Kamis, 26 Januari 2012

Sayap Mimpi dalam Istana Impian




     Siang ini, matahari tersenyum merona, menyembulkan aura panas kepada makhluk-makhluk yang bernaung  di muka bumi. Di salah satu sudut dunia, seorang gadis tengah berlari menerobos keluar dari ruang kuliah. Nampaknya, ia mulai terengah-engah, kehabisan energi. Belum lagi, teriknya matahari terasa menyengat di ubun-ubun kepala gadis itu. Beruntunglah, si gadis tiba juga di tempat tujuannya, perpustakaan kampus.
Setelah mengisi buku tamu, gadis tersebut segera mengambil tempat duduk yang letaknya tak jauh dari pintu masuk sembari membuka tasnya lalu mengeluarkan laptop. Tak berapa lama kemudian, ia hanya menatap kosong laptop yang ada di hadapannya. Airin Dhawiyah, nama gadis itu. Kini, dirinya tengah dilanda kebimbangan yang luar biasa.
Airin mendesah lemah. Beberapa menit yang lalu, ia sengaja mengirimkan sebuah pesan pada seseorang di sana, seorang pemuda dengan segala lakunya memberikan kesempatan bagi Airin untuk memulai kembali meniti impian-impian yang pernah tenggelam. Syukurlah, Airin mendapatkan restu darinya. Ya, Airin meminta izin pada orang tersebut agar berkenan dijadikan karakter tokoh dalam cerita pendeknya kali ini. Namun, masalahnya, Airin bingung memposisikan dirinya dalam cerita itu sebagai apa. Bila hanya sebagai dirinya, Airin tak banyak tahu tentang pemuda tersebut. Sedangkan, bila ia beranggapan sebagai pemuda itu, Airin harus tahu secara detail seluk-beluk kehidupan si tokoh. Setidaknya, ia bisa mendapatkan beberapa fakta yang ia butuhkan sesuai proporsi cerita. Tetapi, Airin menggeleng, mustahil ia berada dalam posisi pemuda itu.
Hatinya miris. Padahal Airin mengenal pemuda itu sejak empat tahun yang lalu tapi tetap saja ia merasa dirinya kurang mengenal baik sosok tersebut. Airin jadi teringat kata-kata seorang penulis terkenal, Mbak Helvy Tiana Rosa di akun facebook beliau beberapa hari yang lalu.
“Kadang kita merasa sangat mengenal seseorang. Namun, sesungguhnya tidak. Kita hanya merasa mengenal lalu kenyataan menghempaskan kita pada hari-hari perih yang harus kita pulihkan sendiri”.
Diam-diam, Airin setuju dengan pendapat beliau. “Kita mungkin mengenal tapi belum tentu mengetahui,” bisiknya dalam hati. Sebenarnya, ia tak perlu ambil pusing untuk membuat cerita akan menjadi apa. Bukankah, ia yang menulisnya. Bukankah, ia yang bermain-main dengan imajinasi dan khalayannya. Tapi tidak, tidak untuk cerita ini. Airin ingin cerita ini hidup dengan realita yang ada. Cerita yang benar-benar memang terjadi pada sosok yang digambarkannya bukan fiksi semata. Memang, tujuan dirinya membuat cerpen ini untuk diikutkan pada ajang lomba bergengsi. Akan tetapi, jauh di lubuk hatinya, Airin tulus mempersembahkan cerita ini untuk pemuda tersebut. Airin hanya berkeinginan agar pemuda tersebut tahu bahwa keberadaannya menjadi anugerah terindah bagi hidup Airin.
Wajah Airin kian lesu. Pada akhirnya, tak ada hal apa pun yang dapat ia kerjakan. Ia memasukkan kembali laptop yang sedari tadi menjadi bahan pelototannya. Lalu, beranjak pergi, mencari ketenangan diri.
Langkahnya yang gontai membimbingnya menuju pelataran masjid yang tak jauh dari kampusnya. Bersegeralah Airin berwudhu, menyempatkan sejenak untuk shalat tahiyyatul masjid lalu mengerjakan shalat sunah Duha. Airin bersyukur, waktu Duha belum berakhir.
Bagi Airin, tiap-tiap detik yang dilaluinya dengan bermunajat pada sang Khalik, mampu mengusir gundah dan jemunya menapaki dunia yang digelutinya. Mengembalikan pikirannya menjadi jernih seusai mengulum tangis di sela-sela kekhusyukan berdoa. Airin berharap, dirinya bisa kembali seperti sedia kala agar ia dapat segera menyelesaikan cerpen itu.
