Jumat, 07 Maret 2014

Ratu Untuk Raja

Namaku Ratu. Hanya Ratu. Titik. Pernah suatu ketika aku mempertanyakan perihal nama ini, orang tuaku hanya berkata,” Semoga engkau menjadi ratu yang sebaik-baiknya ratu”. Aku hanya mendelik, tak mengerti. Memutuskan untuk tak bertanya lebih jauh lagi.

Namaku Ratu. Hanya Ratu. Orang-orang bilang “ratu” adalah jabatan tertinggi dalam sebuah kerajaan. Sayangnya aku tinggal di Indonesia yang notabene berbentuk republik. Jadi apa makna dari namaku. Sekali lagi aku menggeleng. Tidak tahu.

Namaku Ratu. Hanya Ratu. Ketika kisah ini mulai menemukan muaranya, barulah aku menyadari makna ratu yang sebenarnya. Sederhana sekaligus mencengangkan.
***

Jingga raksasa mulai tertoreh di langit sore. Menawarkan panorama indah yang menggiurkan mata. Memang tak lama, tapi setidaknya bagi sebagian orang hal itu sudah cukup untuk menutup hari yang melelahkan.

Sama halnya yang kulakukan kini. Memilih pergi ke taman, duduk di bangku panjang, mengamati suasana di sekitar lantas beranjak pulang ke rumah. Tak ada yang spesial. Setidaknya beberapa kali kunjungan rutin ku ke taman belakangan ini.

Namun, sejak pukul empat sore, aku memutuskan untuk pergi ke taman lebih cepat dari jadwal kunjungan sebelumnya. Duduk rapi di bangku panjang favoritku sembari memegang sebuah boneka beruang. Aku tersenyum tipis. Sebentar lagi tiba. Ia akan datang. Janji masa kecil akan terwujud.

Lima menit, aku tetap anggun berada di posisiku. Menatap segerombolan anak kecil bermain ayun-ayunan. Beberapa di antaranya malah tengah berlarian mengejar temannya satu sama lain. Tak jauh dari tempat anak-anak tersebut bermain, beberapa muda-mudi juga sedang bersenda gurau, diiringi semburat merah khas remaja yang baru dimabuk cinta.

Setengah jam berlalu, suasana di taman semakin ramai. Orang-orang dewasa mulai berdatangan. Jalan santai, berkumpul dengan anggota klub, dan banyak lagi kegiatan yang sedang berlangsung di taman. Maklum, lokasi taman yang berpusat di tengah kota memang menjadi tempat favorit yang digandrungi masyarakat. Tak terkecuali aku.

Bahkan taman ini malah nyaris menjadi tempat bersejarah bagiku. Oleh karena itu, di sela rutinitas harianku, aku selalu menyempatkan untuk pergi ke taman. Meski pernah terhenti karena jadwal kuliah yang semakin padat.

Mengapa bersejarah? Mari ku ceritakan kisah sebelas tahun yang lalu. Ketika umurku 10 tahun. Ketika aku mulai mengenalnya, bersama, kemudian terpisah begitu saja.
***

“Ratu, ayo pulang. Sudah sore”. Ibu meneriakiku yang masih asyik bermain seluncuran. Selalu menyenangkan saat tubuhmu meluncur jatuh ke bawah tanah begitu cepat. Merasakan sensasi angin yang berhembus ketika berpacu dengan kecepatan. Namun tiba-tiba saja jatuh meringis kesakitan sesaat usai mendengar teriakan seseorang.

“Aduh”. Aku terduduk dengan seluruh permukaan badan penuh pasir, menyisakan lecet di beberapa bagian tubuhku. Aku mengeluh. Semestinya peluncuranku berjalan mulus sewaktu aku melakukan manuver andalanku. Namun teriakan ibu membuat pendaratan tiba di pasir menjadi kacau. Bagaimana tidak. Refleks aku berdiri. Alhasil, karena tubuhku tak seimbang, aku kembali terjerembab mencium bau khas pasir.

“Kau tidak apa-apa, Ratu?”

“Tak apa-apa, Bu. Hanya sedikit lecet”.

“Oh, apa yang terjadi padamu? Mengapa badanmu penuh pasir? Ayo, segera pulang. Bersihkan seluruh badanmu. Biar nanti Ibu obatin lukamu”. Kata Ibu ketika terperangah melihatku dalam kubangan pasir.

Di saat langkahku hendak mengikuti langkah Ibu, mata kecilku menangkap sesuatu yang tak biasa. Sekerumunan anak cewek. Entah apa yang tengah dikerubungi mereka. Akan tetapi, sepertinya itu adalah sesuatu hal yang menarik. Rasa ingin tahuku membuncah. Melupakan perintah ibu untuk segera pulang. Segera berlari menuju keramaian di sana.
***

“Setahuku, 5 lawan 1 adalah tindakan pengecut. Bagaimana kalau tambah satu”. Aku menatap geram sekelompok anak cewek di hadapanku. Ternyata hal menarik yang mereka lakukan adalah menindas cewek yang kini terkapar lemah. Aku tak tahu perihal apa yang menyebabkan perkelahian. Yang jelas tindakan mereka sangatlah tidak adil.

Menyadari ancaman baru dari orang asing, ketua kelompok memutuskan pergi dari tempat itu. Sepeninggal mereka, aku lantas membantu cewek tersebut berbenah diri. Memapahnya menuju ke rumahku.

“Astaga, ini siapa Ratu?”

Aku menggeleng. Tidak tahu. Hanya kasihan melihat dirinya. Barangkali saja Ibu akan bantu membersihkan luka-lukanya. Barulah aku mengantarnya pulang. Ibu tak banyak bicara, cakap membereskan sisa-sisa perkelahian yang tadi aku saksikan. Sekarang, anak cewek itu nampak lebih baik keadaannya. Duduk di kursi tamu dengan malu-malu.

“Aku Ratu. Nama kamu siapa?”

“A...a....ku.....Raja, ehm...maaf...maksudku...namaku Maharaja Putri. Panggil saja Putri”.

Aku mengernyit. Urung bertanya lebih lanjut. Raja.....eh...maksudku Putri sepertinya masih trauma dengan kejadian itu.
***

Esok paginya di kelas nampak riuh. Sepertinya ada anak baru yang akan masuk ke kelasku. Tak berapa lama kemudian, bel telah berbunyi. Keriuhan tersebut teredam beberapa saat. Langkah kaki pun mulai terdengar di sepanjang lorong kelas. Teman-teman di kelas nampak tegang.

Dan akhirnya yang ditunggu-tunggu pun datang. Pak Alvi masuk ke kelas dengan seorang anak cewek. Yang lebih mengejutkan lagi adalah anak cewek tersebut tenyata Putri. Eh. Aku sontak kaget melihat sosoknya di depan kelas.
***

“Ratu, boleh aku duduk di sampingmu?”.

Eh. Lagi-lagi aku terlonjak kaget. Yang menyapa malah mengulum senyum manis. “Hem....ya...silahkan”. Selanjutnya percakapan pun mulai berjalan normal.

Tak terbayangkan hari-hari berikutnya, aku kian akrab dengan Putri. Putri anak yang menyenangkan. Bahkan kami pernah membuat capsule time untuk mengabadikan persahabatan kami. Di hari ulang tahunku, Putri juga tak lupa menghadiahkan sebuah boneka beruang yang sudah lama ku incar. Saking akrabnya hingga tersiar kabar burung yang tak menyenangkan. Aku dan Putri sama-sama saling menyukai.

Kabar burung ini makin terdengar kencang ketika fakta bahwa banyak anak-anak cowok yang menyukai Putri tak mendapat tanggapan positif dari si empunya. Putri malah semakin menempel padaku. Hey, aku berseru kesal. Bisa-bisanya mereka percaya saja dengan kabar burung itu. Lagipula kami masih anak-anak. Tak perlulah terlalu berlebihan. Aku dan Putri hanya berteman. Siapa pula yang berniat suka dengan cowok di kelas. Semuanya pengecut begitu.

Bila aku bersungut-sungut menanggapi kabar burung itu. Berbeda halnya dengan Putri. Tak ada reaksi. Sepertinya ia jauh lebih dewasa daripadaku. Atau ia memang tak tahu apa-apa. Aku tak berani menanyakannya.

Lepas dari kabar burung itu, sebenarnya kabar lain tentang Putri juga mengusikku. Ya, tentang namanya yang memang agak aneh. Apalagi terkadang bila bersamaku, ia tak jarang mengucap Raja kemudian berganti Putri. Begitu berulang kali tiap ia seketika melamun di tengah obrolan.

Hingga kejadian itu mengacaukan semua kebersamaan kami. Pulang sekolah, Putri tak pulang bersamaku. Katanya ada yang ingin mengajaknya bertemu. Aku senyam-senyum. Ada yang hendak menyatakan rasa sukanya pada Putri. Baiklah, aku memutuskan pergi. Lagipula aku ada rencana mengunjungi toko kue di ujung sekolah sana.
***

“Hahahahaha....ternyata benar kabar burung itu. Kau suka dengan Ratu. Kalian adalah pasangan lesbian”. Ujar seseorang saat aku tak sengaja melintasi taman kota. Mendengar nama Ratu disebut, rasa-rasanya aku seperti tengah dibicarakan. Penasaran, aku mendatangi arah suara tersebut berasal. Lihatlah, Putri dan seorang anak cowok lagi bersitegang.

“Kau. Jangan bicara hal yang buruk tentang Ratu. Kau tidak tahu apa-apa”. Sahut Putri membela diri. Anak cowok tersebut meradang, hendak mendorong jatuh Putri. Untungnya aku gesit menahan tubuh Putri. Spontan keluar dari persembunyian ketika Putri terancam.

“Aha....kejadian ini membuktikan kalian memang lesbian”. Ungkap anak cowok itu sambil berlalu pergi. Aku hendak membalas tapi keburu dicegah Putri. “Aku tak apa-apa, Ratu”.

Sejak kejadian itu, Ratu mulai menjauhiku. Ketika aku sapa, ia membuang muka seakan tak mengenalku. Ketika aku ajak mengobrol, ia lantas pergi begitu saja lalu bergabung dengan teman yang lainnya. Sikapnya makin membuatku jengkel sekaligus penasaran. Oleh karena itu, aku memilih pergi ke rumahnya untuk bicara baik-baik dengan Putri.

Sayangnya, ketika aku mengunjungi rumahnya., kabar tak terduga mengagetkanku. Putri akan pindah ke Australia. Secepat ini. Aku tak percaya padahal aku hendak menanyakan perihal mengapa ia menjauhiku. Barulah saat Putri bersedia menjelaskan alasannya setelah tiga kali kunjunganku yang tertolak, aku menggenggam janji masa kecil.

“Tak ada apa-apa. Aku hanya khawatir kau dianggap buruk karena berteman denganku. Makanya aku menjauh sementara. Lagipula Ratu sepertimu hanya pantas untuk Raja bukan Raja gadungan seperti aku. Meski namaku ada embel raja tetap saja aku seorang perempuan. Tak mungkin kan aku menyukaimu. Kita hanya berteman. Jangan lupakan aku ya”. Ujar Putri yang tak ku pahami sepenuhnya.

“Ehm...sebelas tahun lagi kita akan bertemu di taman kota. Janji ya”. Putri mengangguk, tersenyum menyanggupi janji yang begitu saja keluar dari mulutku.
***

Dan disinilah aku berada. Menanti kehadiran Putri yang tak kunjung datang. Sudah hampir 2 jam aku menunggu. Sosok Putri tak juga nampak batang hidungnya. Jingga raksasa pun berangsur-angsur menjadi gelap. Orang-orang juga sudah banyak yang pulang ke rumah. Aku menggigit bibir. Putri pasti datang. Putri pasti datang. Namun nyatanya hingga hanya aku sendirian yang berada di taman, Putri tak juga datang. Aku memutuskan pulang. Tak ada gunanya menunggu lebih lama lagi. Putri takkan datang.

Tiba di rumah, aku juga tak mendapati kabar kedatangan Putri ke rumah. Hari-hari selanjutnya pun sama saja. Membuatku murung sepanjang harian. Tak berselera makan apalagi melakukan kegiatan.
***

“Ratu, ada tamu. Bukakan pintunya”. Aku yang sedang berada di ruang tengah berjalan gontai menuju pintu rumah. Dan mendapati sosok pemuda tampan. Hey, wajahnya nampak asing bagiku tapi aku serasa telah mengenalnya lama. Ia tersenyum. Lalu memperkenalkan namanya. Raja.

“Ada Ratu nya tidak?”. Tanyanya sekali lagi. Aku menjawab gagap. “Ah ya, aku sendiri yang bernama Ratu. Maaf, silahkan masuk”. Aku menyilahkan tamu lelaki ini masuk ke dalam rumah. Sepersekian detik tadi aku melongo mendengar nama lelaki itu. Raja. Aku menggeleng-geleng pelan. Teringat kata-kata Putri sebelas tahun yang lalu. Ditambah fakta bahwa belum ada seorang temanku pun yang bernama Raja. Jadilah aku berpikiran macam-macam. Jangan-jangan. Dan jangan-jangan.

“Ada maksud apa kedatangan...ehm...Raja ke rumahku? Apakah kita saling mengenal?”

“Sebenarnya aku adalah sepupu Putri, Maharaja Putri. Aku ingin memberikan kabar tentangnya. Bahwa dia........”. Kalimatnya menggantung, membuatku was-was.

“Bahwa dia apa.....?”.

“Dia telah meninggal dunia 7 tahun lalu”. Ungkapnya lemah.

“Tak mungkin. Itu mustahil. Selama ini, aku sering bertukar kabar dengannya. Lantas kalau ia sudah meninggal dunia. Siapa yang selalu menjawab pesan email ku tiap hari?”

“Itu aku. Putri menyuruhku untuk berkomunikasi denganmu sepeninggal dirinya. Ia tak mau kau tahu tentang kejadian naas yang menimpanya. Bahkan janji kalian sebelas tahun yang lalu, ia limpahkan kepadaku. Ia menyuruhku menjagamu, Ratu. Ia berharap kau takkan bersedih ketika tak ada lagi dirinya”.

Aku nyaris terjatuh mendengar kenyataan yang mencengangkan dari mulut seorang Raja. Tak mungkin. Tak mungkin Putri sudah meninggal. Aku tak terima. Tubuhku sontak berguncang kuat. Aku menahan tangis sedari tadi mendengar penuturan Raja.

Kini bulir-bulir air mata jatuh begitu saja disaksikan Raja. Setiap kali aku mencoba menolak kenyataan itu, setiap kali pula bukti-bukti yang ditunjukkan Raja padaku memperjelas semuanya. Aku terenyuh. Raja menatap prihatin padaku.

“Maaf harus menemuimu dalam keadaan yang tak menyenangkan. Aku tak bermaksud membuatmu bersedih. Semoga esok kita bisa bertemu dengan keadaan lebih baik. Aku akan lama berada di sini. Aku hendak melanjutkan studi ku di sini. Ku harap kita bisa berteman seperti pinta Putri”.
***

Meski aku syok dengan kabar Putri selama beberapa hari kemarin. Aku tak ingin lagi berlama-lama mengenangnya dengan kesedihan. Akhirnya ku putuskan menemui Raja. Bernostalgia bersama Raja dengan topik seputar Putri akan jauh lebih menenangkan.

Keesokan harinya, aku menemui Raja. Tak sulit menemui Raja sebab ia tinggal di rumah Putri yang dulu. Raja pun juga menyambutku dengan ramah. Seakan ia telah lama mengenalku, ia membuat percakapan di antara kami tak menjadi canggung.

Aku baru tahu. Raja pernah menyelesaikan studinya di Australia. Di sanalah, Putri dan Raja mulai menjalin hubungan yang lebih intens layaknya sebuah keluarga. Bosan di Australia, ia memilih balik ke Indonesia, belajar studi yang baru di perguruan tinggi di kota kami.

Sepanjang hari itu, Raja setidaknya berhasil mengusir kesedihan yang mengungkungku. Berganti dengan keceriaan yang sama persis diciptakan oleh Putri di masa lalu.

Lambat laun, hubungan kami pun semakin dekat. Menorehkan segumpal perasaan yang belum pernah ku temui. Kini, tiap bertemu Raja, mukaku sontak memerah. Seperti muda-mudi yang sering kulihat di taman. Tapi aku tak berani menanyakan kejelasan hubungan kami. Apakah ia suka aku? Apakah aku hanya teman baginya? Aku tak berani. Hanya menerka-nerka. Menganggap diriku tak pantas untuk seorang Raja yang tampan, pintar, dan berbakat dalam segala hal.
***

Hari ini kami janjian bertemu, ada bakti sosial di rumah buku tempatku bekerja. Aku menjemputnya. Raja sepertinya masih sibuk berbenah diri. Ia menyuruhku masuk saja ke dalam kamar yang sebenarnya kamar Putri. Aku ragu. “Tak apa. Daripada di ruang tamu, mending di kamarku menonton TV. Aku masih agak lama jadi kau akan baik-baik saja”. Baiklah, aku mengangguk.

Ini pertama kalinya aku masuk ke dalam kamar Putri setelah sekian lama. Tak banyak yang dipermak oleh Raja. Aku memutuskan untuk berkeliling mengitari kamar. Terkadang terhenti sejenak di sudut tertentu, mengenang kebersamaan kami. Tak sengaja, di meja belajar, mataku menemukan sebuah bingkai foto yang terjelungkup ke bawah.

Iseng, aku pergi menuju ke meja belajar. Ku coba membuka bingkai foto tersebut. Ternyata foto Putri waktu kecil. Dan ketika itulah peristiwa mengejutkan lainnya datang. Di bawah bingkai foto itu terdapat amplop coklat berukuran besar yang tak sengaja terjatuh di kakiku. Ini apa? Rasa penasaranku membuncah. Aku membukanya.
***

“Aku sudah siap Ratu. Ayo kita berangkat”. Raja membuka pintu dan heran melihatku yang melongo sambil menggenggam sesuatu. Raja seketika sadar. Rahasianya mulai terkuak.

“Apa maksud dari isi amplop ini? Di sini identitasmu tapi mengapa yang melakukan operasi adalah Putri? Siapa kau sebenarnya Raja? Jangan membohongiku”. Teriakku gusar.

“Ku mohon jangan marah dulu, Ratu. Aku tak bermaksud membohongimu. Haaaaah....itu memang aku. Aku adalah Putri, tapi itu masa lalu. Sekarang aku adalah Raja”.

“Kau memang pembohong besar. Aku tak ingin mengenalmu. Minggir”. Aku menggeser paksa tubuh Raja yang menutupi pintu kamar. Tapi Raja dengan cepat menggenggam tanganku.

“Kau tak mengerti. Ini lebih rumit dari yang kau pikirkan. Sungguh, aku tak berniat membohongimu”.

“Lantas apa?” Isakku lemah, masih membelakangi Raja.

“Ka....karena....aku menyukaimu. Dari dulu, sejak masa kecil. Ah ini, terlalu rumit. Kabar burung itu benar, Ratu. Aku menyukaimu. Semakin lama aku berada di dekatmu, semakin besarlah rasa suka itu. Barangkali malah menjadi rasa sayang yang teramat besar. Bukan seperti sesama teman. Tapi lebih dari sekedar teman, seperti lawan jenis. Aku tahu kau adalah gadis normal. Tapi tidak denganku, aku mengidap ambigous genitalia atau istilahnya kelamin ganda. Pantas saja, aku memendam perasaan kepadamu yang tak lazim dipandang orang. Kau tahu, sakit rasanya mendengar kau dijelek-jelekkan karenaku. Makanya aku putuskan untuk pergi ke luar negeri, mencari jawaban. Ketika hari janji masa kecil itu, aku sebenarnya telah datang, tapi tak berani menemuimu. Aku khawatir kau takkan menerimaku sama halnya saat ketidakterimaanmu dikatakan lesbian. Untuk itu, aku mengarang cerita ini. Secara harfiah pun, Putri telah mati. Kini, aku adalah Raja. Ku mohon terimalah kenyataan ini”. Pintanya getir.

“Lepaskan aku”. Aku tak menggubris pintanya. Pergi sejauh mungkin dari tempat itu. Meninggalkan Raja yang terkulai tak berdaya.
***

Aku tak tahu hendak kemana. Ku turuti saja langkahku pergi. Tahu-tahu sudah tiba di taman kota. Duduk di bangku panjang. Dalam isakan yang mulai menderas, kesadaranku membaik.. Seketika aku berlari kecil menuju pohon besar di taman. Di sana ada capsule time milik aku dan Putri. Aku menggalinya. Sejak dulu, aku selalu penasaran apa yang dituliskan Putri dalam secarik kertas di capsule time itu.

Kotak itu kini ada di hadapanku. Lantas aku membukanya. Aku terperangah membaca kertas Putri. Lalu berlari kencang menuju kediaman Raja. Setiba di sana, aku mendapati tatapan nanar yang berubah kaget melihatku ngos-ngosan hadir di kamarnya.

“Namaku Ratu. Hanya Ratu. Aku menyukaimu, Raja”. Ucapku mantap.

Di hadapanku Raja menangis perlahan lalu menjawab,” Namaku Raja. Dan aku menyukaimu, Ratu. Dari dulu, kini, dan sekarang”.
***  

Ratu untuk Raja. Dan Raja untuk Ratu. Selalu begitu. Pasti.
 

Salam sayang dariku,
Seseorang yang krisis identitas ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar