepertinya kami berdua sudah terhanyut oleh kenikmatan alam yang kami rasakan. Namun hal itu tak bertahan lama sebab sekonyong-konyong terdengar langkah kaki mendekat pada kami lalu dengan lantang berkata,” Woi, bangun. Ngapain tidur-tiduran di sini. Kotor tahu!” pekiknya. Dalam sekejap, mata ku membelalak.
            ”Rima......................!” teriakku kesal. Rima pun menyambut kekesalan ku dengan senyumannya yang khas. Tak kusangka, gara-gara hal itu juga lah, pertama kalinya ku melihat tawa Rasya yang begitu ceria. ”Syukurlah, ia sudah lepas dari belenggu penderitaannya,” kata ku dalam hati. Sekarang dan yang akan datang, tak akan kutemukan lagi, Rasya dengan wajah sedihnya melainkan wajah segarnya yang begitu bersemangat. Mengapa? Sebab kini, aku dan Rima akan terus mendampinginya.
            Beberapa tahun kemudian.....
            ”Kak Aya, lihat deh. Vaya baru saja beli novel baru. Ceritanya tentang persahabatan. Pokoknya seru deh, Ka,” kata adikku mengebu-gebu. ”Oh, memangnya judul apa?” tanyaku padanya. Vaya pun dengan cekatan memperlihatkan novel itu di depanku. Aku pun tersenyum karenanya sambil meninggalkannya yang terbengong-benbarigong melihat tingkahku. ”Lho, kok Kak Aya pergi. Senyum-senyum tak jelas lagi. Ka Aya, ada apa? Tunggu Ka!” teriaknya sambil mengejar ku.
            Tak ku hiraukan panggilannya. Biarlah ia menjadi penasaran karenanya. Sebab alasan yang tak perlu Vaya tahu bahwa novel yang ia tunjukkan pada ku adalah sesuatu yang ku kenal dan menjadi harta berharga ku. Ya, novel itulah yang Rasya tulis sebagai penggambarannya tentang persahabatan antara aku, Rima, dan juga dia. Hingga kini pun, persahabatan itu terus terjalin dengan erat.
            Sementara itu, masih ku lihat, Vaya mengejar ku sambil memegang kuat novel yang baru ia beli. Judul novel itu pun tampak jelas terbaca oleh ku, ” Cinta Sang Sahabat”. Ya, akhir kisah yang menyenangkan untuk dikenang selamanya.