Biarpun aku berada di kerumunan orang-orang itu. Aku tetap merasa sepi. Mungkin mereka benar. Aku bukanlah orang yang cocok bergaul di lingkungan mereka. Aku pantasnya berteman dengan sepi. Aku mendesah. Lagi-lagi aku menyangkal. "Diriku bukan tak memiliki teman. Ah...tentu saja aku punya. Mereka saja yang tak tahu menahu" ujarku menyemangati diri. Sore itu, langit tampak kelabu, seolah-olah ikut mengejek nasib buruk yang menimpaku. Tapi, aku tak peduli. Berkas-berkas pendaftaran itu lebih menyita waktuku. Aku menyadari bahwa aku membiarkan sepersekian detik tadi menyeretku pada proyeksi peristiwa kemarin lalu. Aku menggeleng-geleng sambil menggerutu,"Enyah kau".
Seusai berkata seperti itu, aku meneruskan kembali pekerjaanku. Tak perlu waktu yang lama, pekerjaanku pun selesai. Setengah jam kemudian, berkas-berkas itu pun telah tersusun rapi di meja belajar. Esok pagi, berkas-berkas itu harus segera diserahkan ke Mba Sita.
******************************************
"Mba, besok aku izin gak masuk ya. Ada ujian".
"Oke, mba izinkan. Tapi jangan lupa kerjaanmu ya. Minggu depan deadlinenya".
Ku acungkan jempolku tanda setuju seraya tersenyum melihat Mba Sita yang masih menaruh perhatian padaku sedari tadi padahal ia begitu banyak pekerjaan. Setelah memohon izin pada Mba Sita. Aku pamit keluar dari ruangannya. Lalu, bergegas pergi menuju meja kerjaku. Ku bereskan semua barang-barangku. Kemudian, aku pergi dari kantor kecil itu.
*****************************************
Braak..bruuk...brak.....buku-buku dan semua yang ada di meja belajar hancur berantakan. "Salahku apa pada mereka. Kalau mereka tak menyukaiku tak mengapa. Tapi, jangan menghancurkan impianku. Impian yang selama ini ku perjuangkan. Mereka kejam," isakku tergugu di pojok kamar.
Ya, hari ini tiba-tiba Pak Anwar memanggilku. Aku bingung saat itu, tumben sekali Pak Anwar memanggilku secara mendadak. Ternyata, ia memberikanku hukuman, aku diskors selama 1 bulan karena ketahuan bekerja diam-diam tanpa seizin pihak sekolah. Aku terhenyak, sejauh ini tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa aku memiliki pekerjaan sampingan di luar sekolah. Aku memang sengaja merahasiakannya karena pihak sekolah secara tegas melarang para muridnya bekerja. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak punya uang sedangkan mereka (yang mengatakan bahwa mereka adalah teman-temanku) terus mengambil paksa uang yang ku miliki. Mereka bilang, "Uang ini buat bersama, kau kan teman kami, jadi semua teman yang ada di kelompok kita termasuk kamu harus saling menyumbangkan uangnya. Masa enak-enakkan gak keluarin uang sih. Ga fair tau".
Saat itu, aku mengikut saja. Aku berusaha sebisa mungkin untuk memiliki uang yang cukup bila mereka membutuhkannya. Aku tak bisa mengatakannya pada ibu, bagaimanapun aku telah bertekad takkan meminta uang sepersen pun dari ibu setelah aku berada di Banjarmasin. Hal ini ku lakukan agar uang yang ibu kumpulkan dapat membiayai sekolah Andra, adikku. Aku hanya bertumpu pada pemberian uang saku yang tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari di sini.
Terpontang-panting mencari pekerjaan yang bisa ku lakukan secara diam-diam terus ku lakoni. Tadinya aku ingin berhenti saja, tak lagi melanjutkan untuk bekerja. Lambat laun pun aku juga menyadari bahwa mereka hanya memanfaatkanku saja. Ya, mereka memanfaatkanku karena sebagai anak baru, aku berhasil menyabet beberapa prestasi belum lagi ditambah dengan pencalonan ku menjadi siswa teladan tahun ini. Mereka iri. Awalnya saja mereka bermuka malaikat di hadapanku, meyakinkanku akan ketulusan sebuah persahabatan lalu setelah itu aku dijatuhkan dengan telak.
Desas-desus mengenai diriku yang menjadi babu mereka itu sebenarnya telah tercium lama namun aku menyanggahnya. Lalu, baru ku ketahui bahwa berita itu benar adanya ketika pentas drama di sekolah diadakan. Dengan gamblangnya mereka berkata," Iya, memang kami memanfaatkanmu hanya karena kamu itu pintar. Selebihnya nothing. Kamu tetap cupu, ngebosenin, gak gaul. Pantas saja, kamu sering menyendiri. Memang cocoknya kamu berteman sama kesepian bukan sama kami. Seharusnya, kamu itu bersyukur karena kami mau berteman sama kamu. Ini malah sok-sok suci. Pergi deh cupu dari hadapan kami. Malam ini kamu keluar dari kelompok kami".
Tubuhku kembali bergetar hebat, melawan ketidakberdayaan atas kejadian yang saat ini ku alami. Aku tahu bahwa merekalah pelakunya namun tak ingin ku perpanjang masalah ini berlarut-larut. Cukup aku saja, bukan yang lain. Di tengah-tengah kepiluanku, aku mengingat perkataan Pak Anwar siang tadi. "Saya berikan skors selama 1 bulan atas pelanggaranmu ini, Nalika. Akan tetapi, kau pun harus segera berhenti dari pekerjaanmu itu. Kalau tidak, dengan berat hati, saya terpaksa mengeluarkanmu dari sekolah ini. Paham ?"
Tak ada anggukan ataupun tanda persetujuan yang kuberikan pada Pak Anwar siang itu. Aku hanya berbalik pergi sembari memohon diri keluar dari ruangannya. Dan kini, di sinilah aku berada, nyaris putus asa memecahkan masalahku ini.
Sejujurnya, aku tak ingin berhenti bekerja. Aku sudah kerasan bermitra dengan Mba Sita di kantor majalah kecil miliknya. Apalagi, setelah ku jalani selama 6 bulan ini, aku tahu bahwa aku sangat menyukai pekerjaan ini. Aku tahu bahwa aku memiliki bakat di bidang ini. Dan aku pun memiliki cita dan harapan yang tinggi ke depannya untuk segera menggapai angan tersebut menjadi nyata. Bermula ketika mba Sita mempercayakanku untuk magang terlebih dahulu di bagian kepenulisan seperti cerpen dsb. Lalu, mengikutsertakanku sebagai panitia lomba cerpen se-Banjarmasin. Ah, betapa menyenangkannya pekerjaan ini.
Tapi, segalanya kandas begitu saja seusai Pak Anwar mengklaim peryataannya. "Apa yang harus ku lakukan ? Aku tak ingin berhenti bekerja tapi aku juga tak ingin keluar dari sekolah itu"
***********************************************
Pada akhirnya, aku pun secara resmi keluar dari sekolah itu. Aku menerima keputusan Pak Anwar yang tak menerima ku lagi menjadi murid di sekolahnya dengan lapang dada. Ibu yang ku kabari berita tersebut via telepon, terdengar pasrah saja. "Ibu, tak usah khawatir dengan Nalika. Nalika akan baik-baik saja. Nalika tetap akan sekolah. Yang terpenting, ibu yakin dengan Nalika bahwa Nalika pasti bisa jadi orang yang berhasil dan membanggakan buat keluarga", ujarku pada ibu, berusaha membuat bidadari ini tak patah semangat terhadap cobaan yang tengah ku hadapi.
Setelah mengabari ibu, juga berpamitan dengan sebagian warga sekolah itu, aku beranjak pergi menuju gerbang sekolah. "Nalika, tunggu". Aku menoleh, berputar balik menghadap suara yang memanggilku. "Maafkan kami, Nalika. Kami sudah banyak berbuat jahat terhadapmu. Kami sekarang sudah menerima hukuman kami. Dan kami janji takkan mengulangnya di lain waktu".
"Ya, sama-sama. Aku juga minta maaf dan terima kasih untuk kebaikan kalian selama ini. Maaf, aku harus pergi", jawabku singkat sembari berbalik arah, membelakangi mereka.
Pintu gerbang sekolah semakin dekat saja dari pandanganku. Tak ada perasaan putus asa maupun bias kekecewaan yang ku pancarkan hari ini, hanya lega yang terasa jauh luar biasa menyinari dinding hatiku. Mereka yang menjahatiku akhirnya diberikan hukuman oleh Pak Anwar setelah seorang murid memberitahu beliau tentang kejahatan mereka terhadapku. Dan aku sebagai seorang Nalika, yang terkenal dengan kesepiannya kini tak lagi merasa sepi sebab di sampingku ada Mba Sita yang memegang erat tanganku hingga menghilang dari sekolah ini.
Mba Sita yang melihat sikapku, tersenyum manis sambil berkata," Yuk, Nalika. Waktunya kamu melihat sekolah barumu, masa depanmu". Aku pun membalas," Terima kasih Mba Sita".