Jam di dinding masjid menunjukkan pukul 11.30 WITA. Tak lama lagi, waktu untuk menunaikan shalat Dzuhur akan tiba. Karenanya, Airin memutuskan untuk menetap lebih lama di dalam masjid.
Mukena yang sedari tadi membungkus tubuhnya, ia lepaskan dan dirapikannya sambil beranjak bangkit dari posisi shalatnya. Airin beringsut perlahan-lahan, mencari letak yang nyaman untuk beristirahat. Kemudian, ia memasukkan mukena ke dalam tas abu-abu miliknya, dan bergantilah mukena itu menjadi beberapa lembar kertas putih dan sebuah pena. Kali ini, Airin lebih memilih kedua benda tersebut untuk menemaninya melanjutkan cerpen yang ia buat. “Lebih santai juga menenangkan”, pikirnya dalam hati.
Di sela-sela pena menggoreskan untaian kata-kata lembutnya, Airin terkenang akan masa lalunya. Masa di mana, sosok pemuda tersebut pernah hadir dalam warna hidupnya. Saat itu, saat ini juga di masa depan. Karena Airin tak akan pernah melupakan keberadaan pemuda itu selama hidupnya.
Kala itu merupakan masa pergantian kelas. Anak-anak seusia Airin kian berkeliaran mencari kelas barunya. Ya, saat Airin menginjak kelas X IPA di semester II dan di sanalah, di kelas itu, Airin mengenal pemuda tersebut untuk pertama kali.
Airin tak pernah membayangkan bagaimana mungkin tubuhnya dengan ringan menyapa pemuda itu. Padahal ia tahu, ia bisa saja menjadi sangat pemalu. Belum lagi, Airin harus menghadapi teman-teman perempuannya yang berebut berkenalan dengan pemuda itu. Airin terhenyak, ia baru sadar telah melewati kejadian konyol itu. Sejujurnya, Airin bukan lah tipe yang mudah bergaul dengan orang termasuk para lelaki. Namun, pada pemuda itu, Airin merasa sayang bila tak mengenalnya. Ada sesuatu yang menggerakkan hatinya untuk bisa memahami lebih jauh kehidupan pemuda itu. Saat itu, Airin merasa ingin menjadi teman terdekatnya secara tiba-tiba.
Nama pemuda itu Faiz. Lengkapnya Faiz Azmi Sauqi. Ya, Faiz lah yang beberapa waktu lalu ia kontak. Faiz juga lah yang membuat dirinya nelangsa dalam menulis cerita saat ini. Akan tetapi, hanya pada Faiz lah, Airin harus mengakui, dirinya berani membumbungkan segenap mimpinya dalam istana impian milik Faiz.
“Allahu Akbar….Allahu Akbar…..”.
Airin tersentak dari lamunannya. Nampaknya, adzan Dzuhur telah berkumandang. Sebaiknya, ia mesti bersiap-siap untuk menunaikan shalat. Diliriknya lembaran kertas yang ada di genggaman tangannya. Terlihat coretan-coretan yang berantakan mengisi lembaran kertas itu. Sepertinya, jari-jemari Airin bekerja sangat baik selagi ia melamun. Nanti, ia akan merevisi tulisan tersebut saat ia tiba di rumah. Sekarang, ia mesti bersua dengan pencipta-Nya, Allah Azza Wa Jalla.
Tiara menatap nanar di balik tirai jendela. Hujan masih saja mengguyur hingga petang ini seolah menjawab hatinya yang tak henti menguraikan tetesan-tetesan bening di matanya. Sungguh, di saat pikirannya jenuh seperti sekarang, tak khayal Tiara menginginkan kehadiran sahabatnya lah yang sedikit demi sedikit bisa mengikis gundahnya. Tapi, kini, ia harus berdiri sendiri. Oh, betapa rindunya Tiara pada sahabat pelanginya, Rara, Ana, Lastri, Ali, Taufan, Randi, dan Ilham.
Ilham, nama itu sontak membuat Tiara terkejut. Dihapusnya bulir mata yang tersisa di pelupuk mata, lalu Tiara mulai mengingat Ilham. Ilham Prasetya, pemuda yang pertama kali ia izinkan masuk dalam hidupnya. Tiara tersenyum miris. Bukan maksud Tiara tiada berkenan menghadirkan orang lain dalam hidupnya, tapi Tiara amatlah penutup. Ia tak mau orang lain mengetahui perjalanan takdirnya. Oleh karena itu, sahabatnya pun dapat dihitung dengan jari. Namun, pada Ilham, Tiara tak menemukan alasan apa pun untuk tak berbagi dengan pemuda itu. Meski terkadang, Tiara selalu kalah ketika berdebat bersama Ilham.
Bagi Tiara, sosok Ilham adalah sosok yang pintar, ramah, religius, juga memiliki semangat yang tinggi. Tiap kali, Tiara menatap Ilham. Di saat itulah, Tiara selalu dapat melihat pancaran bola mata Ilham berbinar-binar dengan cahayanya yang tajam. Seakan-akan, Ilham ingin mengatakan “Aku adalah raja dari istana impian ku. Tidak ada seorang pun yang boleh menghancurkan ataupun mengambil hak itu dari tangan ku. Akan tetapi, jika ada yang mau meraih mimpinya, aku akan bantu dirinya lewat sayap-sayap mimpi dari istana impian ku untuk mewujudkannya”.
Dari keenam sahabat pelangi juga Tiara, hanya Ilham lah yang kokoh menegakkan istana impian di daratan yang asing. Ya, ketika Tiara juga sahabat lainnya memutuskan melanjutkan kuliah di sini sedangkan Ilham merantau ke Australia untuk menuntut ilmu. Masih membekas di benak Tiara kala Ilham mengiriminya sebuah pesan sebagai tanda perpisahan. Padahal, saat itu, Tiara tengah menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Hatinya bukan main tak karuan. Satu sisi memikirkan ujian, sedang sisi lainnya memikirkan Ilham. Tiara tahu tak pantas ia menghalangi Ilham membuat istana impiannya ada. Akan tetapi, masihkah ia bisa menerima kebaikan dari pemuda itu meski rentang jarak yang jauh? Tiara diam, ia bingung bagaimana mesti bersikap ketika bertemu Ilham. Jujur, bila bisa, ia tak ingin bertemu Ilham sampai pemuda itu benar-benar pergi.
Sayangnya, harapan Tiara tak terkabul. Pagi itu, ketika Tiara hendak melaksanakan shalat Duha selagi menunggu waktu tes masuk perguruan tinggi tiba, ia bertemu Ilham di pelataran masjid tanpa sengaja. Beberapa saat, keduanya terlibat obrolan yang santai. Menurut Tiara, kebahagiaan yang ia rasa ketika melihat Ilham. Entah, apakah sama yang Ilham rasakan saat bertemu dirinya. Tiara tak ingin tahu.
Pada Ana, Tiara ceritakan pertemuan tak terduga itu. Lalu, muncullah sebongkah kalimat indah “Cinta Ku Berlabuh di Masjid”. Kata-kata inilah yang acapkali terlintas pada kedua sahabat tersebut sembari bersua di waktu senggang. Walaupun, subjek yang dimaksud sebenarnya ditujukan buat Ilham. Akan tetapi, Ana dan lainnya juga rupa cinta buat Tiara. Rupa dengan pesona ketulusan yang dikirimkan oleh Allah SWT sebagai anugerah dalam langit kehidupan Tiara. Tiara pernah mendengar kalimat bijak yang mengatakan “Cintailah orang-orang yang bisa mendekatkan mu pada Tuhan mu”.
“Airin, ada telepon untuk mu.”
“Iya, Bu. Sebentar”.
Mendengar panggilan ibunya, Airin segera menghentikan kegiatan menulisnya. Ia istirahatkan sejenak laptopnya kemudian bergegas menghampiri telepon di ruang tamu. Ternyata, teman kuliahnya hendak bertanya perihal materi UAS yang akan diujikan mendatang. Setengah jam kemudian, Airin telah berada pada posisinya semula. Sesaat, ia mulai membuka-buka file untuk merehatkan pikiran dan matanya pun terhenti karena sebuah hadis.
Dari Abdullah bin Mughafal al Muzani ia berkata, Rasulullah bersabda,”Takutlah kepada Allah dalam masalah sahabatku (beliau mengucapkannya) 2 x . Janganlah kalian menjadikan mereka sebagai obyek kritikan sesudah meninggalku. Siapa mencintai sahabatku maka demi rasa cintaku aku mencintainya dan barang siapa membenci sahabatku maka demi rasa benciku aku membencinya. Siapa menganiaya sahabatku maka ia telah menganiayaku, siapa menganiayaku berarti ia telah menganiaya Allah. Allah pasti akan mengadzabnya.” [Tirmidzi 3962, dishahihkan Ibnu Hibban dan disebutkan oleh al Haitsami dalam Mawaridu adh Dham’an 2284, Ahmad 4/87].
Tanpa sadar, Airin menitikkan matanya. Betapa Rasulullah SAW digambarkan pada hadis itu senantiasa menjaga persahabatan juga mencintai sahabat-sahabatnya. Dalam hati kecilnya berbisik, “Mampukah aku?”.
Terutama pada Faiz. Sebenarnya, Airin sadar ada perasaan lain terbesit di hatinya. Orang-orang pun selalu mengatakan bahwa dirinya dan Faiz amatlah cocok. Tapi, Airin tak percaya diri. “Aku khawatir tak akan bisa lagi melihat kebaikan dalam dirinya kalau di antara kami ada sesuatu yang berbeda. Biarlah saat ini, aku menjadi sahabat atau temannya saja. Agar aku sekiranya mampu menemaninya meraih mimpi”. Selanjutnya, jika Allah berkenan menjodohkannya, Airin yakin pertemuan itu akan bermuara dengan indah pada waktunya. Kalau pun tidak, Faiz tetaplah sahabat bagi Airin.
Airin masih ingat benar bagaimana ia bisa dekat dengan Faiz. Masa itu, mereka seringkali mengirimi pesan satu sama lain. Kerap kali keduanya bercerita tentang pengalaman pribadi atau mengobrol santai. Tak jarang, Airin selalu kalah bila Faiz mulai mengajak berdebat atau menjahilinya. Kehadiran Faiz, juga membawanya mengenal Dika, Rama, dan Anjar serta teman-teman lainnya. Satu sayap mimpi dari istana impian Faiz telah Airin rasakan detik itu.
Airin sadar, ia tak akan bisa terlalu dekat dengan Faiz. Faiz seperti bola emas yang senantiasa dikelilingi oleh berbagai pendaran cahaya. Akan tetapi, Airin tetap bersyukur, ia masih diberi kesempatan untuk mengikuti kisah hidup Faiz bahkan ketika pemuda itu jatuh kemudian bangkit dari keterpurukannya.
Kisah tersebut bermula ketika pengumuman kenaikan kelas di akhir semester II kelas X. Semua siswa termasuk Airin merasakan harap-harap cemas. Bisakah mereka melanjutkan ke jenjang selanjutnya atau kah tidak. Di sanalah, Airin melihat Faiz begitu nelangsa. Di kelas sebelumnya, Faiz memang mendapat peringkat 3 besar. Namun, entah mengapa, peringkatnya turun secara drastis. Baru kali itu, Airin melihat raut wajah Faiz yang kecewa. Tetapi, Airin tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, di saat yang bersamaan pula, Airin, Faiz, dan lainnya mesti mempersiapkan berbagai lomba termasuk penelitian LPIR.
Airin tahu pasti kekecewaan yang dirasakan Faiz sangat berat. Oleh karena itu, sebisa mungkin Airin kerap membantu Faiz bila pemuda itu sedang kesusahan. Syukurlah, secercap nikmat terangkai untuk Faiz. Ya, timnya terpilih sebagai finalis LPIR dan dirinya ditunjuk untuk mewakili sekolah menjalani tahap akhir di Jakarta ketika itu.
Lagi-lagi, Faiz selalu dikitari teman-temannya. Airin tentu saja ada di sana, meski hanya mampu mendukung dari sorot yang jauh, tak terperhatikan. Selanjutnya, Airin akan menyempatkan waktu untuk menelepon Faiz meski bukan dirinya yang berbicara melainkan Saskia atau sekadar mengiriminya pesan penyemangat.
Airin tak menduga, Faiz membelikannya sebuah buku seusai kepulangannya dari Jakarta. Itu sayap mimpi kedua milik Faiz, menyadarkan bahwa Faiz tetap menganggap dirinya sebagai teman walau tak seakrab dulu lagi. Sayap mimpi ketiga Faiz yang Airin temukan adalah binar mata Faiz yang kembali cerah dan menampakkan sorot kecerdasan serta motivasi yang begitu kuat.  “Syukurlah, ia bisa kembali dari keterpurukannya,” bisik Airin dalam hati.
Sesekali, Faiz akan mengajaknya belajar bersama atau melakukan kegiatan lain yang sebenarnya bisa Faiz lakukan bukan dengan dirinya. Pernah suatu ketika, Saskia memaksa Airin untuk menemani dirinya dan Faiz pergi ke warnet. Airin kontan bingung. Ia hanya mengambil sikap diam dan menuruti saja.
Dalam kurun waktu yang relatif cepat, prestasi Faiz kembali menanjak kian tahun ke tahun. Faiz telah menorehkan berbagai bentuk kekaguman kepada sekitarnya atas prestasi yang telah ia capai. Airin kagum, ia salut dengan kegigihan Faiz melawan keterpurukannya. Faiz mulai lagi mengokohkan istana impiannya dengan sayap-sayap mimpi yang lebih kuat dan cemerlang.
Sayangnya, tak seperti itu yang dialami Airin. Pertentangan dirinya dengan orang tuanya, tanggung jawab yang begitu banyak baik tuntutan belajar ataupun organisasi yang digelutinya sungguh membuat gadis mungil itu putus asa. Belum lagi, sikap cuek yang tiba-tiba dilihatnya pada Faiz. Airin benar-benar kalut. Semestinya, ia tak perlu merasakan hal itu. Tapi, sikap Faiz yang dingin membuat Airin jengah. Airin tak bermaksud menganggu konsentrasi pemuda itu dalam belajar. Airin hanya rindu. Rindu pada sahabat lelakinya yang dahulu selalu memiliki waktu untuk berbagi cerita dengan dirinya. Airin cuma butuh kehadiran sahabatnya itu ketika ia sedang dirundung masalah. Tapi, Airin menyerah. Sedikit demi sedikit, ia membunuh harapannya yang besar pada Faiz.
Tetapi, Airin tetaplah Airin. Walaupun keinginannya tak tercapai, ia masih saja memperhatikan Faiz seperti biasa. Untung saja, ketika Faiz tak hadir dalam konflik Airin, Allah mengutus sahabat pelangi lainnya untuk mendampingi gadis itu.
Detik demi detik, menit demi menit, hari demi hari, Airin tertatih-tatih memulihkan kehidupannya tanpa ada Faiz, Airin libatkan. Allah memang Maha Pendengar, Faiz mulai hadir lagi dalam hidup Airin.
Peristiwa tersebut dialami Airin kala dirinya tengah berselisih paham dengan Saskia ketika acara LKO berlangsung. Hanya hal sepele, tapi bagi Airin yang mengerjakan tugas tersebut hampir sendirian spontan membuat pikirannya kacau. Pada akhirnya, ketika Airin berbicara dengan Faiz, pikiran Airin mulai tenang. Faiz juga mulai menyapanya lagi. Adapula, saat Airin jatuh sakit. Dua kali Faiz datang mengunjunginya di rumah sakit. Airin sama sekali tak menyangka Faiz akan melakukan hal tersebut padanya. Padahal ia hanya meminta abang angkat sekaligus sahabatnya, Anjar dengan tersirat dapat membawa Faiz menemui dirinya sekali saja. Tak lebih.
Momen yang paling dikenang Airin adalah kala keduanya tengah berbicara tentang masa depan dan impian saat senja mulai terpancar di ufuk barat. “Kau ingin jadi apa?” tanya Faiz pada Airin.
“Aku ingin menjadi penulis”.
“Pasti bisa. Semangat. Jangan pantang menyerah”.
Pembicaraan itulah yang menjadi titik awal Airin mulai merenda impian yang sempat terlupa. Sayap mimpi keempat yang diberikan Faiz kepada dirinya tanpa sadar. Sayap yang menghembuskannya untuk terbang setinggi mungkin menggapai cita walau jalan yang terbentang tak semulus pada kenyataannya. Dan pada Faiz lah, Airin hanya mengungkapnya, tidak pada sahabat pelangi lainnya.
“Ilham, apakah kau ingat pada sahabat usang mu ini di kala sibuk mu?”.
Tiara gundah. Entah mengapa hatinya merasa rindu pada sahabat lelakinya yang satu itu. Putus asa, ia mencoba melayangkan lagi pikirannya kembali menuju alam impian indahnya dahulu.
Saat itu, dirinya, Ilham, Ali dan Taufan pergi bersama-sama ke toko buku. Ia takjub betapa beraninya ia hanya seorang diri berada di sekeliling mereka. Tapi, Tiara yakin, mereka pasti menjaga dirinya dengan baik.
Bukan Tiara namanya jika tak berlama-lama berkutat pada lautan buku. Sedangkan Ali dan Taufan telah memperlihatkan gelagat hendak pergi. Tiara pikir Ilham pasti akan pulang juga. Oleh karenanya, ketika sahabatnya pamit. Ia berkata,”Ya, hati-hati. Mungkin sebentar lagi aku akan pulang. Sebaiknya aku di sini saja selagi menunggu jemputan. Aku tidak apa-apa sendirian di sini”. Ali dan Taufan tersenyum padanya. Kini, tinggal Tiara dan Ilham yang berada di sana. “Aku masih ingin lihat-lihat”, kata Ilham pada Tiara. Tiara mengangguk.
“Kamu tak pulang. Sudah adzan maghrib. Nanti ketinggalan shalat,” kata Tiara pada Ilham ketika keduanya tengah menunggu Tiara dijemput sang ayah. “Tenang saja, jangan khawatir”, jawab Ilham. Tiara menggelengkan kepalanya. Ia tak sanggup lagi memaksa pemuda itu untuk pulang. Pada akhirnya, Ilham baru mau beranjak setelah pemuda itu memastikan kalau Tiara telah dijemput.
“Terima kasih ya Ilham, kamu mau menemani ku sampai aku pulang. Padahal, semestinya tak perlu kamu lakukan itu”, bisik Tiara dalam hati. Dalam perjalanan, Tiara menyempatkan untuk berterima kasih sekaligus memastikan Ilham pulang dengan selamat. Dari perlakuan Ilham masa itu, Tiara makin yakin bahwa pemuda itu benar-benar tulus melindunginya meski sikap dan tutur katanya tak berjalan beriringan. Tiara tersenyum, Ilham memang pemuda yang baik.
Cukup! Tiara menyudahi kenangan nostalgianya. Hujan pun telah berhenti. Tiara bangkit dan segera menyapa langit cerah di pekarangan rumah. Nampak pelangi bertaut dengan sejuknya aroma dedaunan seusai hujan.
Hatinya mendamai. Tiara bergumam,”Aku percaya seusai hujan hadir pelangi di langit ku. Aku cukup merasakan saja kehadirannya. Bukan kah telah ku titipkan seutas mimpi dalam kepakan sayap istana impian mereka, Ilham, dan kawan-kawan. Biarlah untuk saat ini, ku persiapkan bekal yang mapan lalu aku akan mengejar mereka. Dan bila pertemuan itu telah tiba, aku akan mampu merangkul mereka dengan bahagia”.
Rona mega jingga telah berganti dengan rembulan malam dan ribuan bintang. Airin hempaskan tubuh mungilnya ke dalam pelukan hangat sofa tebal di ruang tamu. Urat lelah nampak menghiasi wajahnya. Namun, tak mampu menutupi kebahagiaan yang ia rasa saat menyadari ia mampu menyelesaikan tulisannya sampai akhir. “Kisah yang penuh harap” gumam Airin dalam hati.
“Terima kasih, Faiz. Aku bersyukur telah bertemu dengan mu. Walau tak mampu mengenal mu dengan dekat. Kau telah mengajarkan banyak hal kepada ku, tentang aku, tentang orang lain, tentang kehidupan, cita-cita, dan juga diri-Nya, Allah SWT. Padamu, aku kian berani bangkit menggapai istana impian ku saat ini hingga mendatang. Terima kasih telah hadir di hidup ku”, isaknya haru.
Sebagai penutup cerpennya, Airin sengaja membubuhkan syair dari Jalaludin Rumi.
“…….Berterima kasihlah kepada siapa pun yang datang….karena setiap tamu yang dikirimkan dari atas sana sebagai pemandu mu”.
Sekali lagi, Airin menampakkan senyuman kepuasannya setelah memastikan cerpen yang ia buat telah selesai. Secepatnya, ia akan kirimkan cerpen ini kepada panitia lomba. Sayangnya, matanya tak lagi dapat menahan kantuk yang begitu berat. Sebaiknya, ia tunda esok pagi saja. Segalanya, ia rapikan lalu beranjak bangkit menuju kamar mandi untuk berwudhu. Airin teringat bahwa dirinya belum menunaikan shalat isya.
Diliriknya sebuah tas mungil berisi sepasang mukena yang Faiz berikan pada Airin saat pemuda itu kembali dari rantauannya. “Faiz, semoga kita dapat bertemu kembali”. Seusai shalat, Airin terlelap indah dalam pembaringannya. Kini, gadis mungil itu mulai menyongsong kejayaan istana impiannya yang berawal dari sayap mimpi seorang Faiz.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar