Jumat, 07 Maret 2014

Lelaki Hujan

   Aku suka hujan. Apalagi ketika detik penantian saat hujan kan datang. Begitu bersahaja, natural, apa adanya. Tak ada kesombongan ataupun kesan negatif yang ditampakkan olehnya. Hujan adalah hujan. Tetap membasahi pori-pori bumi dengan tulus. Tanpa memandang siapa dan di mana, ia mesti membasahinya. Sungguh, betapa indahnya suguhan alam ini. Hujanku, anugerah Tuhan yang mempesona.
   Adalah sekelibat hujan. Yang senantiasa mengisahkan cerita manis tentangmu. Dengan balutan selimut rindu dalam setiap suguhannya. Betapa menyenangkannya kala itu. Dan bagiku, ketika hujan datang, di sanalah aku dapat menemukan sosokmu. Yang tak mampu ku gapai namun selalu terpatri dalam relung hatiku.
   Namun, kini hujan tak hanya bercerita tentangmu saja padaku. Melainkan juga dia. Ya, dia. Dia yang tak sengaja tertangkap lembut oleh pandangan mataku. Bersatu padu dengan rinai hujan dalam lukisan senja sore itu. Ah, semestinya aku tak boleh begini. Begitu mudahnya tersipu dengan pesona hujan yang berbeda dengan kehadirannya. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, mataku seakan tak pernah jemu mengikuti langkah yang dia torehkan dalam pijak sang bumi. Hatiku berdesir. Tak bisa. Tak boleh. Ia berbeda denganku.
********************************************************************
Pukul 16.00 WITA, awan gelap mulai menyelingkupi langit. Sepertinya hendak turun hujan lagi. Aku memandang gemas. Sedari tadi, hatiku tak karuan. Bis yang ditunggu-tunggu tak juga datang. Aku mulai gelisah. “Ayolah, cepat datang. Cepat datang,” lirihku dalam hati. Duh, seandainya keadaanku tak segenting ini, alamak indah nian panorama hujan sore ini. Menunggu detik-detik tetesan hujan jatuh ke tanah, kemudian tak lama berselang turunlah gerombolan bola-bola air itu sehingga menimbulkan riak yang bernada. Aku selalu suka hujan. Selalu.
   Sayangnya hingga setengah jam kemudian, bis yang dinanti tak juga datang. Walah, bisa dimarahi Mbak Rima nanti di sana. Mana ia telah beberapa kali menelepon semenjak aku menunggu di halte bis. Aku pasrah. Membayangkan wajah Mbak Rima yang setengah syahdu-setengah awut-awutan karena keterlambatanku. “Maaf, Mbak,” ringisku diam-diam.
   Bertepatan dengan kepasrahanku, rintik-rintik hujan mulai nampak membasahi tanah. Semakin lama intensitasnya semakin lebat saja. Orang-orang pun segera berteduh di halte bis. Sekejap, suasana di halte menjadi ramai. Saling sikut sana-sini mencari posisi berlindung yang aman dari tetesan hujan. Terkecuali aku. Aku menikmatinya. Teramat sangat. Hujan menjadi salah satu obat yang dapat mendamaikan hatiku. Untuk kini, aku patut bersyukur pada-Nya. Setidaknya hujan mengurangi penatku sedari tadi. Namun Tuhan memiliki rencana lain. Ternyata hujan juga menyuguhkan kisah yang membekas di ingatan. Mengubah segalanya. Kehidupanku dan cinta.
********************************************************************
“Hayooo, ngelamunin apa?” ucap Mbak Rima mengagetkanku.
  “Eh, Mbak. Angi gak melamun kok. Cuma melongo, melihat sekitar,” jawabku membela diri. Mbak Rima hanya geleng-geleng kepala mendengar jawabanku yang asal sebut. Dan aku cuma bisa cengir di hadapannya.
  Untunglah, bayanganku tentang Mbak Rima yang marah besar atas keterlambatanku tak terjadi. Setiba di apotek berukuran 250 m2 yang di cat serba biru ini, Mbak Rima menyambutku dengan wajah lega. Berterima kasih karena aku berkenan datang ke apotek secara dadakan. Mbak Rima meminta tolong padaku untuk menjadi guide sementara sebab ada karyawan baru yang akan bekerja di apotek kami. Kabar baiknya, karyawan baru itu belum datang. Mbak Rima menyuruhku untuk beristirahat sejenak.
  Aku mengangguk. Pergi ke kamar mandi, berbenah diri. Lantas beranjak masuk ke ruangan kerja. Aku menghela napas. Masih sepi. Di luar pun masih hujan. Ku putuskan mengambil posisi duduk yang nyaman supaya bisa menikmati pemandangan hujan di luar sana.
  Sebentar saja, perhatianku sudah teralihkan oleh kejadian di halte bis itu. Sebenarnya aktivitas orang-orang di saat hujan tak terlalu berbeda. Kebanyakan memutuskan untuk berhenti, berteduh di suatu tempat. Atau memakai jas hujan maupun payung bagi mereka yang membawa persiapan. Tak ada spesial. Hanya saja, ketika mataku beradu dengan pemandangan di seberang halte, waktu seolah-olah berhenti. Aku terpana. Dibuai oleh sesosok pemuda yang bahkan tak ku kenal sama sekali. Ia sukses membuatku terpaku di tempat, mengawasi gerak-geriknya dari kejauhan.
  Wajah pemuda itu nampak ramah, rela berbasah-basahan hanya sekadar untuk membantu seorang anak kecil yang jatuh dari sepeda. Menghiburnya lantas mengajaknya bermain di tengah derasnya hujan. Anak kecil itu pun kelihatannya sudah lupa dengan kejadian tadi. Memutuskan ikut langkah sang kakak laki-laki yang telah menolongnya. Mereka terlihat ceria. Tak berapa lama kemudian, anak-anak kecil lainnya pun ikut bergabung dengan mereka. Berlarian ke sana kemari. Tertawa bersama. Menciptakan harmoni yang menyejukkan mata dalam terpaan hujan. Kombinasi alam dan manusia.
  Begitulah kira-kira kilas balik yang ku lakukan sebelumnya sembari menanti kedatangan tamu istimewa kami. Hujan sudah mereda. Menyisakan tetes demi tetes yang menggantung di dedaunan. Tepat pukul 18.00 WITA, tamu yang dinanti itu akhirnya datang. Saat tamu itu menampakkan diri di hadapanku dan Mbak Rima, aku membisu. Dia. Pemuda itu.
********************************************************************
Ternyata ia tak sebaik yang ku kira. Penilaianku salah total. Ia benar-benar menjengkelkan. Seusai perkenalan singkat, Mbak Rima menyerahkan tugasnya kepadaku. Aku berusaha menjelaskan kepadanya dengan baik. Responnya hanya diam, mengangguk, sebentar bergumam. Tak lebih. Oke, aku harus bersabar.
  Hari-hari selanjutnya, batas kesabaranku habis untuknya. Bagaimana tidak. Sepuluh pasien yang berobat hari ini terpaksa menunggu lama. Ia ku suruh menebus obat di apotek sebelah tapi belum datang-datang juga. Tiba di apotek, ia cuma berkata,” Lagi macet”. Mukaku memerah. Alasan yang tak masuk akal.
  Tak hanya itu, sudah beberapa kali ia masuk terlambat. Aku saja yang sudah 1 tahun bekerja di sini, baru sekali terlambat. Itupun bukan kesalahanku sepenuhnya. Tapi dia baru 1 bulan bekerja, sudah banyak tingkah. Sering terlambat, kerjaannya lebih banyak diam, terkadang malah sering ku temukan ia ketiduran. Jengkel setengah mati, ku putuskan untuk membicarakannya pada Mbak Rima. Mbak Rima hanya tertawa. “Hati-hati loh, nanti bisa jadi suka”. Aku memasang wajah kusut. Tawa Mbak Rima malah semakin kencang. “Sudahlah, Ngi. Jangan menilai buruk mengenai dirinya. Alangkah lebih baik bila kau mengetahui terlebih dulu alasan di balik sikapnya itu”, saran Mbak Rima bijak.
********************************************************************
Perkataan Mbak Rima benar. Semestinya aku tak segera menyimpulkan apapun tentangnya. Aku menyesal. Di balik sikapnya selama ini, aku baru sadar ia adalah seseorang yang sangat peduli dengan keadaan orang lain, melebihi dirinya sendiri. Dan lagi-lagi hujan lah yang membuka tabir rahasianya.
  Ketika itu, aku tak sengaja melewati apotek di hari libur. Terlihat seorang laki-laki keluar dari apotek sambil membawa kantong sampah. Aku terkejut. Biasanya hanya aku, Raja, dan Mbak Rima yang seringkali mengunjungi apotek. Tapi laki-laki itu sepertinya aku pernah mengenalnya. Untuk memastikan, aku lantas mengintip di balik kaca. Eh. Dia. Pemuda menyebalkan itu tengah membersihkan ruangan kami. Itu berita yang mengejutkan bagiku. Aku kaget hingga tak sadar pemuda itu kini berada di belakangku, memergoki aku yang tengah mengintip.
  “Sudah puas mengintipnya?”
  “Heh. Aku tidak mengintip. Hanya memeriksa saja”.
  “Terserahlah. Aku mau lanjut kerja lagi”.
  Aku menatap sebal. Cueknya masih melekat. Kepalang tanggung, aku sudah di apotek dan ketahuan memergokinya. Ku putuskan untuk membantunya. Ia tak banyak protes. Mempersilahkan aku membereskan bagiannya yang belum selesai. Aku juga tak bisa pulang. Hujan sudah turun membasahi bumi. Membantunya di apotek adalah pilihan yang baik. Selama bekerja, tak ada juga percakapan yang berarti di antara kami. Hingga sebuah potongan kaca melukai tanganku. Aku meringis. Ia mendatangiku.
  “Kau tidak apa-apa?” tanyanya cemas.
  Tak ada jawaban yang keluar dari mulutku. Aku teramat syok menatap darah segar telah mengucur di telapak tanganku. Ia yang mengetahui tatapan mataku sedang menunjuk jawabannya, segera sigap mengambil beberapa peralatan P3K. Telaten membersihkan luka di telapak tanganku hingga tertutup dibalut perban. Aku merintih. Dadaku sesak melihat pemandangan tepat di hadapanku.
  Hujan semakin deras. Ia juga telah selesai menangani lukaku. Kini ia duduk di sampingku. Kelelahan.
  “Sudah tidak apa-apa. Aku akan mengantarmu pulang”.
  Ia membantuku berdiri. Menyuruhku menunggu di ruang tunggu sedang ia hendak berbenah diri. Aku menuruti perintahnya. Hingga ia menutup apotek, aku hanya diam seribu bahasa. Berdiri di belakangnya, menunggu. Ia menyuruhku memakai jaket kulitnya. Aku mengangguk. Dan melajulah kami di tengah derasnya hujan menuju rumahku.
  “Sudah sampai. Turunlah”.
  Aku turun dari motornya. Tapi termangu di hadapannya. Menahan gejolak yang hendak keluar.
  “Ada apa? Ada yang ingin kau katakan?”
  “Maaa....maafkan aku. Aku telah salah menilaimu”, ucapku terbata, memberanikan menatapnya dengan perasaan bersalah.
  Untuk kali keduanya, ia berhasil membuatku terpesona. Sekelibat wajah ramahnya kembali hadir. Ada senyuman lembut tersungging di bibirnya. Lelaki hujan. Kedua. Namanya Awan.
  Detik itu, aku telah menyukai senyum, sorot mata, juga gerak tubuhnya. Ah, segalanya. Ia nyaris sempurna mempesona dalam balutan hujan. Tapi aku tak bisa. Ia amat berbeda.
********************************************************************
“Kenapa kau suka hujan, Pelangi?” tanyanya saat kami senggang. Akhir-akhir ini hubungan kami menjadi lebih baik. Kian akrab. Ia lebih suka memanggilku Pelangi dibanding Angi atau Ngi. Aku memanggilnya Awan.
  “Hujan mengingatkanku tentangnya. Tentang Langit. Kau tahu, ia lah yang pertama kali meyakini suatu saat nanti aku bisa jadi penulis. Percaya bahwa aku akan menggenggam janji kehidupan yang lebih baik. Kini, ia sedang melanjutkan studinya di luar negeri. Hujan menjadi saksi bisu atas percakapan kami. Ia akan kembali ke sini menemuiku. Ia pasti kembali”.
   “Bagaimana kau yakin ia akan menemuimu? Bisa saja dia punya pasangan di sana. Takkan pulang. Naif sekali”.
  “Kau kenapa sih, Awan?” tatapku jengkel. Tak sengaja, mata kami saling beradu pandang. Menimbulkan getar-getir di dada. Aku buru-buru memalingkan wajah.
  “Ah...sudahlah. Aku mau kerja lagi”. Mengakhiri percakapan. Meninggalkanku dalam kebingungan.
********************************************************************
“Dia menyukaimu, Ngi. Anak kecil juga tahu kali”, ujar Mbak Rima suatu hari. Aku terenyuh. Andai Mbak Rima tahu, aku tengah menahan gejolak perasaanku padanya. Aku berusaha menjaga jarak dengannya. Rasa suka Awan padaku tak boleh bertambah. Aku harus meredamnya. Keputusan terbaik. Kami berbeda. Bukan lagi perihal Langit seperti percakapan kami sebelumnya. Perbedaan ini lebih besar. Tentang prinsip hidup. Tentang aku.
  Nyatanya, semakin aku menghindar semakin gencar Awan berada di dekatku. Aku tak mengerti. Semenjak ku katakan padanya mengenai Langit, sikapnya berubah. Awan semakin perhatian padaku seolah-olah ia hendak mengatakan bahwa dia juga menyukaiku. Aku merasa serba salah. Di sisi lain, hatiku ingin menyambut Awan. Namun di sisi lain, ada Langit yang selalu ku tunggu juga perbedaan itu, perbedaanku dengan Awan. Membuatku murung, seharian menangis tak karuan di kamar. Mbak Rima mengizinkanku untuk tak masuk kerja beberapa hari. Untuk memulihkan hatiku.
********************************************************************
“Langit.....?”
  Sesosok lelaki berusia 25 tahun berada di depan pintu rumahku. Dia lah Langit. Lelaki hujan yang pertama.
  “Aku sudah kembali, Pelangi”.
  Mataku berkaca-kaca. Takjub. Langit telah memenuhi perkataannya. Belum sempat Langit masuk ke rumah. Awan tiba-tiba datang. Ia terkejut bukan main. Menyadari ada lelaki lain yang lebih dulu datang ke rumahku. Menciptakan kecanggunggan di antara kami bertiga.
  “Langit, ini Awan. Awan, ini Langit”, ucapku mencairkan suasana. Langit menyodorkan tangannya, hendak bersalaman dengan Awan. Namun Awan tak menggubris. Ia malah menatapku.
  “Ada yang ingin ku katakan padamu, Pelangi?”
  Aku menggigit bibir. Tidak. Jangan sampai ia bermaksud untuk mengatakan perasaannya padaku. Langit yang sadar akan perubahan sikapku lantas menjawab,”Bicaralah di sini atau kalau tak mau sebaiknya kau pulang. Apakah kau tak lihat Pelangi tak ingin berbicara denganmu saat ini”.
  “Aku menyukaimu, Pelangi”, ujarnya lantang seakan menantang Langit atas kedua pilihan itu.
  Bulir mata seketika jatuh di pipiku. Menimbulkan perasaan mashgul di hati Awan yang tengah melihatku. Ia memutuskan untuk pamit pulang. Meninggalkan aku dan Langit. Berdua saja. Ada banyak yang harus kami bicarakan. Penyelesaian.
********************************************************************
Malam itu dengan sisa tangis, ku uraikan segala cerita yang terjadi selama Langit tak berada di sini. Langit mendengarkanku dengan seksama. Aku meminta maaf padanya. Tapi Langit berbesar hati. Ia tak menyalahkanku. Justru ia memberikanku saran yang bijak. “Jangan menghindar. Bicaralah dengannya. Selesaikan masalahmu baik-baik. Dengarlah, Pelangi. Aku tak pernah meragukan perasaanmu padaku. Tapi aku juga tak bisa mengekangmu. Kita belum terikat apa pun. Aku bermaksud untuk memintamu sekembalinya aku ke sini. Hanya saja aku tak menyangka akan terjadi hal seperti ini. Kini, kau harus memilih. Aku dan Awan tentunya membutuhkan jawabanmu. Pilihlah dengan bijak, Pelangi. Untuk kebaikan bagi kita semua”.
********************************************************************
“Selamat ya. Semoga menjadi keluarga yang sakinah ma waddah wa rahmah”, ujar Awan menyalami ku dan Langit. Ya, aku telah memilih Langit menjadi pendampingku. Awan sempat menolak. Ia tak terima. Awan mengatakan bahwa Langit tak mengetahui apapun tentangku selama ini. Langit nun jauh di sana, tak mungkin tahu apa yang tengah terjadi padaku. Ia lah yang belakangan ini bersamaku. Ia yang menemaniku. Aku tak menyanggah. Hanya berkata,”Kita berbeda”. Awan bersikeras, menjawab bahwa dia bisa berubah demi aku. Lantas dengan tegas aku kembali berkata,”Kau tidak mengerti. Perubahan itu menyangkut prinsip hidup mu, masa depanmu. Kalau kau saja tak paham tentang hal ini. Bagaimana kau mampu menuntunku?” Awan terdiam. Ada benarnya beberapa hal yang diucapkan olehku. Awan merasa sudah cukup menyumbangsihkan tangis padaku karena dirinya. Ia tak ingin lagi. Hari itu, ia perlu memikirkan semua hal dengan matang. Perubahan besar. Keputusan yang tepat. Untuk dirinya.
  “Doakan aku cepat menyusul” ujarnya lagi. Aku dan Langit tersenyum mengamini doanya.
  “Kau memilih keputusan yang baik, Ngi. Kau membawa Awan kepada cinta yang sebenar-benarnya cinta. Tuhan, Sang Pemilik Hujan. Aku makin sayang padamu”.
Aku tertawa mendengar Langit menggodaku. Aku pun teramat bahagia saat mengetahui Awan telah masuk Islam. Bukan karena aku. Namun karena hatinya telah mantap memilih. Kini Awan sedang asyik menjalin untaian-untaian cinta dalam anugerah-Nya.

Ratu Untuk Raja

Namaku Ratu. Hanya Ratu. Titik. Pernah suatu ketika aku mempertanyakan perihal nama ini, orang tuaku hanya berkata,” Semoga engkau menjadi ratu yang sebaik-baiknya ratu”. Aku hanya mendelik, tak mengerti. Memutuskan untuk tak bertanya lebih jauh lagi.

Namaku Ratu. Hanya Ratu. Orang-orang bilang “ratu” adalah jabatan tertinggi dalam sebuah kerajaan. Sayangnya aku tinggal di Indonesia yang notabene berbentuk republik. Jadi apa makna dari namaku. Sekali lagi aku menggeleng. Tidak tahu.

Namaku Ratu. Hanya Ratu. Ketika kisah ini mulai menemukan muaranya, barulah aku menyadari makna ratu yang sebenarnya. Sederhana sekaligus mencengangkan.
***

Jingga raksasa mulai tertoreh di langit sore. Menawarkan panorama indah yang menggiurkan mata. Memang tak lama, tapi setidaknya bagi sebagian orang hal itu sudah cukup untuk menutup hari yang melelahkan.

Sama halnya yang kulakukan kini. Memilih pergi ke taman, duduk di bangku panjang, mengamati suasana di sekitar lantas beranjak pulang ke rumah. Tak ada yang spesial. Setidaknya beberapa kali kunjungan rutin ku ke taman belakangan ini.

Namun, sejak pukul empat sore, aku memutuskan untuk pergi ke taman lebih cepat dari jadwal kunjungan sebelumnya. Duduk rapi di bangku panjang favoritku sembari memegang sebuah boneka beruang. Aku tersenyum tipis. Sebentar lagi tiba. Ia akan datang. Janji masa kecil akan terwujud.

Lima menit, aku tetap anggun berada di posisiku. Menatap segerombolan anak kecil bermain ayun-ayunan. Beberapa di antaranya malah tengah berlarian mengejar temannya satu sama lain. Tak jauh dari tempat anak-anak tersebut bermain, beberapa muda-mudi juga sedang bersenda gurau, diiringi semburat merah khas remaja yang baru dimabuk cinta.

Setengah jam berlalu, suasana di taman semakin ramai. Orang-orang dewasa mulai berdatangan. Jalan santai, berkumpul dengan anggota klub, dan banyak lagi kegiatan yang sedang berlangsung di taman. Maklum, lokasi taman yang berpusat di tengah kota memang menjadi tempat favorit yang digandrungi masyarakat. Tak terkecuali aku.

Bahkan taman ini malah nyaris menjadi tempat bersejarah bagiku. Oleh karena itu, di sela rutinitas harianku, aku selalu menyempatkan untuk pergi ke taman. Meski pernah terhenti karena jadwal kuliah yang semakin padat.

Mengapa bersejarah? Mari ku ceritakan kisah sebelas tahun yang lalu. Ketika umurku 10 tahun. Ketika aku mulai mengenalnya, bersama, kemudian terpisah begitu saja.
***

“Ratu, ayo pulang. Sudah sore”. Ibu meneriakiku yang masih asyik bermain seluncuran. Selalu menyenangkan saat tubuhmu meluncur jatuh ke bawah tanah begitu cepat. Merasakan sensasi angin yang berhembus ketika berpacu dengan kecepatan. Namun tiba-tiba saja jatuh meringis kesakitan sesaat usai mendengar teriakan seseorang.

“Aduh”. Aku terduduk dengan seluruh permukaan badan penuh pasir, menyisakan lecet di beberapa bagian tubuhku. Aku mengeluh. Semestinya peluncuranku berjalan mulus sewaktu aku melakukan manuver andalanku. Namun teriakan ibu membuat pendaratan tiba di pasir menjadi kacau. Bagaimana tidak. Refleks aku berdiri. Alhasil, karena tubuhku tak seimbang, aku kembali terjerembab mencium bau khas pasir.

“Kau tidak apa-apa, Ratu?”

“Tak apa-apa, Bu. Hanya sedikit lecet”.

“Oh, apa yang terjadi padamu? Mengapa badanmu penuh pasir? Ayo, segera pulang. Bersihkan seluruh badanmu. Biar nanti Ibu obatin lukamu”. Kata Ibu ketika terperangah melihatku dalam kubangan pasir.

Di saat langkahku hendak mengikuti langkah Ibu, mata kecilku menangkap sesuatu yang tak biasa. Sekerumunan anak cewek. Entah apa yang tengah dikerubungi mereka. Akan tetapi, sepertinya itu adalah sesuatu hal yang menarik. Rasa ingin tahuku membuncah. Melupakan perintah ibu untuk segera pulang. Segera berlari menuju keramaian di sana.
***

“Setahuku, 5 lawan 1 adalah tindakan pengecut. Bagaimana kalau tambah satu”. Aku menatap geram sekelompok anak cewek di hadapanku. Ternyata hal menarik yang mereka lakukan adalah menindas cewek yang kini terkapar lemah. Aku tak tahu perihal apa yang menyebabkan perkelahian. Yang jelas tindakan mereka sangatlah tidak adil.

Menyadari ancaman baru dari orang asing, ketua kelompok memutuskan pergi dari tempat itu. Sepeninggal mereka, aku lantas membantu cewek tersebut berbenah diri. Memapahnya menuju ke rumahku.

“Astaga, ini siapa Ratu?”

Aku menggeleng. Tidak tahu. Hanya kasihan melihat dirinya. Barangkali saja Ibu akan bantu membersihkan luka-lukanya. Barulah aku mengantarnya pulang. Ibu tak banyak bicara, cakap membereskan sisa-sisa perkelahian yang tadi aku saksikan. Sekarang, anak cewek itu nampak lebih baik keadaannya. Duduk di kursi tamu dengan malu-malu.

“Aku Ratu. Nama kamu siapa?”

“A...a....ku.....Raja, ehm...maaf...maksudku...namaku Maharaja Putri. Panggil saja Putri”.

Aku mengernyit. Urung bertanya lebih lanjut. Raja.....eh...maksudku Putri sepertinya masih trauma dengan kejadian itu.
***

Esok paginya di kelas nampak riuh. Sepertinya ada anak baru yang akan masuk ke kelasku. Tak berapa lama kemudian, bel telah berbunyi. Keriuhan tersebut teredam beberapa saat. Langkah kaki pun mulai terdengar di sepanjang lorong kelas. Teman-teman di kelas nampak tegang.

Dan akhirnya yang ditunggu-tunggu pun datang. Pak Alvi masuk ke kelas dengan seorang anak cewek. Yang lebih mengejutkan lagi adalah anak cewek tersebut tenyata Putri. Eh. Aku sontak kaget melihat sosoknya di depan kelas.
***

“Ratu, boleh aku duduk di sampingmu?”.

Eh. Lagi-lagi aku terlonjak kaget. Yang menyapa malah mengulum senyum manis. “Hem....ya...silahkan”. Selanjutnya percakapan pun mulai berjalan normal.

Tak terbayangkan hari-hari berikutnya, aku kian akrab dengan Putri. Putri anak yang menyenangkan. Bahkan kami pernah membuat capsule time untuk mengabadikan persahabatan kami. Di hari ulang tahunku, Putri juga tak lupa menghadiahkan sebuah boneka beruang yang sudah lama ku incar. Saking akrabnya hingga tersiar kabar burung yang tak menyenangkan. Aku dan Putri sama-sama saling menyukai.

Kabar burung ini makin terdengar kencang ketika fakta bahwa banyak anak-anak cowok yang menyukai Putri tak mendapat tanggapan positif dari si empunya. Putri malah semakin menempel padaku. Hey, aku berseru kesal. Bisa-bisanya mereka percaya saja dengan kabar burung itu. Lagipula kami masih anak-anak. Tak perlulah terlalu berlebihan. Aku dan Putri hanya berteman. Siapa pula yang berniat suka dengan cowok di kelas. Semuanya pengecut begitu.

Bila aku bersungut-sungut menanggapi kabar burung itu. Berbeda halnya dengan Putri. Tak ada reaksi. Sepertinya ia jauh lebih dewasa daripadaku. Atau ia memang tak tahu apa-apa. Aku tak berani menanyakannya.

Lepas dari kabar burung itu, sebenarnya kabar lain tentang Putri juga mengusikku. Ya, tentang namanya yang memang agak aneh. Apalagi terkadang bila bersamaku, ia tak jarang mengucap Raja kemudian berganti Putri. Begitu berulang kali tiap ia seketika melamun di tengah obrolan.

Hingga kejadian itu mengacaukan semua kebersamaan kami. Pulang sekolah, Putri tak pulang bersamaku. Katanya ada yang ingin mengajaknya bertemu. Aku senyam-senyum. Ada yang hendak menyatakan rasa sukanya pada Putri. Baiklah, aku memutuskan pergi. Lagipula aku ada rencana mengunjungi toko kue di ujung sekolah sana.
***

“Hahahahaha....ternyata benar kabar burung itu. Kau suka dengan Ratu. Kalian adalah pasangan lesbian”. Ujar seseorang saat aku tak sengaja melintasi taman kota. Mendengar nama Ratu disebut, rasa-rasanya aku seperti tengah dibicarakan. Penasaran, aku mendatangi arah suara tersebut berasal. Lihatlah, Putri dan seorang anak cowok lagi bersitegang.

“Kau. Jangan bicara hal yang buruk tentang Ratu. Kau tidak tahu apa-apa”. Sahut Putri membela diri. Anak cowok tersebut meradang, hendak mendorong jatuh Putri. Untungnya aku gesit menahan tubuh Putri. Spontan keluar dari persembunyian ketika Putri terancam.

“Aha....kejadian ini membuktikan kalian memang lesbian”. Ungkap anak cowok itu sambil berlalu pergi. Aku hendak membalas tapi keburu dicegah Putri. “Aku tak apa-apa, Ratu”.

Sejak kejadian itu, Ratu mulai menjauhiku. Ketika aku sapa, ia membuang muka seakan tak mengenalku. Ketika aku ajak mengobrol, ia lantas pergi begitu saja lalu bergabung dengan teman yang lainnya. Sikapnya makin membuatku jengkel sekaligus penasaran. Oleh karena itu, aku memilih pergi ke rumahnya untuk bicara baik-baik dengan Putri.

Sayangnya, ketika aku mengunjungi rumahnya., kabar tak terduga mengagetkanku. Putri akan pindah ke Australia. Secepat ini. Aku tak percaya padahal aku hendak menanyakan perihal mengapa ia menjauhiku. Barulah saat Putri bersedia menjelaskan alasannya setelah tiga kali kunjunganku yang tertolak, aku menggenggam janji masa kecil.

“Tak ada apa-apa. Aku hanya khawatir kau dianggap buruk karena berteman denganku. Makanya aku menjauh sementara. Lagipula Ratu sepertimu hanya pantas untuk Raja bukan Raja gadungan seperti aku. Meski namaku ada embel raja tetap saja aku seorang perempuan. Tak mungkin kan aku menyukaimu. Kita hanya berteman. Jangan lupakan aku ya”. Ujar Putri yang tak ku pahami sepenuhnya.

“Ehm...sebelas tahun lagi kita akan bertemu di taman kota. Janji ya”. Putri mengangguk, tersenyum menyanggupi janji yang begitu saja keluar dari mulutku.
***

Dan disinilah aku berada. Menanti kehadiran Putri yang tak kunjung datang. Sudah hampir 2 jam aku menunggu. Sosok Putri tak juga nampak batang hidungnya. Jingga raksasa pun berangsur-angsur menjadi gelap. Orang-orang juga sudah banyak yang pulang ke rumah. Aku menggigit bibir. Putri pasti datang. Putri pasti datang. Namun nyatanya hingga hanya aku sendirian yang berada di taman, Putri tak juga datang. Aku memutuskan pulang. Tak ada gunanya menunggu lebih lama lagi. Putri takkan datang.

Tiba di rumah, aku juga tak mendapati kabar kedatangan Putri ke rumah. Hari-hari selanjutnya pun sama saja. Membuatku murung sepanjang harian. Tak berselera makan apalagi melakukan kegiatan.
***

“Ratu, ada tamu. Bukakan pintunya”. Aku yang sedang berada di ruang tengah berjalan gontai menuju pintu rumah. Dan mendapati sosok pemuda tampan. Hey, wajahnya nampak asing bagiku tapi aku serasa telah mengenalnya lama. Ia tersenyum. Lalu memperkenalkan namanya. Raja.

“Ada Ratu nya tidak?”. Tanyanya sekali lagi. Aku menjawab gagap. “Ah ya, aku sendiri yang bernama Ratu. Maaf, silahkan masuk”. Aku menyilahkan tamu lelaki ini masuk ke dalam rumah. Sepersekian detik tadi aku melongo mendengar nama lelaki itu. Raja. Aku menggeleng-geleng pelan. Teringat kata-kata Putri sebelas tahun yang lalu. Ditambah fakta bahwa belum ada seorang temanku pun yang bernama Raja. Jadilah aku berpikiran macam-macam. Jangan-jangan. Dan jangan-jangan.

“Ada maksud apa kedatangan...ehm...Raja ke rumahku? Apakah kita saling mengenal?”

“Sebenarnya aku adalah sepupu Putri, Maharaja Putri. Aku ingin memberikan kabar tentangnya. Bahwa dia........”. Kalimatnya menggantung, membuatku was-was.

“Bahwa dia apa.....?”.

“Dia telah meninggal dunia 7 tahun lalu”. Ungkapnya lemah.

“Tak mungkin. Itu mustahil. Selama ini, aku sering bertukar kabar dengannya. Lantas kalau ia sudah meninggal dunia. Siapa yang selalu menjawab pesan email ku tiap hari?”

“Itu aku. Putri menyuruhku untuk berkomunikasi denganmu sepeninggal dirinya. Ia tak mau kau tahu tentang kejadian naas yang menimpanya. Bahkan janji kalian sebelas tahun yang lalu, ia limpahkan kepadaku. Ia menyuruhku menjagamu, Ratu. Ia berharap kau takkan bersedih ketika tak ada lagi dirinya”.

Aku nyaris terjatuh mendengar kenyataan yang mencengangkan dari mulut seorang Raja. Tak mungkin. Tak mungkin Putri sudah meninggal. Aku tak terima. Tubuhku sontak berguncang kuat. Aku menahan tangis sedari tadi mendengar penuturan Raja.

Kini bulir-bulir air mata jatuh begitu saja disaksikan Raja. Setiap kali aku mencoba menolak kenyataan itu, setiap kali pula bukti-bukti yang ditunjukkan Raja padaku memperjelas semuanya. Aku terenyuh. Raja menatap prihatin padaku.

“Maaf harus menemuimu dalam keadaan yang tak menyenangkan. Aku tak bermaksud membuatmu bersedih. Semoga esok kita bisa bertemu dengan keadaan lebih baik. Aku akan lama berada di sini. Aku hendak melanjutkan studi ku di sini. Ku harap kita bisa berteman seperti pinta Putri”.
***

Meski aku syok dengan kabar Putri selama beberapa hari kemarin. Aku tak ingin lagi berlama-lama mengenangnya dengan kesedihan. Akhirnya ku putuskan menemui Raja. Bernostalgia bersama Raja dengan topik seputar Putri akan jauh lebih menenangkan.

Keesokan harinya, aku menemui Raja. Tak sulit menemui Raja sebab ia tinggal di rumah Putri yang dulu. Raja pun juga menyambutku dengan ramah. Seakan ia telah lama mengenalku, ia membuat percakapan di antara kami tak menjadi canggung.

Aku baru tahu. Raja pernah menyelesaikan studinya di Australia. Di sanalah, Putri dan Raja mulai menjalin hubungan yang lebih intens layaknya sebuah keluarga. Bosan di Australia, ia memilih balik ke Indonesia, belajar studi yang baru di perguruan tinggi di kota kami.

Sepanjang hari itu, Raja setidaknya berhasil mengusir kesedihan yang mengungkungku. Berganti dengan keceriaan yang sama persis diciptakan oleh Putri di masa lalu.

Lambat laun, hubungan kami pun semakin dekat. Menorehkan segumpal perasaan yang belum pernah ku temui. Kini, tiap bertemu Raja, mukaku sontak memerah. Seperti muda-mudi yang sering kulihat di taman. Tapi aku tak berani menanyakan kejelasan hubungan kami. Apakah ia suka aku? Apakah aku hanya teman baginya? Aku tak berani. Hanya menerka-nerka. Menganggap diriku tak pantas untuk seorang Raja yang tampan, pintar, dan berbakat dalam segala hal.
***

Hari ini kami janjian bertemu, ada bakti sosial di rumah buku tempatku bekerja. Aku menjemputnya. Raja sepertinya masih sibuk berbenah diri. Ia menyuruhku masuk saja ke dalam kamar yang sebenarnya kamar Putri. Aku ragu. “Tak apa. Daripada di ruang tamu, mending di kamarku menonton TV. Aku masih agak lama jadi kau akan baik-baik saja”. Baiklah, aku mengangguk.

Ini pertama kalinya aku masuk ke dalam kamar Putri setelah sekian lama. Tak banyak yang dipermak oleh Raja. Aku memutuskan untuk berkeliling mengitari kamar. Terkadang terhenti sejenak di sudut tertentu, mengenang kebersamaan kami. Tak sengaja, di meja belajar, mataku menemukan sebuah bingkai foto yang terjelungkup ke bawah.

Iseng, aku pergi menuju ke meja belajar. Ku coba membuka bingkai foto tersebut. Ternyata foto Putri waktu kecil. Dan ketika itulah peristiwa mengejutkan lainnya datang. Di bawah bingkai foto itu terdapat amplop coklat berukuran besar yang tak sengaja terjatuh di kakiku. Ini apa? Rasa penasaranku membuncah. Aku membukanya.
***

“Aku sudah siap Ratu. Ayo kita berangkat”. Raja membuka pintu dan heran melihatku yang melongo sambil menggenggam sesuatu. Raja seketika sadar. Rahasianya mulai terkuak.

“Apa maksud dari isi amplop ini? Di sini identitasmu tapi mengapa yang melakukan operasi adalah Putri? Siapa kau sebenarnya Raja? Jangan membohongiku”. Teriakku gusar.

“Ku mohon jangan marah dulu, Ratu. Aku tak bermaksud membohongimu. Haaaaah....itu memang aku. Aku adalah Putri, tapi itu masa lalu. Sekarang aku adalah Raja”.

“Kau memang pembohong besar. Aku tak ingin mengenalmu. Minggir”. Aku menggeser paksa tubuh Raja yang menutupi pintu kamar. Tapi Raja dengan cepat menggenggam tanganku.

“Kau tak mengerti. Ini lebih rumit dari yang kau pikirkan. Sungguh, aku tak berniat membohongimu”.

“Lantas apa?” Isakku lemah, masih membelakangi Raja.

“Ka....karena....aku menyukaimu. Dari dulu, sejak masa kecil. Ah ini, terlalu rumit. Kabar burung itu benar, Ratu. Aku menyukaimu. Semakin lama aku berada di dekatmu, semakin besarlah rasa suka itu. Barangkali malah menjadi rasa sayang yang teramat besar. Bukan seperti sesama teman. Tapi lebih dari sekedar teman, seperti lawan jenis. Aku tahu kau adalah gadis normal. Tapi tidak denganku, aku mengidap ambigous genitalia atau istilahnya kelamin ganda. Pantas saja, aku memendam perasaan kepadamu yang tak lazim dipandang orang. Kau tahu, sakit rasanya mendengar kau dijelek-jelekkan karenaku. Makanya aku putuskan untuk pergi ke luar negeri, mencari jawaban. Ketika hari janji masa kecil itu, aku sebenarnya telah datang, tapi tak berani menemuimu. Aku khawatir kau takkan menerimaku sama halnya saat ketidakterimaanmu dikatakan lesbian. Untuk itu, aku mengarang cerita ini. Secara harfiah pun, Putri telah mati. Kini, aku adalah Raja. Ku mohon terimalah kenyataan ini”. Pintanya getir.

“Lepaskan aku”. Aku tak menggubris pintanya. Pergi sejauh mungkin dari tempat itu. Meninggalkan Raja yang terkulai tak berdaya.
***

Aku tak tahu hendak kemana. Ku turuti saja langkahku pergi. Tahu-tahu sudah tiba di taman kota. Duduk di bangku panjang. Dalam isakan yang mulai menderas, kesadaranku membaik.. Seketika aku berlari kecil menuju pohon besar di taman. Di sana ada capsule time milik aku dan Putri. Aku menggalinya. Sejak dulu, aku selalu penasaran apa yang dituliskan Putri dalam secarik kertas di capsule time itu.

Kotak itu kini ada di hadapanku. Lantas aku membukanya. Aku terperangah membaca kertas Putri. Lalu berlari kencang menuju kediaman Raja. Setiba di sana, aku mendapati tatapan nanar yang berubah kaget melihatku ngos-ngosan hadir di kamarnya.

“Namaku Ratu. Hanya Ratu. Aku menyukaimu, Raja”. Ucapku mantap.

Di hadapanku Raja menangis perlahan lalu menjawab,” Namaku Raja. Dan aku menyukaimu, Ratu. Dari dulu, kini, dan sekarang”.
***  

Ratu untuk Raja. Dan Raja untuk Ratu. Selalu begitu. Pasti.
 

Salam sayang dariku,
Seseorang yang krisis identitas ^_^

Senin, 20 Januari 2014

Senandung Cinta dalam Hujan

Sore ini, sempurna awan hitam mengungkung langit. Menyembunyikan senja yg terbalut warna merah di balik hari. Tak ada lagi keramaian. Hanya senyap dan gemuruh angin saling bersahut-sahutan.

"Ah, sepertinya, hujan lebat akan turun malam ini. Tidak. Tidak malam. Mungkin saja sebentar lagi," desah seorang gadis di balik jendela, Rima namanya.

Lama benar, ia menikmati pemandangan di luar sana. Meskipun hanya gelap yg kini mulai bertandang di langit sore ini. Tapi ia tak bergeming. Sama seperti tak bergemingnya ia ketika peristiwa menyedihkan itu terjadi beberapa hari yg lalu. Ia hanya terpaku, membisu.

************************************************************
"Tidak bisa, Ma. Aku sibuk. Banyak tugas kuliah yg menumpuk. Bukankah teman-teman yg lain ikut serta?" ujar gadis tersebut pada temannya.

"Tapi mereka menunggu kedatanganmu. Kau lah yg paling mereka cari. Bukan yg lain. Tidakkah kau sedikit saja meluangkan waktumu?"

Gadis itu acuh, tak menghiraukan. Ia kukuh pada pendapatnya. Ada banyak hal yg harus ia urus. Urusan ini pastilah banyak yg berpartisipasi. Jadi cukuplah untuk mewakili ketidakhadirannya.

"Baiklah. Terserah mu saja," jawab sang teman sembari menghela napas.
**************************************************************
"Kak Rima. Kak Rima. Ada tamu. Cepetan Ka," panggil adiknya yg muncul di balik pintu kamar

Rima yg tengah mengerjakan paper, menoleh pada adiknya. Ia termangu. "Hujan deras begini, ada yang mencariku?" bisiknya dalam hati. "Ayolah, Ka. Kasihan tamu kakak basah kuyup. Ia tak mau disuruh masuk. Katanya ada hal darurat yang harus kakak tahu," kata sang adik sambil menarik tangan Rima yg masih terdiam.

Rima yg sontak menyadari ada yg ganjil, lantas mengikuti langkah sang adik menuju teras rumah. Dan di sanalah, ia menemukan Aira dengan wajah sendu.

"Kau kenapa? Ada apa? Ayo, masuklah dulu ke dalam. Kau basah kuyup".

"Tidak, Rima. Aku tidak bisa. Waktunya terbatas. Kau harus tahu hal ini".

"Maksudmu?"

Dengan patah-patah, Aira menjelaskan suatu kejadian yg membuatnya tercengang. Tidak. Tidak. Tidak. Gemerutuk giginya menahan emosi yg hendak keluar.

"Rumah buku itu musnah hancur ditelan api. Tak tahu darimana asal muasal api itu datang. Seketika lenyap tak berbekas. Anak-anak selamat kecuali......kecuali....," kalimatnya terhenti, membuat penasaran Rima yg mulai tak sabaran.

"Kecuali Rangga dan Sinta. Kami tak dapat menemukan mereka di manapun. Mereka sempurna menghilang setelah tahu kabar kau tak hadir. Mereka marah dan bersembunyi entah di mana. Kami tak tahu keadaan mereka, Ma. Kau harus ikut aku. Karena kau yg paling dekat dengan mereka".

Tanpa ba bi bu, Rima melangkah masuk ke rumah. Lantas mengambil keperluan yg cukup ia bawa. Bersama-sama dengan Aira, ia pergi ke rumah buku tersebut. Rima mendesah semakin kuat. "Kumohon, Rangga dan Sinta, kalian baik-baik saja".

Sayangnya kenyataan tersebut berbanding terbalik dengan pengharapannya. Sesampainya di rumah buku, Rima rusuh memasuki bangunan tersebut. Sempat beberapa kali, ia ditahan oleh polisi. Tapi ia kepalang khawatir. Akhirnya, polisi tersebut memperkenankannya masuk ke dalam TKP sambil didampingi Aira dan beberapa polisi tanggung.

Tak perlu lama, Rima menemukan dua bocah itu terbujur kaku sambil berpelukan. Air mata Rima meleleh seketika. Kedua bocah yg amat disayanginya itu tak selamat. Tubuh Rima bergetar kuat, menyaksikan kepedihan yang di luar kuasanya. Aira berusaha menghibur. "Bersabarlah".

"Ini salahku. Seandainya aku hadir ke sini. Pastilah mereka selamat. Ini salahku. Ini salahku. Aku membunuh mereka dengan ego ku".
**************************************************************
Usai kejadian naas itu, Rima sering uring-uringan. Ia tak mau makan. Mengurung diri. Mengutuk dirinya atas kejadian itu. Perlu beberapa hari, hingga akhirnya Rima mau bangkit lagi. Ketika Aira membawakan surat untuknya. Ketika ia membaca surat itu, lantas menangis di pelukan Aira.

"Ka Rima. Maafkan kami yang sempat marah pada kakak. Kami sayang Ka Rima karena Allah".
**************************************************************
Dugaan Rima tepat. Hujan mulai turun membasahi bumi sore ini. Ia menghela napas panjang. Hujan ini mengingatkannya pada dua bocah itu, luka, dan penyesalannya. Namun ia harus tetap melangkah maju. Peristiwa itu memang menjadi hantaman keras bagi batinnya. Namun, ia mesti bijak mengambil hikmah di dalamnya. Kedua bocah itu melahirkan pemahaman baru yang lebih baik baginya.

Puas memandangi hujan, Rima balik arah menuju laci belajarnya. Membuka kotak kecil berwarna biru muda. Ia tersenyum. "Ka Rima pun sayang pada kalian karena Allah," mengucapkannya sembari memegang secarik kertas koran berisikan :

"Ditemukan dua bocah berinisial R dan S meninggal dalam keadaan berpelukan ketika kebakaran rumah buku terjadi beberapa hari yg lalu. Yang menarik dari peristiwa ini, tubuh kedua bocah tersebut tidak terpanggang dimakan api. Tubuh mereka bersih dan bercahaya. Disinyalir kematian mereka disebabkan ketika mereka tertidur, tanpa sadar telah banyak gas CO2 yang mereka hirup. Ini salah satu keajaiban Tuhan. Bahwa Tuhan pun menyayangi mereka dengan mengambil roh mereka kemudian mengangkat mereka di sisi-Nya dengan kebakaran ini................................"