Jumat, 27 Mei 2011

Hidup itu Pilihan

Matahari pagi ini bersinar terik sekali, panasnya mampu membuat badan serasa terbakar habis. Apalagi, ditambah padatnya orang-orang berlalu-lalang yang memulai awal paginya dengan berbagai aktivitas. Tak heran, hawa terasa begitu panas dan membuat banyak orang gerah untuk berlama-lama berada di tengah-tengah lingkaran itu. Untunglah, awan-awan putih berbelas kasihan, memberikan perlindungan sedikit, kenyamanan dan kesejukan walaupun hanya sesaat.
            Namun, sepertinya, hal itu tak begitu dirisaukan oleh seseorang. Lebih tepatnya lagi, ia adalah seorang bocah laki-laki yang berwajah cantik, begitulah orang-orang menyebutnya. Umurnya sekitar 6 tahun. Ya, dialah Aranditya Pratama Putra. Hmm....seperti biasa, ia menjalani aktivitas paginya dengan penuh semangat. Akan tetapi, tampaknya kali ini, ia kelihatan begitu senang dan riangnya. Orang-orang di sekitarnya mulai bertanya-tanya, ”Ada apa ya dengan si Ara?”,gumam mereka dalam hati. Sayangnya, tak ada seorang pun yang berani menanyakannya pada si bocah yang dipanggil Ara oleh mereka.
            Walau mereka mengenal baik sosok Ara, tetapi mereka tak tahu pasti seperti apa kehidupan Ara sesungguhnya. Yang mereka tahu, Ara adalah bocah lelaki yang ramah, suka menolong, baik hati, dan suka tersenyum kepada semua orang. Sosok yang mampu membuat sekitarnya merasa nyaman. Tak jarang, para gadis bahkan ibu-ibu, dan para orang tua lainnya begitu mengaguminya. Meski begitu, masih ada saja segelintir orang yang tidak menyenanginya, mencemooh dia dengan perkataan kasar. “Ara itu bukan laki-laki. Masa ada laki-laki wajahnya cantik begitu. Jangan-jangan, dia menipu kita”, ungkap seseorang yang tak begitu suka akan kehadirannya. Memang, mereka mengakui, Ara adalah bocah lelaki yang cantik, bukan seperti kebanyakan anak lelaki. Namun, jangan salah, ia jauh lebih kuat, lebih hebat, dan lebih pintar dibanding anak laki-laki seumuran dengannya.
            Lain halnya dengan Ara, ia tampak tak begitu peduli akan pembicaraan orang-orang mengenai dirinya. Ia malah asyik berbicara sendiri dengan bunga-bunga dan tanaman yang ada di kebunnya.
            “Hey, tebak deh. Hari ini ada yang spesial lho?” gumamnya Ara pada tanamannya. “Hehehe....iya, kamu benar banget. Ayahku akan datang hari ini, beliau akan pulang dari tugasnya. Aku yakin, dia akan memberiku oleh-oleh yang bagus. Dan kamu tahu ga, beliau pasti akan memelukku sangat erat, sampai aku tak bisa bernafas. Oh....aku benar-benar merindukannya”, lanjutnya.
            Ketika ia asyik menekuni kegiatannya, dari dalam rumah, ibunya memanggil-manggil Ara. Tapi, Ara tak mendengar panggilan ibunya. Barulah, saat ibunya berteriak keras sekali, Ara tersentak kaget.
            “Ara, bantu Ibu membereskan rumah. Jangan terus-terusan berada di kebun mu. Sebentar lagi, Ayahmu akan datang. Lekaslah, kita harus segera bersiap-siap”, teriak sang Ibu yang berada di dalam rumah.
            “Iya, Bu. Lima menit lagi, Ara akan bantu Ibu. Tapi, Ara harus selesaikan dulu pekerjaan Ara”, jawab Ara pada ibunya.
            Ara pun bergegas menyelesaikan pekerjaannya di kebun. Setelah ia rasa, segalanya beres, ia segera berlari masuk ke dalam rumah, menemui ibunya yang tercinta.
            “Ada yang bisa kubantu, Bu?”, tanya sang anak pada ibunya.
            “Ibu sudah membersihkan semua ruangan, tinggal kamar mu dan ruang tamu saja. Jadi, tolong dibersihkan ya! Ibu harus menyiapkan makanan pembuka buat Ayahmu”, ibunya berkata sambil menatap wajah anaknya sebentar lalu kembali memasak.
            “Baiklah, Bu”, jawab Ara sambil memeluk ibunya. Ibunya tersenyum melihat tingkah laku anaknya ini, namun kembali ia berwajah suram, saling bersilih ganti seiring dengan gerakan kaki anaknya menuju tempat yang ia tadi maksudkan. Lalu, kembali melanjutkan pekerjaannya dan mencoba melupakan perasaan sedihnya.
            Saat ini, Ara hanya tinggal berdua bersama ibunya di sebuah rumah kecil yang sederhana. Sang Ayah kadang bersama mereka di rumah, tetapi kadang pula beliau  tidak pulang dan menghabiskan waktu bersama-sama dengan keluarganya tercinta, Ara dan ibunya. Ya, orang-orang tahu bahwa Ayah Ara adalah seorang perwira ABRI. Beliau selalu ditugaskan untuk pergi ke beberapa daerah, mengawasi dan memastikan keselamatan masyarakat daerah yang beliau tuju. Biasanya pun, Ayah Ara baru dapat pulang setelah 3 bulan atau mungkin lebih. Namun, kali ini, tak biasanya, beliau dapat pulang dari tugasnya dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, Ara tak dapat menyembunyikan perasaan senangnya itu.
            Baginya, sang Ayah adalah seorang yang istimewa dan patut dibanggakan. Kekuatannya, tindakannya, tatapan tajamnya yang menggambarkan beliau orang yang keras dan tegas, pendiriannya yang kuat. Ah, begitu banyak hal-hal yang istimewa pada diri ayahnya dan Ara tak mampu melukiskan semua itu dalam benaknya. Yang terpenting, yang ia pikirkan saat ini, ia rindu sekali ingin bertemu ayahnya. Ia ingin meminta ayahnya untuk mengajarinya teknik-teknik baru tentang kemiliteran atau bermain adu fisik bersama sang ayah dan banyak lagi kegiatan lainnya yang ia ingin lakukan bersama idolanya itu. Sebab, semenjak sang ayah pergi bertugas, ibunya melarang ia untuk berlatih fisik atau semacamnya. Justru ibunya menginginkan ia untuk belajar memasak, membersihkan ruangan, mencuci, yah semacam pekerjaan yang dilakukan seorang anak perempuan untuk menjadi seorang wanita sejati. Padahal, ia tak begitu suka dengan pekerjaan tersebut, ia lebih menyukai pekerjaan yang dilakukan seorang laki-laki. Entahlah, ia juga tidak tahu alasan pastinya, ibunya melarang ia melakukan pekerjaan laki-laki. Padahal, ia adalah bocah laki-laki. Walau ia dikerumuni dengan berbagai macam pertanyaan tentang hal itu, ia tak ingin menanyakannya pada ibunya. Ia tak ingin lagi membenani ibunya dengan masalahnya.
            Walau ia sangat mengidolakan ayahnya, rasa cintanya pada ibunya tak kalah jauh dibanding kecintaannya pada sang ayah. Ya, bagaimana pun juga, ibunya adalah seorang wanita yang melahirkan dan mengasuhnya. Makanya, ia berusaha semampunya untuk menyenangkan ibunya. Ia tahu, ibunya banyak menyimpan rahasia dan selalu memendam sendiri masalahnya. Mengapa? Sebab, ia selalu melihat, jika ibunya sedang sendiri, ia sering menangis. Jujur, Ara ingin menghibur, tapi ia bingung harus berbuat apa. Meski, ia masih kecil, tapi ia tahu bahwa ibunya sangat menderita. Untuk itulah, ia tak pernah berhenti berharap supaya ia bisa melihat ibunya dapat tersenyum bahagia dengan tulus bukan dengan senyum palsunya yang selalu ibunya perlihatkan saat berada di tengah-tengah masyarakat.
            Hampir dua jam, ia membereskan ruang tamu dan kamarnya. Tak terasa,  jam sudah menunjukkan pukul empat sore. “Sejam lagi, Ayah akan datang”, gumamnya dalam hati. Selesai berberes-beres ria, ia langsung melesat dengan cepat menemui ibunya.
            “Bu, Ara sudah selesai beres-beresnya. Ara pergi mandi dulu ya, Bu.”, ucapnya pada ibunya. “Ya, Anakku”, jawab ibunya singkat. Dilihatnya, ibunya telah selesai berbenah diri, terlihat dari penampilannya yang nampak anggun dan mempesona dengan balutan gaun birunya.  Ara tersenyum. Ya, Ara harus mengakui bahwa ibunya adalah wanita paling cantik yang pernah ia temukan dalam hidupnya.
            Ketika dentang jam rumahnya berbunyi, Ara tersadar kembali dari lamunannya. Ia pun buru-buru pergi mandi. Tak sampai setengah jam, dirinya nampak terlihat rapi dan bersih dengan kemeja dan celana panjang favoritnya. Tinggal 20 detik lagi, jam mendekati pukul lima sore. Mendekati detik ke 5, ia mulai menghitung dengan deg-degan. “Lima....empat....tiga....dua....satu!!!”, soraknya dalam hati. Bersamaan dengan usainya ia menghitung detik-detik itu, bel rumahnya pun berbunyi. Ara dan ibunya bergegas pergi menuju pintu rumah. Ibunya lah yang membukakan pintu. Pintu rumah pun terbuka. Tak kuasa, Ara pun menghamburkan diri dan menghempaskan tubuhnya, memeluk erat-erat ayah tercinta. Setelah itu, bergantian ibunya lah yang memeluk sang ayah.
            Momen salam hangat itu ternyata masih berlanjut dengan adanya makan malam yang spesial. Terlihat suasana keluarga yang harmonis mengisi relung-relung rumah kecil mereka. Usai makan malam, sang Ayah mengajak Ara pergi ke ruang tamu untuk sekedar melepas penat sambil berbincang. Ara sebenarnya ingin membantu ibunya membereskan sisa-sisa makan malam tadi, tapi ia terdesak karena permintaan ayahnya yang menginginkan Ara dapat menemani sang Ayah. Ketika, dua orang tersebut sudah berada di ruang tamu, maka dimulailah percakapan antata mereka.
            “Ara, anakku. Apa saja yang kamu lakukan selama ayahmu ini sedang bertugas?” tanya ayahnya.
            “Seperti biasa, setiap pagi aku menyempatkan untuk olahraga pagi, berlatih fisik, dll seperti apa yang pernah ayah ajarkan kepadaku. Tapi.......”, berhenti sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang bagus untuk disampaikan pada ayahnya.
“Tapi apa, Ara?” tanya ayahnya lagi pada Ara.
            “Ehmmm.... ada yang berbeda kali ini, Yah. Ara mengerjakan sesuatu hal yang tak biasa untuk dikerjakan oleh seorang laki-laki, sesuatu yang sangat berbeda bagi Ara”, lanjut Ara.
            “Maksudnya apa, Anakku?” tanya sang ayah dengan nada yang mulai keras. “Jangan-jangan, ibumu menyuruh mu menjadi seorang perempuan. Benar begitu!!!”, teriak ayahnya lebih keras lagi.
            “Iya, Yah”, sambil mengangguk.
            “Kau adalah seorang anak laki-laki. Tak pantas bersikap seperti perempuan. Mulai saat ini, kamu tak boleh lagi mengerjakan kegiatan yang dilakukan perempuan, apa pun itu namanya. Ayah akan bicara dengan ibumu nanti mengenai hal ini”, tegas ayahnya.
            Mendengar ayahnya berbicara seperti itu, Ara hanya diam, ia tak ingin berkata-kata lagi. Padahal, sebenarnya ia ingin mengatakan pada ayahnya bahwa ia mulai menyukai pekerjaan yang seharusnya tak pantas buat dirinya karena ia adalah bocah lelaki sejati.
            Pembicaraan itu pun terhenti seiring bergulirnya waktu menuju malam yang dingin dan sepi. Ara terlihat lelah, ia ingin segera beristirahat di kamarnya. Oleh karenanya, ia berpamitan pada sang ayah. Ibunya pun nampaknya selesai berbenah, terlihat ketika Ara berpapasan dengan ibunya saat Ara keluar dari ruang tamu. Ia pun meminta izin untuk segera pergi tidur pada ibunya.
            “Selamat malam, Anakku. Selamat tidur. Moga, mimpi indah”, ibunya berkata dengan lembut.
            Ara tersenyum manis sambil memeluk ibunya dengan erat. Ibunya pun membalasnya dengan memberikan ia kecupan selamat malam yang hangat dan mampu menentramkan hatinya. Ah....sekali lagi, Ara merasakan hari ini merupakan hari yang teramat istimewa. Ia berjanji momen spesial ini tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
            Seiring bergulirnya waktu dari tahun ke tahun, hari ke hari, Ara pun menjelma menjadi sosok Ara yang dewasa. Ia bukan lagi, Ara si bocah laki-laki kecil, ia tak lagi melakukan permainan anak kecil walaupun tetap saja, ia sering menemani anak-anak kecil di sekitar rumahnya. Kini Ara tumbuh menjadi pemuda yang tampan, badannya tegak, kekar, namun bersih dan putih. Wajahnya cerah namun tatapan matanya sangat tajam. Ya seperti yang dimiliki ayahnya. Wah...wah...wah...makin bertambah saja, orang-orang yang mengaguminya. Tapi, balik lagi ke Ara, ia malah semakin acuh dengan pendapat orang tentangnya.
            Baginya, ia merasa cukup menikmati kehidupannya, seperti itu juga lah suasana hatinya saat ini. Suasana pagi terasa menyejukkan untuknya, tak seperti hari-hari biasanya dimana terik matahari terasa menyengat tubuh. Ia kelihatan gembira. Mengapa? Karena hari ini adalah saatnya ia akan masuk SMA. Orang-orang mungkin bertanya-tanya, kok ya bisa, Ara langsung masuk SMA, padahal ia tidak pernah mencium sama sekali bau dunia sekolah.
            Jawabannya, karena usia Ara sudah 15 tahun lebih. Selain itu, alasan ia tak mengikuti program Wajib Belajar 9 tahun, karena sang Ayah menyuruhnya mengikuti home schooling, yang programnya sepadan dengan kualitas pendidikan umum. Namun, mengapa kemudian Ara ingin sekali menekuni dunia sekolah, sebab ia ingin menemukan banyak teman dan menemui banyak pengalaman yang mengasyikkan bersama orang lain. Untunglah, orang tuanya mau mengabulkan permintaan itu.
            Pukul 06.30 pagi, Ara segera bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Kali ini, ia harus ditemani kedua orang tuanya. Sebab yang tahu-menahu perihal sekolahnya hanya orang tuanya saja, ia sama sekali tak mengetahui apa pun. Namun, ia percaya orang tuanya pasti akan memilihkan ia sekolah yang terbagus buat dirinya.
Pukul 07.00, keluarga itu berangkat dengan mengendarai mobil dinas sang Ayah. Sang Ayah menjadi pengemudinya didampingi istrinya yang juga ibunya Ara. Sedangkan Ara sendiri berada di barisan bangku belakang. Sementara kedua orang tuanya asyik menikmati perjalanan pagi ini, ia membaca-baca buku yang ada dihadapannya untuk menghilangkan kegugupannya saat ia nanti sudah menginjak sekolah barunya.
Lewat 15 menit, mereka sudah tiba di depan gerbang sekolah. Terlihat banyak sekali anak-anak seusia Ara berkeliaran sambil bercengkerama atau bersenda gurau bersama teman-teman mereka. Lalu, bersama-sama mereka memasuki sebuah ruangan yang ia ketahui bahwa ruangan itu namanya kelas.
“Ayolah Ara. Kamu jangan terlalu banyak melamun. Nanti kamu ketinggalan pelajaran pertamamu,” kata ayahnya. “Iya, Yah,” jawab Ara.
Ara kemudian mengikuti langkah orang tuanya memasuki sebuah ruangan yang nyaman. Mereka disambut dengan ramah oleh seorang guru dan kepala sekolah. Selagi orang tuanya berbincang dengan kepala sekolah, ia bersama seorang guru keluar dari ruangan. Ara akan diantarkan menuju kelas barunya. Sepanjang perjalanan, Ara tak banyak bicara tapi ia tahu jika guru yang bersamanya itu adalah wali kelasnya. Dalam hati, ia berkata,”Sepertinya aku akan menyukai guruku”.
Tak berapa lama, tibalah mereka di sebuah kelas. Di depan kelas itu, terpampang jelas tulisan X-1. Ara dan gurunya memasuki kelas tersebut. Ketika berada dalam kelas, Ara merasa takjub sekaligus gugup. Gurunya memperkenalkannya pada anak-anak di kelas itu.
“Anak-anak. Hari ini, kalian mendapatkan teman baru. Nah, Ara, tolong perkenalkan diri kamu ke teman-temanmu,” gurunya berkata.
Perkataan gurunya seakan-akan menyihir semua yang ada di dalamnya. Semua orang di kelas itu hening seketika. Tatapan mereka semua tertuju hanya pada Ara. Melihat reaksi mereka, Ara semakin gugup. Namun, ia mencoba menarik napasnya pelan-pelan lalu menghembuskannya. Barulah, ia kemudian membuka mulutnya dan berbicara.
“Perkenalkan, nama ku Ara. Lebih lengkapnya, Aranditya Pratama Putra. Sebelumnya, ku ikut home schooling, jadi ga pernah ngerasain gimana rasanya sekolah. Makanya, aku mohon bantuan kalian ya,” Ara mengakhiri pembicaraannya sambil tersenyum. Tanpa terduga, respon mereka begitu hangat. Salah satunya berkata,”Hehehehe....ya pasti dong”.
Setelah acara perkenalan itu, Ara dipersilahkan duduk. Ia memilih bangku yang kosong. Tepatnya, tempat duduknya berhadapan dengan jendela dan mengarah ke meja guru. Untunglah, ia tak duduk sendirian. Ia duduk bersama seorang cowok, yang ia ketahui dari perkenalan super singkat, namanya Fariz.
Untuk beberapa lama, Ara benar-benar memusatkan perhatiannya pada pelajaran di kelasnya. Ia kelihatan begitu serius dan antusias sehingga tanpa sadar ia membuat semua orang yang ada di kelasnya begitu terbius akan pesona Ara. Namun, setelah selesai pelajaran, barulah Ara dikerumuni teman-teman barunya. Dalam waktu singkat, Ara terlihat mulai akrab dengan teman-teman sekelasnya. Ia tak lagi canggung sebab ia merasa diterima dengan hangat.
            Maka dimulailah, babak-babak petualangan baru Ara. Bersama dengan teman-temanya, Ara menjalani kehidupannya dengan penuh gairah. Selama ini, ia berpikir, ia tak butuh orang lain dalam menjalani hidup. Oleh sebab itulah, ia tak suka bergaul dengan orang-orang di sekitar rumahnya. Hanya sesekali waktu saja, Ara terlihat bersama orang lain. Itu pun, mereka tak begitu mengenal pasti Ara. Namun, pandangannya mulai berubah saat ia berada di lingkaran kebahagiaan itu.
            Bahkan, ia memperluas lagi pergaulannya dengan orang lain. Ia mulai terbuka dengan orang lain. Tapi, hari-hari yang dilewatinya itu, tidak akan ia nikmati sendirian. Fariz, yang kini menjadi teman dekatnya, hampir setiap saat selalu bersama dengan dia. Merka berdua menghabiskan hari-hari dengan bersama-sama Hingga tak jarang, ia dan Fariz sering digosipkan pacaran. Pernah saking penasarannya, Ara bertanya pada Fariz.
            “Riz, mu dengar ga sih, kalau ada gosip kita pacaran. Mereka dapat info dari mana sih. Heran deh, padahal mereka tahu, kalau kita ini sama-sama laki-laki. Terus, ko bisa ya ada gosip kayak gitu”, tanya Ara pada sohibnya.
            “Karena...kamu itu cantik. Dengarin aku Ara, kamu itu kayaknya beda ma yang lainnya. Iya sih, kamu itu seorang laki-laki. Tapi, kamu itu cantik banget bahkan lebih cantik dari teman-teman cewek di sekolah kita. Kayak kamu itu bukan laki-laki aja tapi lebih mirip perempuan. Mungkin kalau kamu itu, benar-benar perempuan, sudah dari awal aku naksir kamu,” cerocos temannya itu tanpa terduga.
            “Tapi, kamu tahu kan Riz, kalau aku laki-laki sejati. Huuh...aku kesal banget jadinya”.
            “Ya, kalau gitu. Mending cuek aja deh dari pada buat kamu suntuk berat”.
            “Benar juga katamu, Riz. Yup, saran mu ku terima”, sahut Ara puas.
            Begitulah singkatnya obrolan antar Fariz dan Ara. Setelah kejadian itu, Ara tampak cuek saja mendengar gosip tentang dirinya mulai menyebar luas. Namun, tak disangka, kehidupan Ara yang bahagia itu mulai terusik. Jika saat lalu, ia digosipkan pacaran dengan sohibnya itu. Sekarang, beredar rumor di kalangan teman-temannya bahwa sebenarnya ia adalah seorang perempuan.
            Awalnya, ia tak begitu menghiraukan rumor itu karena ia tahu benar bahwa dirinya adalah seorang laki-laki. Tak mungkin, dalam sekejap saja ia berubah menjadi seorang perempuan. Ia yakin sekali bahwa rumor itu disebarkan karena tidak menyukai kehadiran Ara. Karena tahu bahwa Ara adalah pemuda yang disukai banyak orang. Ara masih ingat betul, ayahnya pernah berkata,”Ara, kamu tak usah menghiraukan perkataan buruk orang lain tentang mu. Mereka berbuat seperti itu karena mereka merasa iri, kamu lebih hebat dibandingkan mereka. Oleh sebab itulah, mereka menjelek-jelekkan dirimu di hadapan orang banyak. Tapi tak usah kau pikirkan, semakin banyak orang membicarakan tentang mu berarti kehadiranmu begitu penting sekali”. Dan kata-kata ayahnya itu selalu terngiang-ngiang di pikirannya. Ia berusaha sebisa mungkin untuk mengacuhkan rumor itu. Tapi, ia tak mampu, ia semakin terusik dan ragu akan keaslian dirinya kalau ia adalah seorang laki-laki.
            Ara kembali murung. Ia mulai menjauh dari teman-temannya. Bahkan, ia pun jarang sekali masuk sekolah karena ia tak ingin mendengar rumor itu lagi. Di samping itu,  alasan Ara sering murung, karena kini ia sering mendengar pertengkaran-pertengkaran kecil antara ayah dan ibunya. Tapi, Ara tak tahu apa yang mereka debatkan. Semuanya seakan-akan berubah. Ayahnya sekarang sering marah-marah tak jelas, hal yang sepele pun bisa membuatnya marah besar. Berbeda dengan ibunya, Ara semakin sedih melihat keadaan ibunya. Wajah ibunya kini selalu pucat dan muram, menghapus kecantikannya yang alami. Ara menghela napas ,”Sungguh, aku merindukan kenangan masa kecilku. Ia lebih indah dibandingkan dengan keadaan ku yang sekarang ini”.
            Hanya Fariz lah kini yang selalu menghibur dan menemaninya. Ia begitu setia menemani Ara yang sedang kalut. Hari-harinya, Ara isi dengan mencurahkan semua perasaan gundahnya itu pada sahabat setianya. Dan Ara benar-benar lega, dapat melupakan masalahnya walau pun hanya sebentar.
            Tanpa terduga, suatu hari merupakan puncak dari segala-galanya bagi Ara. Ceritanya saat itu, ketika Ara sedang berganti pakaian, ia melihat perubahan lain nampak dari tubuhnya. Ya, ciri-ciri perubahan yang nampak dari seorang perempuan ketika beranjak dewasa. Ia tahu itu karena ia pernah bertanya sekali dengan ibunya saat ia masih seorang bocah. Seketika itu pula lah, Ara menjadi ragu. Ara mencoba menceritakan hal itu kepada ibunya walau ia tahu, tak seharusnya membebani ibunya dengan masalahnya. Namun, bagaimana lagi, bagi Ara, itulah satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya mengenai jati diri Ara. Tapi, yang didapat Ara hanya sikap diam ibunya. Ibunya tak ingin menjawab pertanyaan Ara. Ia hanya berkata,” Ara, kau harus percaya dengan dirimu. Jika kamu yakin bahwa kamu adalah laki-laki maka kamu adalah laki-laki tapi jika kamu yakin kamu seorang perempuan, jadikan dirimu adalah perempuan. Anakku, takdir mu, kamu lah yang menentukan. Pilihlah pilihan hidup mu sendiri. Ibu percaya kamu akan mendapatkan jawabannya”.
            Dan jawaban itu pun telah ia temukan karena ia mencuri dengar pembicaraan orang tuanya diam-diam. “Ara terlihat murung sekali. Ia ragu ia adalah seorang laki-laki”, kata ibunya.
            “Ara memang seorang laki-laki”, ayahnya menjawab dengan tegas.
            “Sudahlah, kita tidak usah lagi menyimpan jati diri Ara yang sebenarnya bahwa ia......”.
            “Sudah kukatakan kepadamu, Ara adalah anak lelaki ku. Titik!!!”.
            Ara tersentak kaget mendengar pembicaraan orang tuanya itu. Sebenarnya, ia tak ingin lagi mendengarnya namun tubuhnya menolak ia unuk pergi. Ia pun kembali mendengarkan.
            “Tidak, kamu membohongi semuanya. Aku yang melahirkannya. Aku melahirkan seorang anak PEREMPUAN. Dan kau mencoba mengubahnya menjadi seorang laki-laki untuk memuaskan nafsu mu agar dapat mewarisi kekuasaan mu itu”, teriak ibunya histeris.
            Tanpa sadar, air mata Ara jatuh seketika. Akhirnya ia tahu bahwa ia seorang perempuan. Bahwa rumor yang mengatakan ia perempuan adalah benar. Dan bahwa jati dirinya itu, dirahasiakan rapat-rapat oleh kedua orang tuanya. Kini semuanya terjawab sudah, apa alasan ibunya selalu menangis dan inti masalah yang selalu menjadi persolan kedua orang tuanya itu. Saat itu juga, ayah dan ibunya menyadari kehadiran Ara. Mereka kaget. Ara berlari menghindar dari keduanya.
            “Kalau ada apa-apa dengannya, kau harus bertanggung jawab karena ia sekarang tahu bahwa ia adalah perempuan dan ia darah dagingmu”, tegas ibu Ara.
            Ayah Ara hanya diam. Bersama dengan istrinya, ia berusaha mencari Ara. Tapi nyatanya, mereka tak menemukan sama sekali keberadaan Ara. Hingga malam tiba, barulah seorang warga memberitahukan bahwa Ara kecelakaan dan ia sedang dirawat di rumah sakit terdekat. Ibu Ara menangis sedangkan ayahnya kelihatan syok berat.
            Kemudian, mereka pun segera pergi ke rumah sakit tempat Ara dirawat. Setelah meminta info, mereka akhirnya menemukan ruangan yang dimaksud. Di sana, terlihat Fariz menunggu di sana. Fariz tahu bahwa yang datang adalah orang tuanya Ara. Secara singkat, ia memperkenalkan dirinya.
            “Bagaimana keadaan Ara, Riz?”, tanya Ibu Ara akhirnya. “Ia belum siuman, Tante”, jawab Fariz. “Bagaimana Ara bisa mengalami kecelakaan? Kamu bersamanya kan?”, tanya ayah Ara. “ Iya, Om. Saya bersama dengan dia. Waktu itu, ia mengajak saya untuk membeli sebuah jilbab. Saat saya menanyakan tujuannya, ia tak mau memberi tahu saya. Selesai membeli jilbab, kami hendak pulang. Namu tiba-tiba dari arah berlawanan, ada motor yang melaju dengan cepat kemudian menabrak Ara. Saya selamat karena Ara sempat menjauhkan saya. Kalau Om dan Tante ingin melihat keadaan Ara, mari kita masuk saja. Oh ya, ini Tante, jilbab milik Ara”, jawab Ara panjang lebar sambil menyerahkan sebuah jilbab manis ke tangan ibu Ara.
            Ketika masuk ruangan tersebut, nampak Ara terbaring lemah tak berdaya. Mereka bertiga menunggu Ara siuman. Tak ada pembicaraan di antara mereka bertiga. Perlahan-lahan, Ara siuman. Ia tersenyum ketka pertama kali membuka matanya ia menemukan orang tuanya bersama Fariz. “Saya akan memanggil dokter untuk memastikan Ara selamat”, kata Fariz.
            Sepeninggal Fariz, Ara mencoba berbicara ,”Ayah, maafkan aku karena aku bukan anak laki-laki seperti yang ayah inginkan. Karena sebenarnya Ara adalah seorang perempuan. Aku mohon ayah, terima lah aku sebagai anak perempuan mu. Aku sangat menyayangi ayah dan ibu. Seleruh hidup ku ingin kupersembahkan semuanya untuk ayah dan ibu. Yah, kalau ayah memang menyayangi ku, anggaplah aku sebagai anak perempuan bukan anak laki-laki. Terimalah takdir anakmu ini sebagai perempuan”, kata Ara.
            “Ara, maafkan ayah ya. Ayah sudah membuat mu susah. Ayah selalu membuat mu menderita. Memperlakukan mu sebagai laki-laki hanya untuk kepuasan hati ayah padahal kamu tak tahu apa-apa. Iya, anakku. Ayah ikhlas, ayah menerima mu sebagai putri ayah yang ayah sayangi”.
            “Alhamdulillah. Kalau begitu, pakaikanlah jilbab yang Ara beli di kepala Ara sebagai tanda ayah menerima ku sebagai putri ayah. Karena waktu Ara tak akan lama lagi”. “Tidak, kau harus tetap hidup. Ayah akan mengenakan jilbab ini di kepalamu”, sahut ayahnya sambil pelan-pelan memakaikan ke kepala anaknya sebuah jilbab. Ara pun terlihat canti nan anggun mengenakan jilbab itu. Terakhir, ia berpesan pada ayahnya,” Yah, jaga ibu dengan baik ya. Jangan bertengkar lagi. Ara selalu mendoakan ayah dan ibu. Ara menyayangi ayah dan ibu. Dan ibu, Ara harap Ara dapat melihat ibu tersenyum tulus. Walau Ara nanti takkan ada lagi. Selamat tinggal, Yah, Ibu”.
            Tangisan pun meledak kencang dari ibunya. Ibunya memeluk Ara erat-erat sambil meraung-raung. Ayah Ara sedih melihat keadaan istrinya. Ia mencoba menenangkan istrinya. Ketika Fariz datang bersama dokter, Ara sudah meninggal dunia. Namun, Fariz akhirnya tahu bahwa sahabatnya itu adalah seorang perempuan.
            Setahun kematian Ara, hubungan orang tua Ara makin membaik. Orang-orang pun kini sudah tahu jika Ara, seorang perempuan. Mereka tidak membenci kenyataan itu karena mereka tidak menilai Ara itu laki-laki atau perempuan tapi melihat ketulusan dan kebaikan Ara selama ini. Ibu Ara pun bersyukur, dengan kematian putrinya itu, ayah Ara sadar akan kekhilafannya. “Ara, ibu pernah bilang kau harus memilih untuk kehidupanmu. Ibu bahagia, di akhir hayatmu, kau memilih menjadi seorang perempuan. Namun, ibu juga sedih, kau memilih kematian sebagai pilihan terakhirmu untuk menyadarkan ayahmu. Tapi, ibu percaya, kamu pasti bahagia di sana, Anakku. Terima kasih. Ibu sangat menyayangimu”, lirih ibu Ara dalam keheningan.
            Matahari kembali bersinar terik sekali. Orang-orang pun terlihat sibuk menjalani rutinitasnya pagi ini. Hawa panas pun merebak ke seluruh penjuru. Namun yang berbeda kali ini, suasana itu hampa tanpa kehadiran Aranditya Permata Putri, seorang gadis yang pernah menjadi laki-laki.
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar